Senin, 28 Juni 2010

Sistem Multipartai dan Koalisi

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.23
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti*

MERAJUTdemokrasi di Indonesia dengan sistem kepartaian yang mendukung terciptanya stabilitas politik sekaligus menghasilkan kesejahteraan rakyat masih merupakan impian bagi Indonesia.

Daniel Dhakidae dalam buku suntingan William Liddle,Crafting Indonesian Democracy(Bandung: Mizan,2000), menyebutnya ibarat lagu The Beatles,“ The Long and Winding Road” (Jalan Panjang yang Berliku), penuh kendala politik. Daniel menggambarkan secara singkat bagaimana pengalaman Indonesia dengan tiga bentuk demokrasi sebelumnya yang kesemuanya gagal. Demokrasi parlementer/ demokrasi liberal/demokrasi konstitusional antara 1950– 1959 dengan sistem multipartai telah menyebabkan Konstituante gagal membuat konstitusi negara yang baru dan lebih lengkap dibandingkan dengan UUD 1945. Persoalan pokoknya antara lain pada pertentangan mengenai ideologi negara yang akan dianut Indonesia, Pancasila atau Islam?

Selain itu, seringnya terjadi mosi tidak percaya di parlemen juga menjadi penyebab sulitnya tercipta stabilitas politik saat itu. Ada dua pandangan mengenai gagal tidaknya demokrasi parlementer. Pertama,dianut kaum realis atau politisi yang mendasarkan pandangannya pada kekuatan (power) politik. Menurut pandangan mereka, demokrasi parlementer tidak gagal, melainkan dimatikan oleh permainan dua kekuatan politik yang menyatu, yaitu Presiden Soekarno dan TNI AD, sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan DPR.

Kedua, kaum idealis saat itu memang mengakui bahwa demokrasi parlementer gagal karena tiga hal, yaitu kurangnya tingkat pendidikan rakyat, kurangnya budaya demokrasi yang dianut para elite politik walau mereka mendasari dirinya dengan konstitusi negara UUDS 1950, dan kurangnya basis ekonomi sebagai penunjang demokrasi. Hingga kini masih terdapat anggapan, jika demokrasi ingin berjalan baik, rakyat harus mendapatkan pendidikan yang memadai, kultur demokrasi juga harus terinternalisasi di hati dan pikiran para politikus, serta tingkat kesejahteraan rakyat sudah memungkinkan mereka tidak terombang- ambing oleh godaan uang atau rakyat sudah dapat bertanggung jawab dan dewasa dalam menentukan pilihan politiknya.

Demokrasi terpimpin (1959– 1965) yang dijalankan Presiden Soekarno melalui pendekatan planned and systemic democracy(demokrasi yang terencana dan sistemik) atau guided democracy (demokrasi terpimpin) atau democracy with leadership (demokrasi dengan kepemimpinan), dengan mengurangi proses politik dan menekankan tujuan akhir pada masyarakat yang adil dan makmur, juga gagal menciptakan sistem politik yang stabil dan sistem ekonomi yang baik. Apa yang terjadi justru terjadi pengambilalihan kekuasaan pada dini hari 1 Oktober 1965 sebagai akibat dari perseteruan politik yang amat akut antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan TNI AD.

Bangunan segitiga hubungan kekuasaan antara Soekarno di puncak piramida,TNI AD di kanan bawah, dan PKI di kiri bawah hancur berantakan.Pada pertarungan kekuasaan itu Soekarno dan PKI runtuh, TNI AD memenangi pertarungan politik saat itu.Namun, satu hal yang patut dibanggakan saat itu,Presiden Soekarno sempat melakukan nation and character building dan menjaga agar sumber daya alam kita tidak dijarah habis oleh para penanam modal asing, khususnya dari Amerika Serikat. Demokrasi Pancasila yang awalnya diterapkan secara demokratis oleh Letjen Soeharto dengan tujuan membentuk tatanan politik baru (Orde Baru) menggantikan tatanan atau Orde Lama yang katanya busuk, korup, otoriter dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia,pada perjalanan berikutnya justru tidak berbeda dengan sistem politik demokrasi terpimpin.

Meski sembilan partai politik dan satu Golongan Karya (Golkar) kemudian diperas menjadi dua parpol (Partai Persatuan Pembangunan serta Partai Demokrasi Indonesia) dan Golkar, ternyata hal itu hanya menciptakan stabilitas politik yang semu karena segalanya dihasilkan melalui politik represif yang dijalankan ABRI dan bukan melalui proses politik yang demokratis. Gaya pemerintahan Presiden Soeharto bahkan lebih menekankan kepemimpinan ketimbang demokrasi.

ABRI sebagai penopang rezim saat itu dibalut dengan kemasan sebagai stabilisator dan dinamisator politik Indonesia, juga tidak mencapai tujuan politiknya, yaitu menyejahterakan rakyat.Tiga bentuk legitimasi politik yang dibangun––stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan–– hancur luluh lantak setelah terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada 1997–1998, disusul dengan demonstrasi mahasiswa, rapuhnya koalisi rezim yang berakhir dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Ke mana Arah Politik Kita

Kini, 12 tahun sudah kita mengenyam era Reformasi dengan kebebasan politik yang begitu terjamin. Upaya kita untuk menciptakan sistem kepartaian yang memungkinkan terciptanya stabilitas pemerintahan serta mencapai masyarakat yang adil dan makmur, belum sampai pada saat yang menggembirakan. Upaya kita untuk menyederhanakan sistem kepartaian secara alamiah,bukan fusi partai paksaan seperti pada 1973,dengan menerapkan electoral treshold dan parliamentary treshold, belum juga dicapai hasil karena pada setiap pemilihan umum,selalu ada saja ada partai baru atau partai lama yang berganti nama demi bisa ikut pemilu.

Penulis ingat ajaran guru saya, Arbi Sanit,bahwa sistem multipartai mungkin saja lebih demokratis karena rakyat dapat terwakili aspirasi politiknya melalui partaipartai itu.Namun,pada saat bersamaan, sistem multipartai sederhana seperti yang kita anut sekarang, sulit mencapai konsensus politik, termasuk di dalam pemerintahan koalisinya sendiri. Sebaliknya, sistem dua atau tiga partai dominan bukan berarti tidak demokratis, karena di dalam sistem itu rakyat juga dapat terwakili. Konsensus politik juga mudah dicapai. Persoalannya,kalau kita menganut sistem dua atau tiga partai,secara sosiologis, dari pengalaman sejarah, juga sulit.

Apakah kita akan membagi partai-partai politik atas dasar partai nasionalis sekuler dan partai nasionalis agama? Persoalan lain yang kita alami, tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia partai-partai nasionalis hanya akan berkoalisi politik dengan partai yang memiliki ideologi yang mirip atau partai Islam hanya berkoalisi dengan partai Islam saja. Lihat betapa Masyumi pecah menjelang Pemilu 1955. Lihat betapa sulitnya partai yang beraliran Islam modernis bergabung dengan Islam tradisionalis. Bahkan kini, PPP sebagai representasi partai Islam di era Orde Baru, pecah berantakan dan kini bahkan sedang menghadapi persoalan akan keluarnya Parmusi dari PPP.

Mungkinkah pula antara partaipartai nasionalis tengah berkoalisi dengan partai Islam kanan secara permanen, sementara koalisi satunya juga merupakan koalisi permanen antara partai nasionalis kanan dengan partai Islam tengah? Gagasan semacam ini pun sulit diejawantahkan karena koalisi pemerintahan lebih didasari kepentingan politik sesaat (ad hoc) untuk tokoh politik yang maju menjadi calon presiden, ketimbang didasari kepentingan politik permanen untuk meraih, menjalankan, mempertahankan kekuasaan demi menciptakan masyarakat adil dan makmur.

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Tulisan ini dimuat dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/334528/38/

No Response to "Sistem Multipartai dan Koalisi"

HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU