Kamis, 10 September 2009

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.19
Sejarah Islah atau Unifikasi, Sebuah Memoir*
Oleh : Lukman Hakim Hassan**

Kamis, 01 Januari 2009 7:08 WIB
Unifikasi atau dalam bahasa sekarang lebih dikenal dengan istilah islah, selalu menjadi agenda rutin PB HMI MPO, terutama dalam rangka merespons dinamika Kongres teman-teman HMI Dipo. Biasanya pada Kongres HMI Dipo selalu saja tema unifikasi selalu muncul.

Setidaknya saya catat isu unifkasi muncul pertama pada Kongres PB HMI ketika Yahya Zaini turun dan digantikan Ferry Mursidan Baldan pada tahun 1990. PB HMI MPO yang dipimpin oleh Tamsil Linrung (sekarang menjadi anggota DPR RI dari PKS) sempat merespons positif tema itu seperti di muat di salah satu media massa, dan menjagokan MS Ka’ban (sekarang Menteri Kehutanan RI) sebagai calon alternatifnya. Pada Kongres HMI MPO di Bogor pada tahun 1990 itu, beberapa cabang melakukan klarifikasi masalah ini, namun waktu itu PB HMI membantahnya. Klimaksnya ada seorang alumni mantan Bendahara Umum PB HMI era Harry Azhar Azis yakni Hadi Kusnan yang menyatakan bertanggungjawab terhadap proses itu dan siap dijatuhi sanksi.

Sejak itu, isu unifikasi sempat memudar, kemudian muncul lagi pada masa akhir periode Ketum Agus Pri Muhammad (1993-1995). Kebetulan ketika saya menjadi Ketum HMI Cabang Yogyakarta (1992-1993), saya didatangi mantan Ketua Umum HMI Cab Yogyakarta tahun 1958 Ahmad Arief beliau mengaku mendapatkan amanah dari Beddu Amang yang juga Mantan Ketum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1960-an untuk melakukan klarifikasi terhadap HMI MPO di Yogyakarta. Isu yang berkembang HMI MPO adalah gerakan Islam yang “radikal”, termasuk di dalamnya dalam menjalankan ibadah dan syariat. Bahka beliau menduga, HMI MPO tidak bersedia berjabat tangan. Waktu itu saya jelaskan bahwa HMI MPO hanya berusaha untuk mempertahankan hati nurani umat yang tetap memilih azas Islam dalam berorganisasi. Namun di luar azas itu, termasuk masalah ibadah dan lain-lain HMI MPO sama dengan mainstream umat Islam. Setelah pertemuan itu Ahmad Arief menyatakan akan menyampaikan masalah itu ke Beddu Amang.

Pada tahun 1994 setelah saya masuk PB HMI, Ahmad Arief mengundang PB untuk diskusi di rumah beliau. Pada diskusi itu, hadir pula AM Fatwa yang baru saja keluar dari penjara. Pada intinya pertemuan itu hanya bersilaturrahim. AM Fatwa menceritakan bahwa dulu PII pada masa akhir 1960-an juga pecah seperti itu, dialah yang mengambil inisiatif untuk menyatukan kembali PII. Beliau meminta PB HMI MPO juga dapat menjadi inspirator bagi usaha penyatuan itu.

Isu unifikasi kembali menghangat pada peride 1995-1997. Himbauan yang paling halus tentang unifikasi pernah dikemukakan oleh Anwar Haryono Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Sepengetahuan saya DDII merupakan organisasi Islam yang paling dekat dengan HMI MPO. Selain karena di dalamnya terdapat tokoh besar umat Islam Almarhum Mohammad Natsir yang menjadi inspirator teman-teman HMI MPO, juga banyak kegiatan pemuda dan pelajar Islam internasional seperti WAMY, IIFSO, Peppiat dan Riseap yang dikoordinir DDII masih melibatkan PB HMI MPO secara intens. Bagi HMI MPO kedekatan dengan DDII menjadi penting, karena DDII masih mau menerima HMI MPO apa adanya, manakala banyak tokoh-tokoh Islam menutup pintu bagi HMI MPO. Sebagai contoh saja, ketika saya masih menjadi aktifis di Yogyakarta, sangat sulit menjalin komunikasi dengan beberapa tokoh-tokoh Islam.

Setiap mengadakan LK II dan LK III, selalu kesulitan mencari penceramah. Beberapa ahli ilmu sosial politik UGM yang sebelum era HMI MPO cukup akrab seperti Amien Rais, Ichasul Amal, Yahya Muhaimin, dan Kuntowijoyo yang nota bene juga alumni, namun setelah tahun 1986, mereka sulit dihubungi. Diantara mereka ada yang tegas menolak. Ada juga yang bersedia, namun pada hari pelaksanaannya menghindar. Beberapa alumni yang masih bersedia mengisi acara HMI MPO diantaranya adalah Syafii Maarif dan Said Tuhuleley. Sementara yang bukan alumni, dan justru selalu bersedia mengisi pelatihan HMI antara lain adalah Mohtar Mas’oed, Damarjati Supadjar dan Abdul Munir Mulkhan.

Sudah menjadi agenda rutin pengurus baru PB HMI untuk bersilaturrahim dengan tokoh-tokoh Islam. Pada silaturahmi PB HMI ke DDII pada tahun 1995 itu, Anwar Haryono dengan halus bertanya kapan HMI MPO bersatu dengan HMI Dipo. Kami jawab “kapan-kapan pak”, karena bagi HMI MPO bertahan terhadap azas Islam adalah sebuah pilihan. Beliau hanya menghimbau, bahwa persatuan umat Islam adalah nomor satu. Namun beliau tidak pernah memaksa dan memutus silaturrahmi kepada HMI MPO, karena tidak mau unifikasi. Diskusi yang menarik pada waktu itu justru pertanyaan beliau tentang siapa calon Presiden dari PB HMI MPO? Karena memang di HMI belum dibahas masalah itu, saya menjawab sekenanya “banyak calon potensial sebagai Presiden masa depan” antara lain seperti BJ Habibie, Pak Anwar berkomentar” Ya itu, cocok, beliau tokoh ICMI dan rajin puasa senin kamis”. Saya timpali “Mungkin Tri Sutrisno”, sekali lagi Pak Anwar mengamini. Kemudian terakhir saya juga menyampaikan “Gus Dur”, seketika Pak Anwar memotong dengan nada tinggi “Apa Abdurrahman Wahid! Bagaimana PB HMI MPO bisa mencalonkan dia, yang merubah assalamu’laikum menjadi selamat pagi (dan beberapa kritik lain yang standar terhadap Gus Dur)” Saya menyampaikan argumen bahwa bagaimanapun Gus Dur adalah aset bangsa yang mempunyai pendukung besar di kalangan Nahdliyin.

Rupa-rupanya masalah ini dianggap serius oleh Pak Anwar. Sampai-sampai nanti ada beberapa tokoh Islam yang dekat dengan DDII melakukan cek silang ketika berceramah di HMI Cab. Yogyakarta menanyakan siapa idola HMI MPO jawaban teman-teman di saja juga “Gus Dur”. Saya sempat dikontak teman yang dekat tokoh itu dan menanyakan mengapa idola HMI MPO Gus Dur, saya bilang saya tidak pernah menginstruksikan teman-teman cabang untuk sepaham dengan pemikiran saya. Namun itulah yang terjadi bahwa Gus Dur ketika itu sempat menjadi idola teman-teman HMI MPO. Padahal saya pernah dengar, bahwa sesungguhnya Gus Dur tidak senang dengan HMI MPO, karena menentang Azas Tunggal. Mungkin karena Gus Dur adalah arsitek penerima Azas Tunggal untuk NU pada awal tahun 1980-an. Kemungkinan besar penjelasannya adalah pada awal tahun 1990-an itu, posisi Gus Dur juga tengah termajinalkan oleh Pemerintah Orde Baru terutama ketika beliau mendirikan “Forum Demokrasi (Fordem)” seperti halnya posisi HMI MPO yang juga terpinggirkan pada waktu itu. Jadi mungkin ini hanya faktor persamaan nasib saja. Namun yang menarik adalah, ternyata KH. Abdurrahman Wahid benar-benar menjadi Presiden pada tahun 1999-2001. Mungkin sesuatu yang tidak pernah diduga oleh Pak Anwar, apalagi oleh saya ketika itu. Dan yang membuat saya juga heran, ternyata selain kalangan Nahdliyin, hanya PB HMI MPO pada masa Yusuf Hidayat (1999-2002) dari kalangan organisasi Islam yang membela Gus Dur ketika beliau dijatuhkan dari kursi Presiden pada tahun 2001.

Pada tahun 1996, tarikan untuk melakukan unifikasi semakin kuat. Pertama kali beberapa alumni mengundang PB HMI di rumah makan Arab di Jalan Raden Saleh. Di sela-sela makan nasi kebuli, para alumni itu mengintroduksi kemungkinan unifikasi. Pertemuan ini merupakan pemanasan bagi pertemuan berikutnya bersama dengan alumni yang lebih senior. Pertemuan kedua, dimotori oleh Beddu Amang yang juga dihadiri oleh “Jenderal HMI” Achmad Tirtisudiro yang berlangsung di Restoran Korea Arirang di Blok M. Pada pertemuan ini untuk pertama kalinya saya berjumpa tokoh HMI MPO yang cukup “legendaris” yakni MS Ka’ban. Ketika saya ikut LK I nama ini sering disebut-sebut, karena posisinya pada awal berdirinya MPO sebagai Ketua Umum HMI Cabang Jakarta, sementara Eggy Sujana (Ketua Umum HMI MPO pertama) hanyalah Kabid Aparat-nya. Nama Ka’ban saya dengar lagi waktu saya hadir Kongres HMI MPO di Bogor, katanya Ka’ban dicalonkan oleh kubu MPO untuk menjadi Ketua Umum PB Dipo. Kata pendukungnya kalau Ka’ban menjadi ketua, maka urusan MPO dan Dipo akan beres. Namun sejauh itu saya baru mendengar namanya, belum pernah bertemu dengan orangnya. Baru di restoran Arirang itu, saya bertemu muka dengannya. Selain itu, alumni yang hadir antara lain adalah Tamsil Linrung dan Lukman Hakiem (sekarang menjadi anggota DPR RI dari PPP) yang waktu itu menjadi redaktur Media Dakwah majalah DDII.
Pertemuan di Arirang ini pada awalnya adalah klarifikasi para alumni HMI MPO seperti Ka’ban dan Lukman Hakiem tentang berdirinya HMI MPO. MS Ka’ban menuduh bahwa alumni-alumni waktu itu, sempat membunuh karakter mereka. Sementara Lukman Hakiem menjelaskan bahwa dia tidak terlibat dalam pendirian HMI MPO. Diskusi itu berlanjut yang intinya Beddu Amang dan Achmad Tirtosudiro meminta agar HMI MPO mau melakukan unifikasi dengan HMI Dipo. Ketika kami menjelaskan mengapa kami memilih jalan seperti ini, sebagai bentuk perlawanan terhadap kediktatoran rezim Orde Baru, beliau para alumni HMI senior tidak mau mendiskusikannya. Bahkan “Jenderal HMI” Achmad Tirtosudiro langsung memberikan instruksi “Saya minta HMI sudah unifikasi pada tanggal 10 Nopember 2006″. Saya tanya “mengapa tanggal itu?”, jawabannya ” Ya, itu hari pahlawan! momentum yang paling tepat untuk bersatunya HMI”. Akhirnya saya memberikan argumentasi “Begini pak, unifikasi bukan masalah sederhana, andaikan PB HMI menerima unifikasi pun, nanti justru akan muncul HMI MPO 1; HMI MPO 2; HMI MPO 3, itu jauh lebih rumit, bagi kami yang penting justru melakukan dialog terlebih dulu.” Rupa-rupanya “dialog” menjadi kata kunci pertemuan itu. Maka agenda berikutnya adalah mempertemukan PB HMI Dipo dan PB HMI MPO disepakati di rumah Beddu Amang.

Pertemuan di rumah Beddu Amang dihadiri oleh para alumni yang datang di Arirang diantaranya seperti Achmad Tirosudira, MS Ka’ban, Tamsil Linrung dan Lukman Hakiem. Sementara Ketua umum PB HMI Dipo berhalangan hadir dan diwakili Ketua PT/Kemas Umar Husein (kalau tidak salah sekarang menjadi pengacaranya Ahmad Dani Dewa 19) dan Wakil Sekjen Sa’an Mustofa serta beberapa staf. Lagi-lagi dalam pertemuan itu juga tidak ada kesepakatan tentang unifikasi. Perwakilan PB HMI Dipo ketika itu menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengakui HMI MPO, karena HMI MPO berdiri di luar kongres. Sementara, PB HMI MPO menyatakan “dialog yes, unifikasi no”. Beberapa usulan yang berkembang dalam pertamuan itu cukup menarik untuk diungkapan di sini diantaranya adalah unifikasi justru harus dimulai dari bawah yakni komisariat dan cabang. Akan sulit unifikasi kalau tingkat komisariat dan cabang tidak pernah ada dialog dan kerjasama kegiatan. Yang terjadi justri pada tingkat komisariat dan cabang terjadi benturan yang keras. Oleh sebab itu, ada usulan sebaiknya HMI MPO dan HMI Dipo pada tiap tingkat perlu ada kerjasama kegiatan dulu, baru membahas unifikasi. Lagi-lagi “dialog” menjadi kesimpulan pertemuan itu. Bedu Amang berjanji akan mengkoordinir upaya dialog antara MPO dan Dipo pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Namun rupanya pertemuan berikutnya tidak pernah ada.

Masih pada tahun 1996 itu, terjadi lagi pertemuan tentang unifikasi, kali ini dimotori oleh Ismail Hasan Metareum kala itu sebagai Ketua Umum PPP. Pertemuan itu diadakan di rumah dinas beliau di Kompleks Kartika Candra. Beberapa alumni yang hadir pada pertemuan itu adalah AM Saefuddin, Yusuf Syakir, dan Lukman Hakiem. Sebelum acara dimulai kebetulan saya duduk disamping Metareum dan Yusuf Syakir, tanpa sengaja saya mendengar beliau mengatakan “Pak Yusuf, ini terpaksa kita undang Pak AM, karena ini adalah urusan HMI”. Memang dalam Muktamar yang baru saja digelar, sempat ada persaingan antara Ismail Hasan Metareum dengan AM Saefuddin. Yang akhirnya dimenangkan oleh Metareum. Forum dibuka oleh Metareum, dan kesempatan pertama diberikan oleh AM Syaefuddin untuk memberikan komentar tentang HMI MPO.

Rupa-rupanya AM Saefuddin langsung menyerang HMI MPO dan meminta untuk bubar atau bergabung dengan HMI Dipo. Teman-teman PB mencoba berargumen yang pertama, sdr Syafrinal (Kabid Aparat dari Cabang Krabes) menyatakan “Kalau pak AM benci dengan MPO, mengapa dulu membantu meminjamkan pesantren pertanian di Bogor untuk Kongres HMI MPO pada tahun 1990″. Jawaban Pak AM ” Maling saja kalau minta tolong akan saya bantu, apa lagi anda bukan maling!. Kemudian, sdr. Edi Darmoyo (Ketua Lapmi dari Cabang Semarang) menyatakan bahwa azas Islam adalah hati nurani umat, sementara PPP sebagai partai Islam mengapa justru mengabaikan ini, seharusnya PPP memahami hati nurani umat. Rupa-rupanya AM Saefuddin agak emosi dan keluar dari forum.

Berikutnya adalah pendapat dari teman-teman aktivis muda PPP yang juga alumni HMI yang menyerang HMI MPO habis-habisan. Mereka menyatakan supaya HMI MPO bubar saja, atau menanggalkan nama “HMI” atau kalau perlu HMI MPO melebur saja ke Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Dalam situasi seperti ini, justru yang membela HMI MPO adalah Yusuf Syakir. Beliau menyatakan usulan yang menyatakan bahwa HMI MPO harus bubar atau menanggalkan nama HMI itu tidak rasional. Karena kader HMI MPO kan selalu pakai simbol, hymne, bendera HMI. Yusuf Syakir mencontohkan bahwa hal serupa pernah terjadi kepada Kahmi, yakni arogansi PB HMI pada era tahun 1960-an, yang melarang Kahmi memakai simbol HMI. Terakhir Ismail Hasan Metareum memberikan komentar, namun sebelum beliau bicara, beliau meminta AM Syaefuddin masuk forum lagi. Setelah Pak AM masuk, Buya Ismail menyampaikan “Setelah saya mendengar diskusi tadi, menurut saya HMI MPO itu tidak apa-apa, yang penting jangan ditunggangi oleh pihak ketiga saja”. Pendapat Buya itu tentu saja di luar dugaan bagi kubu AM Syaefuddin, dan merupakan hawa segar bagi PB HMI MPO. Bacaan politik saya, dengan sangat halus Buya Metareum tengah “mengerjain” AM Syaefuddin dalam forum itu.

Dari serangkaian peristiwa di atas, saya merenungkan mengapa pada tahun 1996 itu para alumni getol mengkampanyekan unifikasi itu. Siapa key person yang bisa menjelaskan masalah ini. Akhirnya ketemu satu nama yang paling saya anggap tahu, karena selalu ada pada setiap forum-forum itu yakni Lukman Hakiem. Jawabannya sungguh mencengangkan. Bahwa para alumni itu sesungguhnya tersindir pernyataan Presiden Soeharto mengapa masih ada dalam tubuh Keluarga Besar HMI yang menolak Azas Tunggal yakni HMI MPO. Maka tidak aneh, kalau para alumni itu getol memprakarsai topik unifikasi itu.

Hingga akhir periode saya menjadi Ketua Umum isu unifikasi meredup. Namun pada awal periode Imron Fadhil Syam menjadi Ketua Umum bersamaan dengan Kongres PB HMI Dipo di Yogyakarta tahun 1997 isu unifikasi mencuat lagi. Bahkan beberapa alumni melakuan gerilya untuk melobi PB dan beberapa cabang untuk melakukan unifikasi. Namun lagi-lagi usaha ini tidak berhasil.

Demikianlah sekelumit sejarah tentang upaya unifikasi pada masa saya. Bagi saya topik unifikasi atau islah salah satu bagian yang selalu melekat dari keberadaan HMI MPO sampai kapan pun. Baik pada masa ini maupun masa yang datang. Topik itu akan semakin hangat mana kala HMI Dipo melakukan Kongres. Jadi saya berharap jajaran komisariat, cabang, badko melihat topik unifikasi atau islah sebagai sesuatu yang biasa dan tidak istimewa. Sementara yang penting bagi PB adalah tetap memberikan penjelasan yang terus menerus kepada jajaran di bawahnya secara sabar dan arif, agar tidak terjadi kesalahpahaman internal. Semoga tulisan ini bermanfaat. Amien.

* artikel ini diambil dari http://hminews.com/fokus/sejarah-islah-atau-unifikasi-sebuah-memoir/
** penulis adalah Ketua Umum PB HMI 1995-1997

Anatomi Kasus Bank Century

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.05
Oleh: Djony Edward

Senin, 31 Agustus 2009 10:59 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan uring-uringan dengan Menteri Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI), meski di bulan Ramadhan. Apa pasal? Tak lain tak bukan menyangkut bail out Bank Century sebesar Rp6,76 triliun dari yang direstui DPR sebesar Rp1,09 triliun.


Bisa difahami mengapa DPR marah, karena memang apa yang direstui dan realisasinya jauh panggang dari api. Apalagi LPS sebagai eksekutor pengucuran dana talangan tak memberi tahu kalau kebutuhan dana melonjak hingga sebesar Rp5,67 triliun. Apalagi saat LPS minta restu DPR untuk mengucurkan dana ke Bank Century sebesar Rp1,3 triliun pada Februari 2009, sesungguhnya akhir Desember 2008 sudah mengalir sebesar Rp5,67 triliun. Sehingga DPR merasa dibohongi oleh LPS, BI maupun Depkeu.

Tapi sebenarnya langkah LPS yang diorder BI dan Depkeu juga masuk akal, karena adanya kebutuhan pencairan dana deposan besar hingga mencapai Rp5,67 triliun.
Seperti diketahui, pada November dan Desember 2008 tiga deposan besar: Keluarga Sampoerna, PT Jamsostek dan PT Timah menarik depositonya di Bank Century sebesar Rp5,67 triliun. Jadi memang ada dasar hukum dan dasar emosional yang melatarbelakanginya.

Inilah pangkal persoalan yang memicu kemarahan serta kecurigaan DPR sehingga langsung memerintahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi atas rekapitalisasi bank hasil merger dari Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac itu.

Kalah Kliring
Kasus Bank Century sebenarnya berawal dari penyakit bawaan bank yang namanya “kalah kliring”. Kontan saja para petinggi negeri ini bereaksi, namun pola komunikasi dan upaya klarifikasi yang dilakukan tidak simetris, ditambah lagi ada pihak yang memancing di air keruh, sehingga justru kontra produktif terhadap upaya menenangkan nasabah.

“Kalah kliring”, sebuah istilah yang membingungkan nasabah. Lantaran itu BI sebagai otoritas moneter melakukan “stop kliring” atas bank yang lebih pantas disebut money changer tersebut.
Padahal yang esensial dari pola komunikasi mengenai apa yang terjadi pada Bank Century adalah magnitude kalah kliring dan berapa lama stop kliring itu dilakukan. Tapi karena penjelasannya ngalor-ngidul nggak karuan dan tidak membatasi pada apa yang sesungguhnya terjadi pada Bank Century, yang ditangkap publik justru lebih besar dari persoalan yang sesungguhnya.

Celakanya, ada yang memancing di air keruh, menebar rumor, dan mengambil untung di tengah kekacauan. Ujung-ujungnya, BI malah mengancam akan menangkap si pembuat rumor. Pertanyaannya, apakah pejabat BI tidak pantas ditangkap jika dikemudian hari ada bank yang harus tumbang tergerus krisis keuangan global ini? Mestinya ini suatu level playing field yang sama, kalau penyebar rumor saja disa ditangkap karena ulahnya menggelisahkan publik, maka pejabat BI juga bisa ditangkap karena gagal menyelamatkan perbankan.
Tapi sudahlah, daripada ancam mengancam, adalah lebih bijak fokus pada pola komunikasi yang produktif, mudah dimengerti, dan yang terpenting sesuai dengan kadar persoalan yang ada.

Gara-gara 5 Miliar
Apa yang terjadi pada Bank Century, paling tidak menurut pengakuan manajemennya, hanya semacam keterlambatan mengalokasikan dana untuk prefund sebesar Rp5 miliar yang memang harus tepat waktu. Hermanus H. Muslim, dirut Bank Century, mengatakan pihak manajemen baru sempat menyetor 15 menit lebih lambat dari waktu yang seharusnya dilakukan pada pukul 08:00 WIB. Jadi penyebabnya bersifat teknikal sekali.

Oleh karena sistem kliring di BI begitu ketat, sehingga kendati telat satu menit saja, maka bank yang telat menyetor dana prefund tidak boleh mengikuti transaksi antarbank pada hari itu. Hanya saja bank itu masih boleh melakukan transaksi lewat Real Time Gross Settlement (RTGS).

Karena dana prefund telah disetorkan, maka pada hari berikutnya (Jumat, 14 November 2008), Bank Century sudah kembali mengikuti transaksi kliring secara normal.
Tapi karena pada hari dimana Bank Century mengalami stop kliring, membuat penarikan dana nasabah terganggu. Puluhan, bahkan ratusan nasabah antre untuk dapat menarik dananya di bank itu. Suasana ini seperti mengingatkan publik pada peristiwa rush yang terjadi di PT Bank Central Asia Tbk pada pada 1997, walaupun strukturnya jauh berbeda.

Oleh karena ini masalah teknis yang biasa sehingga tidak menimbulkan gejolak di pasar uang. Tingkat bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) satu hari hanya naik tipis dari 9,686% menjadi 9,766%. Sehari sebelumnya BI memproyeksikan kebutuhan likuiditas pada hari itu sebesar Rp70,3 triliun, sementara ketersediaan likuiditas di pasar mencapai Rp71,6 triliun. Jadi memang likuiditas perbankan saat itu sebenarnya dalam batas aman.

Tetap heboh
Tapi mengapa menjadi heboh? Jawabnya sudah bisa ditebak. Arus informasi yang berseliweran dengan nada dan irama yang tidak meneduhkan, malah membingungkan, membuat nasabah resah.

Pada saat yang sama, krisis global yang melanda sektor keuangan dunia, dampaknya sulit dihindarkan lembaga keuangan nasional. Cerita stop kliring Bank Century diasosiasikan nasabah sebagai multiplier effect dari krisis keuangan global.

Sementara trauma rush yang melanda BCA pada 1997 hingga kini belum hilang benar. Pada saat yang sama media yang mengkafer isu tersebut sering mengandalkan rumor, informasi lapis kedua, ketiga dan seterusnya, ketimbang mengandalkan informasi A-1. Sehingga yang ada di-back mind publik adalah perbankan pernah kolaps karena rush, dan itu sewaktu-waktu dapat muncul kembali.

Sedangkan Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan penghentian sementara perdagangan saham Bank Century akibat gagal kliring tersebut. Sehingga yang tergambar dibenak publik, akan ada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) jilid II. Bank-bank yang kolaps akan diberikan fasilitas saldo debet, fasilitas diskonto (Fasdis) I dan II, fasilitas surat berharga pasar uang khusus (FSBPUK), new fasdis, fasilitas saldo debet, hingga dana talangan valas dan dana talangan rupiah.

Itulah kekhawatiran publik. Tapi kekhawatiran itu tanpa bimbingan sehingga semakin besar, padahal sejak 2008 tidak ada program penjaminan 100%, yang ada adalah program penjaminan maksimum Rp100 juta per rekening nasabah. Itupun melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang esensinya sebenarnya uang bank itu sendiri yang dijaminkan melalui surat berharga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimiliki bank bersangkutan di BI. Pendek kata, BLBI dengan kondisi seperti sekarang ini tidak dimungkinkan lagi, tapi penjelasan itu tidak memadai bahkan tidak ada. Wajar jika kemudian nasabah berbondong-bondong ke Bank Century.

Untung saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara dengan mengatakan perbankan nasonal aman. Gubernur BI Boediono (akhir 2008) menyampaikan bahwa rumor yang beredar di perbankan membingungkan. Menneg BUMN/Plt Menkeu Sofyan Djalil menegaskan likuiditas perbankan aman. Demikian pula Deputi Gubernur Senior BI (saat itu) Miranda Swaray Goeltom menjamin bahwa likuiditas perbankan dalam tahap yang normal.

Pihak Bank Century sendiri mempersiapkan dana cadangan untuk meningkatnya penarikan dana nasabah. Sambil menjelaskan secara teknis apa yang sesungguhnya terjadi.
BI secara proaktif mengajak wartawan melihat dari dekat bagaimana proses kliring di bank sentral. Sehingga wartawan ketika menulis informasi seputar kliring mendapat gambaran yang jelas baik mengenai kliring, proses kliring dan bagaimana settlement kliring dilakukan.
Walaupun sempat membuat resah gelisah, klarifikasi-klarifikasi yang disampaikan akhirnya dapat meneduhkan suasana kembali.

Tindak
Lepas dari kekakahan kliring yang diderita Bank Century, sebenarnya pemilik bank itu juga melakukan tindak kriminial, sebagaimana bankir-bankir dimasa lalu. Lewat PT Antaboga Delta Sekuritas, Robert Tantular selaku pemegang saham kendali bank itu menggangsir dana nasabah hingga Rp2,6 triliun.

Ini mirip dengan kasus-kasus kejahatan perbankan sebelumnya, dimana teori kejahatan mengatakan 90% kejahatan perbankan dilakukan oleh orang dalam.
Gejala ini tidak seharusnya terjadi jika tim pengawas Bank Indonesia dan Bapepam mengendus sejak awal soal transaksi pat gulipat tersebut. Apalagi Bank Century adalah bank hasil merger dari Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac yang track record-nya ada pada BI.

Tapi itulah nasib perbankan nasional selalu memberi ruang yang longgar bagi pelaku tindak kejahatan perbankan tersebut. Seolah-olah BI dan Bapepam tutup mata, sehingga muncullah kasus yang memalukan industri perbankan itu untuk yang kesekian kalinya.
Karena itu perlu disidik siapa pejabat BI yang mengawasi langsung Bank Century, siapa pihak imigrasi yang meloloskan atau membantu meloloskan Robert Tantular ke luar negeri.

Problem Sistematik?
Ada informasi yang asimetris dalam penyelamatan Bank Century ini. Pada masa-masa awal krisis ditahun 2008, pejabat BI selalu meneduhkan nasabah dengan mengatakan kasus bank itu bukanlah tipe kasus sistemik. Oleh karenanya risiko keuangan yang harus ditanggungpun tidak akan sebesar yang terjadi saat ini.

Tapi belakangan pejabat BI yang lain menegaskan bahwa kasus itu merupakan kasus sistemik. Oleh karena itu diperlukan Perpu No. 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Walaupun harus diakui bahwa mempersoalkan Perpu sangat tidak tepat benar, karena esensinya adalah bagaimana memperlancar pencairan dana jika dalam satu kurun perbankan mengalami collapse. Karena Perpu tersebut hanya berjalan di forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menetapkan apakah Bank Century dalam keadaan sistemik atau tidak.

Sementara proses penyelamatan yang dilakukan oleh LPS sepenuhnya tunduk pada UU LPS.

Sehingga mendasari latar belakang tersebut, maka yang jadi masalah adalah, apakah memang Bank Century bisa dikatakan dalam keadaan sistemik? Tentu tak seorangpun mampu menjawab apakah itu sistemik atau tidak pada saat ini. Karena mungkin saja seseorang menggunaka parameter yang berlaku saat ini dengan menjangkau masa lampau.

Sebaliknya, jika terjadi keadaan bank seperti yang dahulu dialami Bank Century pada saat ini, maka bank itu sudah selayaknya ditutup karena memang ada unsur kriminal di dalamnya. Artinya, persoalan sistemik yang terjadi pada Bank Century memang sarat dipengaruhi oleh krisis ekonomi global yang terjadi saat itu. Ketika krisis itu sudah berlalu, kita sering mencerca seolah-olah suasana yang terjadi pada detik ini adalah suasana yang sama dan identik dengan suasana pada detik keputusan itu diambil. Karena itu, masalah Bank Century adalah bukan masalah legal dispute, tapi masalah politik. Artinya, semakin pemerintah memberi jawaban, sejujur apapun jawaban itu, semakin panas situasinya.

Adapun persoalan kriminal yang dilakukan oleh Robert Tantular dkk. itulah yang juga harus dikejar mulai dari sistem pengawasan hingga jebolnya dana nasabah lewat instrumen perusahaan sekuritas yang dimilikinya, yakni Antaboga. Saya yakin bahwa pengawas BI yang diutus di Bank Century sudah mencium gelagat buruk di bank itu. Persoalannya mencium adalah satu hal dan menindak adalah hal lain. Itu sebabnya siapa saja tim pengawas Bank Century di bank sentral, harus diperiksa guna mempertanggungjawabkan kinerjanya.

Dana Perbankan Vs Dana Rakyat
Hal lain yang tak kalah seru adalah soal dana talangan ke Bank Century yang mencapai Rp6,76 triliun. Apakah dana itu dana rakyat atau dana perbankan. Untuk menjawab masalah ini kita harus bongkar jeroan dana LPS dan sistem yang berlaku dilembaga penjaminan itu.

Seperti diketahui, sejak berdirinya LPS pada 2005 pemerintah menyuntikkan dana awal untuk operasional sebesar Rp4 triliun. Berdasarkan UU No. 24/2994 tentang LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.

Dalam perjalanannya, LPS selain menetapkan besaran bunga penjaminan yang kemudian diacu perbankan nasional, lembaga itu juga berjalan dengan prinsip asuransi. LPS menetapkan satu premi tertentu kepada bank yang ingin menjaminkan dana nasabahnya, sehingga jika terjadi apa-apa pada bank tersebut maka LPS lah yang mengkafer dana tersebut.

Hanya saja risiko yang ditanggung adalah risiko keuangan, dalam industri asuransi risiko keuangan sebenarnya termasuk yang dihindarkan karena risikonya tanpa batas. Sejak berdiri tahun 2005 hingga 2009, LPS sudah berhasil mengumpulkan premi dan dana awal dari pemeritah sebesar Rp14 triliun.

Sejauh ini memang dalam kasus Bank Century yang memiliki skala persoalan Rp6,76 triliun masih terkafer oleh dana LPS. Tapi pertanyaannya, apakah LPS sanggup mengkafer jika ada dua tiga bank seperti Bank Century, atau bahkan lebih besar? Tentu saja likuiditas LPS akan tergerus dengan sendirinya. Lantas kalau dana LPS sudah habis jaminan perbankan akan dicabut? Tentu ini akan berdampak pada kepercayaan nasabah. Tapi kalau tidak dicabut, itu artinya dana nasabah harus dibebankan ke APBN.

Pendek kata sejauh kasus Bank Century memang dana yang digunakan untuk menalangi krisis keuangan bank itu benar-benar dana murni dari sistem perbankan. Premi-premi perbankan yang dibayar ke LPS digunakan untuk menutup kerugian bank itu, artinya LPS memang tidak ada hubungannya dengan APBN.

Hubungan itu akan terbuka lagi jika LPS tidak sanggup menanggung risiko collapse-nya bank-bank berikutnya. Artinya preseden BLBI mungkin saja dapat terulang dikemudian hari. Tapi untuk saat ini sama sekali masih murni dikafer oleh dana LPS.

Bank Valas
Lepas dari plus minus penanganan isu gagal kliring, core business Bank Century yang memang di bidang jual beli valuta asing ini, sekarang sudah aman. Ini adalah peninggalan dari Bank CIC yang menjadi anchor bank (bank jangkar) dari merger dengan Bank Pikko dan Bank Danpac pada 2004.

Saat merger Bank Century memilki 64 kantor cabang dengan modal dasar Rp4,2 triliun dan modal disetor Rp1,7 triliun. Selain itu, Century memiliki total aset Rp8,11 triliun dana pihak ketiga sebesar Rp6,19 triliun. Adapun rasio cukupnya modal (CAR) sebesar 12,82% dengan kredit bermasalah (NPL net) 1,7% dan loan to deposit ratio (LDR) 35,03%.

Kepemilikan Bank Century terdiri dari Chinkara Capital Limited sebesar 27,70%, Claas Consultant 12,93%, Outlook Invesment 5,42%. Selain itu, Century juga dimiliki oleh UOB Kay Hian sebesar 5,41%, CFGL FCC 4,28% dan masyarakat sebesar 45,26%.

Berdasarkan laporan keuangan Bank Century per 30 September 2008, tercatat rasio kredit terhadap simpanan atau LDR-nya naik menjadi 47,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu 33,18%. Artinya, bank ini terus menggenjot fungsi dana pihak ketiga dalam bentuk pelemparan kredit.

Mayoritas dana pihak ketiga, persisnya sebesar 80% berasal dari dana mahal atau deposito, sementara sisanya berasal dari tabungan dan giro. Manajemen berusaha agar komposisi dana mahal dan murah bisa seimbang 50% berbanding 50%.

Direktur Utama Bank Century (ketika itu) Hermanus M. Muslim menjelaskan bisnis valuta asing perseroan tidak terganggu signifikan terkait volatilitas rupiah beberapa waktu lalu. Bisnis bank notes merupakan kontributor terbesar perolehan fee base income Bank Century. Tahun ini pendapatan dari bisnis itu ditargetkan mengkontribusi 20% dari total pendapatan perseroan.
Ke depan, otoritas fiskal maupun moneter, terutama para pengelola negeri ini, harus lebih sensitif terhadap segala kemungkinan. Apalagi dampak krisis global tidak hanya menghantam AS, tapi juga sudah masuk ke wilayah Eropa, jazirah Arab, dan mungkin saja hanya masalah waktu sampai ke Asia, khususnya Indonesia.

Penjelasan yang utuh, terkoordinasi, dan jujur menjadi kata kunci bagi ketenangan berbisnis perbankan. Sudah saatnya semua pihak terus berkoordinasi dan berkomunikasi agar dapat menyampaikan permasalahan dengan benar, dan yang lebih penting agar dapat mengatasi persoalan dengan tepat.

Beberapa Pertanyaan
Terkait dengan kucuran dana rekapitalisasi Bank Century yang mencapai Rp6,76 triliun memang mengundang sejumlah pertanyaan. Pertama, apakah lonjakan dana rekapitalisasi itu tidak harus sepengetahuan DPR, karena biar bagaimana DPR adalah perwakilan rakyat, artinya, setiap sen uang rakyat yang digunakan harus seizing, atau paling tidak sepengatuan DPR. Walau kemudian Menkeu Sri Mulyani Indrawati berkelit bahwa dana LPS bukanlah dana APBN, sehingga tak ada kewajiban minta izin DPR.

Kedua, katakanlah UU No. 24/2004 tentang LPS mengatur kebolehan lembaga itu mengeksekusi setiap kebutuhan dana rekapitalisasi bank yang kolaps, tapi etika kontrol tetap ada di DPR dan sudah selayaknya dihormati. Lantas mengapa penggelontoran dana LPS mengalir begitu saja tanpa diketahui DPR.

Ketiga, bukankah dana penjaminan setiap nasabah maksimum Rp100 juta sebagaimana ketetapan Pasal 11 UU LPS dari sebelumnya secara bertahap diturunkan: seluruh simpanan, maksimal simpanan Rp5 miliar, maksimal simpanan Rp1 miliar, hingga akhirnya maksimal simpanan Rp100 juta. Lalu mengapa para pemroses pencairan dana tiga deposan besar itu pasrah bongkokan mengucurkan penuh uang yang mereka rush sebesar Rp5,67 triliun.

Murnikah penarikan itu?

Keempat, mengapa nasib Depkeu, BI, dan LPS harus mengulangi nasibnya pada tahun 1998 dimana setiap ada bank run selalu memposisikan diri sebagai bandar yang siap merugi? Bukankah bersikap memaksimalkan penutupan kerugian risiko bank kepada pemilik jauh lebih masuk akal ketimbang terus terusan membebani uang rakyat.

Kelima, berapa besar kekuatan dana LPS sehingga untuk satu Bank Century saja sudah menggerogoti kas lembaga penjaminan itu hingga Rp6,76 triliun lewat empat kali suntikan? Konon di belakang Bank Century ada 23 bank yang juga tengah ‘batuk-batuk’ sementara total aktiva LPS kurang lebih hanya Rp14 triliun.

Keenam, kalau krisis perbankan benar-benar bersifat sistemik sehingga menghabiskan aktiva LPS, siapa yang harus menanggung kekurangannya? Mengingat total kewajiban penjaminan pada tahun 2008 mencapai antara Rp400 triliun hingga Rp500 triliun.

Ketujuh, dalam kasus Bank Century sebenarnya dipicu keterlambatan manajemen lama melakukan kliring hanya sebesar Rp5 miliar dan tingkat ketelatan 15 menit. Tapi beban dana talangan melonjak hingga Rp6,76 triliun. Siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian ini sehingga beban kliring melambung sebegitu besar?

Kedelapan, tingkat kebocoran yang tinggi di Bank Century mencerminkan lemahnya pengawasan BI dan pemerintah. Lantas dimana tanggung jawab otoritas moneter dan otoritas fiskal tersebut dalam kasus Bank Century?

Kesembilan, melihat lemahnya pengawasan dan penanganan pada kasus Bank Century, apakah tidak ada jaminan bank lain akan menggerogoti dana LPS, hingga akhirnya menggerogoti dana pemerintah c.q. dana rakyat? Contoh kasus merebaknya penggerogotan dana nasabah di Bank Century (Sri Gayatri dkk) lewat PT Antaboga Delta Sekuritas hingga mencapai Rp2,6 triliun, ternyata perusahaan sekuritas ini milik pribadi Robert Tantular yang nota bene juga pemegang saham pengendali Bank Century. Penggangsiran uang nasabah oleh Antaboga mengapa bisa lolos dari pengawasan BI dan Bapepam?

Kesepuluh, saat krisis global seperti sekarang ini membuat LPS Amerika (Federal Deposit Insurance Corporation-FDIC) harus merogoh kocek hingga US$66,9 triliun untuk mengatasi 416 bank bermasalah. Bagaimana dengan Indonesia? Mengapa adem ayem seolah tidak ada masalah, tapi tahu-tahu ada kabar mengejutkan seperti Bank Century?

Akankah otoritas moneter dan otoritas fiskal kembali menampilkan drama mengejutkan dikemudian hari, sebagaimana terjadi dimasa lalu? Kita tunggu saja kelanjutannya…!


* artikel ini diambil dari http://hminews.com/jurnal/anatomi-kasus-bank-century/
HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU