Kamis, 21 Mei 2009

Carut Marut Dunia Pendidikan

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 01.44
Kurikulum pendidikan Indonesia selalu mengalami revisi dan revisi. Kendati demikian masih banyak terjadi kekacauan. Paling tidak kekacauan ini dapat dilihat dari orientasi pembangunan pemerintah yang masuk dalam kurikulum. Orientasi pembangunanisme, yaitu sebuah ideologi kopian dari kapitalisme yang dihadapi negara untuk kepentingan pertumbuhan dan tidak memperhatikan masyarakat.

Bicara masalah pembangunan di indonesia, pembangunan telah diorientasikan sebagai media produksi untuk menopang industrialisasi pembangunanisme di indonesia. Dalam bahasa Wardiman (link and match). Dari asumsi itu kemudian lahir sebuah pandangan yang sangat materialistik. Keberhasilan pembangunan ditentukan dari seberapa banyak lulusan yang mampu menempati dunia kerja. Hal ini berarti pendidikan telah dicerabuti esensinya. Esensi pendidikan untuk mencerdaskan dan menciptakan manusia yang hakiki telah dieksploitasi dan direduksi habis menjadi sedemikian instant. Proses pendidikan hanya untuk mempelajari hal-hal teknis. Menyiapkan kognisi dan psikomotorik untuk siap di dunia kerja.

Apabila dibedah mengenai bahan ajar yang diajarkan di sekolah dasar tampak terlihat pendidikan selalu dimuarakan pada kepentingan negara. Masyarakat pun tanpa sadar telah menerima kognisi tersebut. Masyarakat mulai memiliki logika sama bahwa keberhasilan pembangunan ujung-ujungnya adalah kapital. Keadaan ini tidaklah masalah manakala diikuti dengan pertimbangan sisi afeksi. Namun kenyataannya sekolah sekarang ini menjadi semacam rezim pengetahuan yang sangat kaku dan mendikte perkembangan kognisi anak didik. Jadi, anak didik dipaksa seragam dalam memahami sesuatu termasuk didalamnya memahami apa itu pembangunanisme dan bagaimana berperan disana. Masyarakat yang diproses dan diproduk dari pendidikan semacam ini tanpa sengaja (karena proses ini sangat hegemoni) memilki pola pikir yang seragam dalam mempersepsi setiap persoalan. Hal ini praktis kesalahan besar karena kesergaman adalah suatu kemandulan.

Apabila mengamati proses belajar mengajar di kampus, praktis kampus tidak mencerminkan perubahan apa-apa bagi kekuasaan wacana pendidikan di Indonesia. Kampus menjadi bangunan kekuasaan yang mendominasi pemikiran. Kampus menerapkan program kuliah yang begitu ketat ditambah lagi orientasinya yang tidak berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah. Hal yang lebih parah lagi, mahasiswa belajar bukannya untuk mengukir prestasi keilmuan tetapi dijejali persoalan-persoalan yang jauh dari realita. Bukankah ini sebuah malapetaka besar tatkala mahasiswa mengaku dirinya sebagai pelaku golongan menengah intelektual di Indonesia?

Praktis di ruang kuliah mahasiswa tidak mendapatkan persoalan-persoalan riil untuk dijawab bersama. Keadaan ini bercampur dengan orientasi instant developmentalisme dimana keberhasilan kuliah ditentukan setelah lulus mahasiswa disalurkan kemana. Jadi, orientasi keilmuan dipangkas habis-habisan. Dengan kondisi semacam ini masihkah kampus memiliki orientasi keilmuan? Bukannya kampus telah melakukan rutinitas belajar dengan sistem pembelajaran yang standart dan sudah dipatenkan, tidak ada daya tawar. Mahasiswa dituntut mampu berpikir sangat instant yang kemuadian mahasiswa kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Mahasiswa, sebagai kelompok sosial yang teralinasi dalam lingkungannya. Lihat betapa banyak mahasiswa yang tidak berani kembali ke desa dan tidak berani menghadapi persoalan riil di masyarakat. Mungkin bisa juga dilihat dari berapa banyak pengangguran intelektual di indonesia. Kondisi yang parah ini memang kampus diciptakan untuk merepresentasi kepentingan negara dan tidak digunakan untuk merepresentasi perkembangan pengetahuan. Karena digunakan untuk merepresentasi kepentingan negara maka kekuasaan yang diadaptasi di kampus sangat mirip dengan negara. Sangat kaku dan berorientasi pada develop-develop.

Bukankah ini telah mencerabuti esensi-esensi belajar, mencerabuti esensi pengetahuan. Jika memang orientasinya link & match, maka perlu adanya semacam hubungan yang intens antara lembaga pendidikan dan industri. Kemudian muncul problem ada mata kuliah. Teori-teori yang diajarkan umumnya sudah kadaluarsa sehingga untuk bersaing di dunia kerja, mahasiswa perlu belajar lagi.

Sebenarnya esensi pendidikan itu adalah mengembangkan potensi kemanusiaan secara utuh dengan tetap memperhatikan kognisi, afeksi dan psikomotorik. Kognisi tergarap tapi tidak tuntas. Pengembangan kognisi di kampus hanya sebatas kulit dan tidak mencoba menggali persoalan yang lebih mendalam. Psikomotorik, ada pendidikan yang telah memiliki psikomotor murni tapi betapa banyak perguruan tinggi yang pengembangan psikomotornya masih lemah.

Sebenarnya pendidikan itu tidak ada hubungannya dengan ideologi developmentalisme negara. Negara juga harus tahu diri dan tidak bermain di ranah pendidikan hanya untuk kepentingan pembangunan prakondisi yang stabil. Efek pendidikan yang ruwet ini merupakan pengaruh kekuatan negara yang tidak dapat dibendung oelh kekuatan apapaun di masyarakat termasuk di dalamnya pendidikan. Agama pun habis dihadapan negara. Agama dijadikan objek kekuasaan yang hanya mengusung simbol sementara membuang rohnya. Begitu juga dalam pendidikan dimana kepentingan negara terlalu kuat. Kurikulum diciptakan sedemikian rupa untuk menciptakan keseragaman pola pikir. Kondisi ini menguntungkan negara karena semakin rendah resistensi masyarakat pada negara, negara semakin membabi buta dalam mendikte masyarakat untuk menuntaskan proyek-proyek negara termasuk developmentalisme.


CITRA BANCH SALDY

DIREKTUR LEMBAGA PERS MAHASISWA ISLAM (HMI-MPO) CABANG PURWOKERTO



Minggu, 03 Mei 2009

Pentingnya Pembenahan di Hulu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 20.36


Lebih sepuluh tahun sudah sejak reformasi bergulir di tahun 1998, rakyat negeri ini menghirup udara kebebasan. Banyak hal yang telah berubah dahulu pada saat orde baru berkuasa, segala aspirasi, kritik dan demonstrasi tidak diperbolehkan. Kini semuanya halal untuk dilakukan termasuk saling klaim keberhasilan sebagaimana yang dilakukan banyak partai politik.
Di zaman pemerintahan Soeharto seluruh organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan diharuskan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi. Sekarang semua organisasi mampu berbuat semaunya termasuk bertindak anarkis. Sebagaimana yang dipertontonkan dalam kasus pro pemekaran Tapanuli yang menyebabkan kematian Ketua DPRD Sumatera Utara yang berasal dari partai Golkar.

Demokrasi yang kebablasan ini membuat semua orang dan semua organisasi mampu melakukan apapun yang mereka suka. Keran kebebasan yang semakin deras terbuka menyebabkan persaingan antar orang dan antar organisasi semakin kompetitif. Ini mengharuskan HMI melakukan perubahan mendasar dalam sistem keorganisasiannya.

Gugatan Hukum sebagai Jalan Tengah.
Setelah tragedi di tahun 1986 HMI mengalami benturan dahsyat yang menyebabkan organisasi ini koma hingga hari ini, berbekal semangat untuk hiduplah yang membuat HMI masih terus berdetak jantungnya hingga saat ini. Organisasi ini mengalami mati suri diberbagai aspek kehidupan berorganisasinya.

Bagaimana tidak dikatakan mati suri, bila organisasi ini di dzalimi oleh negara dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun tetapi para kadernya tidak pernah melawan. Setidaknya ada empat alasan mengapa HMI harus melawan. Pertama secara ideologis, Islam sebagai sebuah ajaran paripurna dari Allah SWT diusik kesuciannya dengan memaksakan asas lain masuk dalam tubuh HMI. Kedua secara historis, negara telah memecah belah HMI. Ketiga secara konstitusional, penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. Keempat secara operasional, telah terjadi kemiskinan secara struktural didalam tubuh “HMI MPO”.

Bentuk perlawanan yang akan dilakukan adalah dengan mengkampanyekan HMI sebagai korban dari sebuah konspirasi jahat negara untuk mematikan salah satu gerakan mahasiswa Islam tertua di negeri ini. Melalui gugatan hukum melawan negara bukan rekonsiliasi, “HMI MPO” tidak pernah bermasalah dengan “HMI DIPO”, DIPO dan MPO adalah bentukkan negara. Bukan pula perubahan nama, tidak perlu ada satupun yang berubah, organisasi ini tetap bernama Himpunan Mahasiswa Islam dan tetap berasaskan Islam.

Kepemimpinan yang Kuat.
Kongres HMI ke-27 di Yogyakarta pada tanggal 6 sampai dengan 11 Juni 2009 merupakan momentum penting kebangkitan HMI. Salah satu caranya adalah dengan mencari figur pemimpin yang tepat bagi HMI.
Seleksi yang ketat diharapkan memunculkan pemimpin yang kuat. Pemimpin yang kuat menjadi sangat penting mengingat amanah gerakan ke Islaman yang akan dipikul amatlah berat. Selain tugas-tugas ke HMI-an, pemimpin terpilih juga dihadapkan dengan tugas-tugas kebangsaan yang juga tak kalah beratnya.

Melihat beratnya amanah tersebut menjadi sangat penting membicarakan tentang munculnya figur pemimpin HMI yang akan mengemban amanah dua tahun kedepan. Terlampau sederhananya mekanisme pemilihan formatur (ketua umum) pengurus besar di dalam kongres-kongres HMI, membuat besarnya intervensi dari sebagian alumni HMI. Terlihat betapa tidak berdayanya pengurus cabang dalam setiap kongres HMI, untuk mengurangi intervensi tersebut seharusnya seleksi calon ketua umum pengurus besar dilakukan jauh-jauh hari.
Lewat badan-badan koordinasi (badko) aspirasi cabang-cabang dikumpulkan, calon ketua umum yang muncul lewat mekanisme konvensi badko yang juga refresentasi wilayahnya kemudian di daftarkan kepada Tim Pekerja Kongres (TPK). Barulah TPK menyiapkan mekanisme penyaringannya, semisal: debat kandidat, pemaparan visi misi sehingga saat pemilihan formatur (ketua umum) pengurus besar di forum kongres utusan cabang-cabang paham betul siapa yang akan dipilih. Baik figur, konsep hingga pelaksanaan konsep.

Usul untuk memperbaharui mekanisme pemilihan ketua umum (formatur) pengurus besar di kongres HMI ke-27 serta mengurai karut marut dualisme HMI melalui gugatan hukum melawan negara merupakan dua hal dari banyak masalah di Hulu HMI yang harus segera di benahi. Berharap siapa pun yang terpilih nantinya, dapat membawa HMI ke arah yang lebih baik.

Anthomi Kusairi, SH.
Mantan Ketua Umum HMI Badan Koordinasi Indonesia Bagian Barat (Badko Inbagbar), 2003-2005.
Mantan Ketua Komisi Hukum dan HAM PB HMI MPO, 2005-2007.

Ujian Nasional dan Pembodohan Bangsa

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 18.27
Ujian Nasional dan Pembodohan Bangsa
oleh: Bambang Wibiono*


Minggu yang lalu kita menyaksikan bahwa generasi penerus bangsa yang duduk di bangku SMA dan SMP melaksanakan ujian nasional atau disebut UN. Berbagai kekhawatiran dari pihak siswa, guru, bahkan orang tua mulai menyergap hati mereka. Mereka tidak pernah berhrap untuk tidak lulus ujian. Pihak orang tua berusaha memasukkan anaknya ke berbagai les privat atau bimbingan belajar. Begitu juga di sekolah, diadakan jam tambahan untuk pemantapan ujian nasional.

Mengapa kekhawatiran itu muncul? Penyebabnya adalah standar kelulusan meningkat menjadi 5,5. Sebuah angka yang fantastis dan sulit untuk dicapai. Dari kekhawatiran ini, berbagai strategi disiapkan agar tercapai kesuksesan Ujian Nasional. Tetapi bagaimanakah strategi yang dilancarkan oleh pihak sekolah agar Ujian Nasional itu sukses, dan anak didiknya dapat lulus 100%?

Suatu ketika saya mencoba ingin mengetahui bagaimana ujian nasional itu berlangsung. Minggu yang lalu saat saya berada di kampung halaman yang kebetulan lokasinya dekat dengan sekolah, saya mencoba mencari tahu mengenai "peristiwa" UN. Iseng-iseng saya menanyakan kepada salah satu pegawai di sebuah sekolah SMA (Madrasah Aliyah) di bawah naungan Departemen Agama.
"gimana pak, UN kemaren? sukses ga?", "kira-kira bisa lulus semua ga ?"
Dengan enteng dan nada kecewa beliau menjawab
"wah, kalo sistemnya kaya gini sih jangankan 5.5, standar lulus 9 atau sepuluh pun pasti bisa"
Dengan penuh pensaran saya balik bertanya,
"lho emang kenapa?"
"lha iya, gurunya ikut membantu memberi jawaban secara terang-terangan kepada siswa. bahkan jumlah jawabannya pun ga tanggung-tanggung, sampe mencapai angka lulus!!" kemudian lanjutnya, "gimana ga lulus semua, dengan jawaban yg didapat aja udah cukup untuk lulus. Kalo mau lebih, sisanya tinggal usaha siswa sendiri"
Dengan rasa tertarik, kemudian saya bertanya lagi, "gimana cara memberitahunya?kan ada pengawas??"
"halah, pengawas cuma bohong-bohongan, mereka pura-pura ga ngerti. Semua udah terencana secara terstruktur dari atasnya. Jadi walaupun pengawasnya dari sekolah lain, tapi karena punya kepentingan yang sama yaitu meluluskan siswanya, jadi mereka saling pengrtian..UN cuma pembodohan aja, percuma!!" jawabnya dengan agak kesal.

Dari informasi ini, saya mencoba bertanya pada siswa yang saya kenal dekat. Namun ternyata jawabannya membenarkan pernyataan tadi. Lantas lebih lanjut, saya mencoba mencari informasi pelaksanaan UN di tingkat SMP. Tanpa sengaja saya mendapat penjelasan dari siswa bahwa mereka diberi jawaban oleh gurunya melalui kertas yang diberikan pada salah satu siswa yang menjadi penanggungjawab dalam masing-masing ruangan ujian. Jumlah jawaban yang diberikan bervariasi, hingga mencapai jumlah 30 soal, tergantung jumlah seluruh soal tiap mata pelajaran. Dengan gembira mereka berkata:
"kalo gini sih, kita ga perlu takut engga lulus. terus juga engga perlu cape-cape belajar."

Melihat realitas ini, ternyata pendidikan kita semakin mengarah pada kehancuran. Generasi bangsa ini dididik untuk malas. Pendidikan dipahami bukan sebagai arena berproses untuk menggali potensi dan memahami serta menguasai ilmu. Hal ini dikarenakan institusi pendidikan atau sekolah hanya sebagai tempat mencari legalitas atau ijasah saja untuk keperluan melanjutkan atau bekerja.

Saya teringat ucapan mendiknas pada acara dialog yang diadakan di TV One. Beliau mengatakan jika dirinya menjadi menteri lagi akan menaikkan standar kelulusan menjadi 6 atau 6,5. Alasannya karena pendidikan Indonesia sudah ketinggalan jauh dengan negara lain. Beliau ingin mensejajarkan standar pendidikan dengan negara lain yang sudah lebih maju pendidikannya. Menurut saya, apalah arti sebuah angka yang tinggi untuk standar kelulusan tanpa memperbaiki mekanisme dan proses di dalamnya. Kemudian juga sudah memadaikah kualitas tenaga pendidiknya, sarana dan prasarana penunjangnya? Bagaimana juga dengan biaya untuk dapat mengenyam di suatu jenjang pendidikan? apakah sudah dapat dijangkau oleh semua kalangan?

Pendidikan seharusnya mampu memanusiakan manusia. Bukan mencetak orang-orang yang pragmatis dan egois. Pendidikan harus mampu memberikan sebuah pendidikan moral!! Selama ini sistem pendidikan kita melupakan satu hal penting, yaitu pendidikan moral! Moral para pelajar tidak pernah mendapatkan perhatian dan evaluasi. Bahkan yang lebih tragis, sekolah telah mengajarkan hal yang tak bermoral seperti kecurangan dalam Ujian Nasional. Ini sungguh sebuah pembodohan bangsa. Tidak dapat dibayangkan bangsa ini pada puluhan tahun yang akan datang, ketika generasi yang sekarang memimpin negeri ini.

Hari pendidikan nasional yang kemarin dilaksanakan seharusnya menjadi renungan bagi kita semua dan terutama para pemimpin di negeri ini. Jangan hanya atas dasar perolehan kesuksesan kinerja pemerintahannya, segala cara ditempuh. Jangan sampai standar kelulusan yang tinggi dan jumlah angka kelulusan yang sudah dicapai dijadikan parameter kesuksesan bidang pendidikan, karena itu semua adalah pembohongan publik!!


* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed dan kader HMI-MPO Cabang Purwokerto.






Jumat, 01 Mei 2009

Gunung Slamet vs Hari Buruh

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 16.22

Memperingati hari buruh seluruh dunia, Aliansi Rakyat Banyumas Bersatu (ALAT BAMBU) yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa, yaitu: HMI-MPO, FMN, IMM, PMII, PMKRI, LMND dan SRMI melakukan aksi long march kedepan gedung DPRD Banyumas. Aksi ini menuntut adanya sebuah sistem perburuhan yang adil bagi buruh, karena selama ini kehidupan buruh semakin dirugikan dengan kebijakan yang bipatriat, yaitu antara buruh dengan pihak pengusaha saja. Dari sistem tersebut, kasus buruh yang terjadi di Banyumas adalah tidak sesuainya upah buruh dengan UMK Banyumas sebesar Rp. 612.500. Karena pada realitanya, buruh di Banyumas hanya mendapatkan upah sebesar Rp. 350.000- Rp. 450.000 perbulan, kondisi realita ini yang kemudian menjadi permasalahan tersendiri untuk wilayah Banyumas.

Aksi yang diikuti lebih dari 100 orang tersebut, dimulai dari depan kampus Unsoed dengan mengambil rute Jl HR Bunyamin, kebon dalam, Jl Jenderal Soedirman, RRI Banyumas dan berakhir di gedung DPRD Banyumas. Citra Banch Saldy perwakilan dari HMI-MPO yang juga negosiator aksi, dalam orasinya menyuarakan bahwa kondisi buruh Indonesia saat ini telah dimonopoli oleh rezim neoliberalisme dan imperialisme Amerika dengan masuknya perusahaan multinasional ke dalam Indonesia, seperti Freeport, Exxon Mobile, Caltex dan Newmont. Citra pun mengkritisi pada permasalahan isu yang diangkat setiap tahun yakni permasalan outsourching dan rendahnya upah buruh. Kesemua itu hanya berhenti pada tataran isu belaka tanpa ada sebuah penyelesaian yang solutif dari pemerintah.

Ada beberapa tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut, yaitu pertama, berikan upah layak bagi seluruh buruh. Kedua, menuntut dicabutnya UU no 13 tahun 2003. Ketiga, hentikan prampasan tanah rakyat. Terkait dengan tuntutan tersebut, Alvin perwakilan dari LMND menyampaikan bahwa “aksi ini ditujukan sebagai sebuah bentuk dinamisasi gerakan yang didalamnya ada sebuah tuntutan untuk keejahteraan buruh yang lebih baik”. Lebih lanjut Alvin menambahkan bahwa “kondisi buruh yang seakan diam dalam menghadapi tekanan perusahaan karena buruh masih terlalu menggantungkan hidupnya pada perusahaan”.

Aksi massa ini direspon oleh anggota dewan dengan dialog diantara kedua belah pihak, antara ALAT BAMBU dengan pihak DPRD dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam dialog tersebut, anggota DPRD Banyumas dihadiri oleh ketua Komisi D Bapak Supangkat SH sedangkan dari Disnakertrans dihadiri oleh kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam dialog tersebut, pertanyaan dari ALAT BAMBU berkisar pada permasalahan peran dan posisi legislatif dan eksekutif Banyumas dalam mengatasi permasalahan buruh di Banyumas serta sangsi yang diberikan kepada pengusahan yang tidak memenuhi kesejahteraan buruh. Klaim yang dibuat oleh pihak eksekutif maupun legislative adalah sudah dilaksanakannya pengawasan pada tingkatan perusahaan masing-masing. Namun dari system pengawasan tersebut hanya diambil 64 perusahaan sebagai sampel, bukan secara keseluruhan perusahaan yang ada di Banyumas.

Terkait dengan peran legislative, Supangkat SH menjelaskan bahwa “selama ini anggota dewan masih menunggu laporan dari buruh secara individu maupun kelompok, namun sampai kini tidak ada yang melapor terkait dengan isu penindasan terhadap buruh tersebut”. Namun perwakilan dari mahasiswa sedikit kecewa dengan pernyataan anggota dewan terebut, seperti yang diungkapkan oleh Erwin Asrizal (PTK HMI Cabang Purwokerto) bahwa “seharusnya anggota dewan tidak menunggu bola terkait dengan permasalahan buruh ini kalau perlu anggota dewan melakukan pemantauan langsung ditingkatan konstituennya”. Aksi ini diakhiri dengan menyanyikan lagu darah juang dan sumpah rakyat Indonesia sebelum rombongan meninggalkan gedung dewan dengan tertib.

Imam Budilaksono (LAPMI PURWOKERTO)
HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU