Kamis, 30 April 2009

DEGRADASI KULTUR DAN IDENTITAS

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 06.52
"Menyoal Tradisi Keilmuan (Budaya Membaca) di HMI"
Oleh : Achmad Saptono (Panggil ; Tino)1

Ada yang beranggapan bahwa sejarah adalah sebuah romantisme, sejarah adalah guru yang paling berharga atau juga ada yang menganggap bahwa sejarah adalah momok yang membatasi langkah kita. Mungkin berbeda dengan anda ketika menginterpretasikan apa itu sejarah. Perbedaan antara masa lalu dan saat ini memang tidak mungkin bisa untuk kita sama-kan. Waktu dan jaman yang berbeda akan sangat mempengaruhi bagaimana perilaku serta karakter dari setiap individu dan juga masyarakatnya.
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merupakan salah satu organisasi mahasiswa Islam yang paling tua di Indonesia. Tak sedikit alumni HMI yang memberikan pandangan tentang bagaimana HMI di masa lalu. Sebagian besar alumni-alumni HMI menggambarkan bahwa dahulu sosok organisasi HMI adalah organisasi yang kaya akan wacana-wacana keislaman, sosial, politik, ekonomi, budaya dan wacana up to date yang lainnya. "HMI adalah organisasi yang intelek, dahulu masing-masing kader HMI mempunyai koleksi buku bacaan pribadi yang menumpuk di meja belajarnya", demikian kalimat yang sering saya dengar dari beberapa alumni HMI.
Kata Intelek, bagi saya merupakan sebutan untuk mereka – orang-orang yang selalu menggunakan otak kiri nya dalam menghadapi segala sesuatu – yang mampu menelurkan karya-karya yang inovatif atau orang yang selalu berfikir sistematis serta ilmiah. Terlalu berat memang, ketika sebutan Intelektual untuk ukuran saat ini diberikan pada semua civitas akademik. Sekali lagi untuk ukuran saat ini memang begitu berat bagi saya. Kenapa? Jawabannya adalah karena konteks saat ini sangat-sangatlah berbeda dengan masa lalu. Saya akan mencoba melihat dari hal kecil, saya yakin saat ini jarang sekali ada kader HMI yang berhasil menghabiskan (membaca) satu buku sampai selesai dalam waktu satu minggu, apalagi menghabiskan satu buku dalam waktu satu hari (semoga saja masih ada, amiin…).
Waktu yang sudah hampir 2 tahun terlibat di internal HMI bukan waktu yang singkat. Sepanjang pengalaman yang pernah saya dapatkan di HMI, sampai hari artikel ini ditulis belum pernah saya mendapati ada seorang kader yang mampu menghabiskan satu buku bacaan dalam waktu satu hari. Saya yakin dan tentunya anda mengerti apa saja yang didapatkan setelah membaca buku atau apa manfaat dari buku itu. Dengan membaca buku kita bisa mengetahui segala macam hal yang ada dan terjadi di dunia ini. Kita bisa mengetahui jumlah planet dalam tata surya dengan duduk manis membaca buku, kita bisa mengerti bagaimana proses terjadinya siang dan malam dengan membaca buku dan lain sebagainya.
Salah satu hal yang menyebabkan keterbelakangan umat manusia dalam menggorganisir komunitasnya dalam kehidupan sosial adalah tidak nyangkutnya teori dan praktik atau ilmu dengan implementasi atau realitasnya.2 Cukup jelas bahwasanya kader HMI yang juga notabene sebagai umat manusia perlu sekali untuk mempelajari teori sekaligus dengan penerapannya, dalam hal ini HMI perlu meng-Up Gradd kadar keilmuan dalam rangka mentransformasikan kembali tradisi-tradisi keilmuan di HMI. Wabil' khusus atau ditarik ke yang lebih spesifiknya lagi yaitu budaya membaca.
Allah SWT berfirman, yang artinya :
"Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan (ilmunya)".3

Dalam hal ini Allah SWT sama sekali tidak membatasi umatnya untuk menggali ilmu justru sebaliknya, ayat di atas adalah salah satu anjuran kepada manusia agar senantiasa mampu menembus serta memecahkan segala macam persoalan duniawi dengan tradisi keilmuannya. "Tradisi keilmuan di era 90-an menjadi salah satu identitas HMI yang melekat dalam diri kader, berbagai wacana sosial termasuk kajian filasafat berhasil dikuasai oleh kader", (Kutipan ini adalah kalimat yang pernah dilontarkan oleh ketua HMI Badko Inbagteng Moh.Syafe'i).
Belum dan bukan terlambat ketika saat ini kita kembali mencoba untuk mengembangkan tradisi keilmuan di HMI. Sampai kapanpun ilmu yang didapat dari membaca itu tidak akan pernah terkikis oleh waktu. Membaca (buku) apapun pasti akan mempunyai beberapa nilai positif terlebih lagi ketika yang dibaca itu adalah kitab umat islam yakni Al-Qur'an. Wallahu'alam...(Kabid PAO HMI Cab.Purwokerto)

Senin, 27 April 2009

Kongres HMI Diputuskan 6-11 Juni

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 06.47
Jakarta- Kongres HMI ke XXVII diundur pelaksanaannya dari tanggal 21 Mei menjadi 6-11 Juni 2008. Keputusan pengunduran jadwal ini diputuskan melalui rapat PB HMI yang digelar, Jum’at (24/4). Hasil ini sekaligus menjawab kesimpangsiuran informasi yang selama ini muncul terkait jadwal pelaksanaan kongres.

Keputusan ini diambil dalam rapat yang dihadiri ketua PB HMI Syahrul E Dasopang, Sekjend Eman Siswanto, ketua komisi pemuda sekaligus ketua SC Azwar M Syafei, ketua komisi hukum dan HAM Ahmad Ilyas, ketua komisi politik Heri Setiawan, staf komisi pemuda Muhammad Akhirudin, staf komisi ekonomi Siti Darmalisa dan Eksekutif Nasional LAPMI Trisno Suhito.

Sebelum keputusan diambil, rapat PB HMI mendengarkan penjelasan dari sterring comitte (SC) kongres menyangkut perkembangan terakhir kongres. Dari rapat terungkap jadwal kongres awalnya tetap tanggal 21 Mei 2009 denga tempat di wisma Taman Eden, Kaliurang. Bahkan dari pihak panitia sudah membayar untuk awal sebesar Rp 10 juta.

Wisma Taman Eden dipilih karena selain tempatnya representatif untuk menggelar acara besar, juga karena memberikan diskon sampai lima puluh persen untuk kongres HMI. Untuk harga normal di salah satu tempat paling favorit di Kaliurang ini adalah Rp 127 juta selama sekitar seminggu pelaksanaan kongres. Harga ini untuk penginapan dan makan. Namun, dari pihak manajemen wisma Taman Eden ternyata mau memberikan diskon sampai 50 persen sehingga dari panitia hanya membayar sekitar Rp 68 juta.

Diskon ini diberikan manajemen karena menilai bisa untuk promo tempat mereka ke publik sebab akan digunakan dan dikunjungi oleh HMI seluruh Indonesia.Tetapi dari pihak manajemen wisma Taman Eden kemudian mengontak panitia bahwa ada mis komunikasi dengan pihak pemilik tempat penginapan tersebut. Ternyata tanggal 18 Mei sampai 2 Juni tempat tersebut sudah ada yang memesan untuk digunakan. Dari pihak manajemen meminta maaf ke panitia kongres HMI dan menyampaikan tempat tersebut bisa digunakan HMI tanggal 6 Juni.

Atas pertimbangan dari manajemen, panitia kongres kemudian menyetujui waktu pelaksanaan kongres diundur tanggal 6 Juni dan menjadi berita di HMINEWS. Namun, keputusan jadi tidaknya pengunduran kongres itu bukan pada panitia atau SC. Tapi hasil keputusan rapat PB HMI yang akan memutuskan hal ini. Kepastian soal pengunduran waktu ini harus diputuskan melalui rapat PB HMI.

Panitia sebenarnya sudah berusaha mencari tempat yang memenuhi syarat selain Wisma Taman Eden, ternyata itu tidak ada. Ada beberapa alternatif tempat seperti di Wisma Pertanian, dan Pesantren Darul Hikmah. Tapi, di dua tempat tersebut aula yang ada cuma memuat maksimal 200 orang dengan harga sekitar Rp 60 juta. Sementara di asrama haji Yogjakarta, biaya yang harus dikeluarkan cukup mahal sampai Rp 130 juta.

Setelah melalui diskusi cukup panjang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, akhirnya rapat PB HMI menyepakati kongres diundur menjadi tanggal 6-11 Juni di Wisma Taman Eden, Kaliurang. Selain persoalan teknis tadi, ini sekaligus juga agar persiapan panitia lebih matang dalam menggelar kongres. Melalui rapat PB HMI tersebut menjadi keputusan resmi terkait pengunduran kongres sekaligus memberi kepastian pelaksanaan hajat terbesar HMI ini kepada cabang-cabang.

Trisno Suhito

Sabtu, 25 April 2009

FACEBOOK = BUDAYA POP ?

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 02.39

A new life style is coming…!!! Era Friendster kini telah usai, berganti dengan mahluk baru bernama Facebook. Facebook telah merambah dalam gaya hidup seorang individu. Bukan saja anak muda, tapi orang tua pun berlomba-lomba membuat akun Facebook agar tak dikatakan ketinggalan jaman. Facebook yang tidak jauh berbeda dengan Friendster adalah sebuah situs jejaring perkawanan (social networking) di dunia maya yang berfungsi sebagai media komunikasi, ekspresi personal, dan media mencari teman baru ataupun lama. Facebook memang menawarkan hampir semua jasa yang disediakan berbagai situs. Facebook dapat digunakan untuk menjalin pertemanan, bergabung ke grup atau komunitas sosial, mengirim surat elektronik, chatting, bermain online game, serta meng-upload video dan foto.

Facebook yang diluncurkan 4 Februari 2004 oleh Zuckerberg di AS, layaknya kacang goreng kini semakin meroket jumlah pengaksesnya. Di Indonesia sendiri, menurut AllFacebook.com, saat ini telah tercatat lebih dari 1,5 juta orang yang terdaftar dalam akun Facebook. Bahkan, Facebook telah berada di rangking kelima sebagai situs yang paling banyak diakses di Indonesia. Tak heran, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara dengan tingkat pertumbuhan Facebook tercepat. Bahkan, Indonesia tercatat dalam sepuluh besar negara pemakai situs yang mulai dibuka untuk umum mulai tahun 2006 ini.

Budaya Pop ?
Budaya dalam kamus besar bahasa Indonesia mencakup pikiran; akal budi. Akal budi dan pikiran sejatinya karya atau ciptaan manusia yang bermasyarakat, sehingga terbentuk peradaban. Dengan demikian, budaya erat kaitannya dengan masyarakat dan adat istiadat dari generasi ke generasi. Budaya tidak hanya kesenian atau hal-hal yang berkaitan dengan intelektual, namun mencakup seluruh pola kehidupan tatanan masyarakat. Derasnya arus globalisasi telah mengubah cara kita dalam berbudaya. Pelan namun pasti budaya barat dengan paham kapitalisme bukan saja mengubah tatanan sosial yang ada, namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita. Budaya ini menumbuh-kembangkan konsumerisme dan hedonisme di segala lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Budaya yang telah ada lebih dulu yang merupakan identitas makin memudar, bahkan menghilang. Budaya tersebut kita kenal dengan istilah budaya populer (pop-culture).

Dominic Strinati mengutip pendapat L Gamman dan M Marshment dalam tulisan keduanya berjudul The Female Gaze: Women as Viewer of Popular Culture (1988), mendefinisikan budaya pop sebagai “lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi, membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. (Budaya pop) juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya, dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus”.

Sedangkan dalam Ensiklopedia Encarta, budaya pop diartikan sebagai “values that come from advertising, the entertainment industry, the media, and icons of style and are targeted to the ordinary people in society”. (Encarta reference library, 2004). Budaya pop adalah nilai-nilai yang berasal dari industri iklan, industri hiburan, media dan simbol mode yang ditujukan pada masyarakat awam. Budaya pop mengkhaskan wujudnya dalam sebuah kondisi kepraktisan, pragmatisme, dan keinstanan. Sebuah budaya yang digerakkan oleh kepentingan pasar. Budaya pop secara jelas memiliki dua karakter. Pertama, bersifat instant, memberikan pemuasan sesaat, pasif dan cenderung dangkal. Maka tak jarang budaya ini, dipenuhi oleh intrik seksualitas dan konsumerisme. Kedua, budaya ini juga bersifat massa, sehingga penyebarannya di tengah masyarakat sedemikian cepat.

Lantas bagaimanakah dengan keberadaan Facebook yang saat ini manjadi ikon anak muda buat media ekspresi yang paling canggih sekaligus fenomenal? Facebook jelas produk bentukan kapitalis yang digerakan oleh kepentingan pasar. Facebook adalah bentuk homogenitas budaya pop (popular culture). Kehadiran Facebook yang seharusnya disikapi sebagai sebuah perkembangan tekhnologi informasi justru jatuh pada tataran pragmatisme massal dimana Facebook hanya dilihat sebagai sebuah aksen penjelas akan makna gaul dan eksistensi seorang individu. “gak gaul loe kalo gak punya facebook…!!!”. Gaul hanya dimaknai sempit ketika seseorang mempunyai account di Facebook selebihnya tidak. Jelas ini adalah sebuah proses pereduksian dan pendangkalan akan makna-makna luhur kehidupan. Individu merasa keberadaannya tidak diakui jika tidak memiliki account di Facebook. Dirinya hanyalah dihargai sebatas kepemilikan account di Facebook itu. Tanpa memilikinya ia merasa dirinya mati. Bila pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jatuh. Hasilnya adalah tidak adanya bentuk-bentuk penghargaan terhadap manusia sebagai insan. Ini pun dapat menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan.

Sedemikian seriuskah? Memang terkesan remeh dan kita sebagai seorang individu bisa mengelak bahwa Facebook adalah bentuk adaptasi demi mengikuti perkembangan zaman. Namun apakah kita sadar kalau seharusnya Facebook sudah masuk pada tataran rasionalisasi?. Tampaknya budaya global dari efek media sudah benar-benar pada tahap syndrome hyperreality. Lihat saja sebuah pemanfaatan yang sia-sia akan kecanggihan teknologi informasi jika Facebook hanya dimaknai sebagai arena curhat, arena pembohongan publik, atau sekedar arena gagah-gagahan (narcis) seorang individu layaknya memakai t-shirt bergambar Che Guevara tanpa pernah tahu bagaimana perjuangannya, menggunakan atribut Palestina tanpa pernah tahu betapa berartinya bertahan hidup di Gaza sana. Kita tidak sadar kalau kita sebagai individu digiring pada wilayah instant yang malah semakin mendegradasikan kehidupan kita bila kita tidak memaknai penuh bijak kehadiran Facebook ini. Kita telah menjadi sasaran konsumerisme dan konsumtivisme budaya pop.

Resistensi yang dapat kita lakukan terhadap kultur singularitas peradaban yang ditampilkan dalam aksen “Facebook” dapat dilakukan dengan proses internalisasi. Hal ini dikarenakan homogenitas budaya pop itu mengarah pada pendangkalan, solusi yang harus dilakukan adalah pendalaman. Internalisasi merupakan suatu proses memaknai kembali secara mendalam makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami. Selain itu perkembangan Facebook harus diikuti dengan pengembangan budaya literasi sehingga Facebook tidak berhenti sebagai sebuah gejala temporer semata.

Citra Banch Saldy
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Ketua LAPMI HMI-MPO Cabang Purwokerto.

Rabu, 22 April 2009

Kongres Bukan Ajang Dagelan

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 07.36
Roda persiapan menuju kongres HMI-MPO ke 27 di Jogjakarta terus berputar, tentunya segala perbekalan kongres sudah harus terpenuhi sebelum acara tersebut berlangsung mengingat agenda kongres telah diundur dari jadwal semula yakni tanggal 21 Mei menjadi tanggal 7 juni 2009. Jangan sampai ketika hari pelaksanaan panitia keteteran dengan hal-hal kecil yang bersifat teknis.
Kompleksitas permasalahan yang menghinggapi di berbagi tingkatan struktur HMI selama 2 tahun kepemimpinan Kanda Syahrul Dasoppang haruslah mampu diselesaikan pada momen kongres tersebut, setidaknya formula penyembuh dan pencegah mampu ditemukan sekaligus sehingga permasalahan tersebut tidak lagi timbul di tahun-tahun berikutnya. Kongres HMI ke 27 ini harus mampu menelurkan konsep-konsep perbaikan organisasi HMI yang kini semakin mengalami penurunan. Kongres harus berkonsentrasi bagaimana membangun organisasi HMI yang semakin terpuruk bukan menjadi ajang dagelan politik suksesi kepemimpinan HMI. “belum apa-apa tapi sudah mengklaim kalo si ini dan si itu, yang mampu menuntaskan permasalahan besar di HMI, apa si fulan itu sudah pernah teruji…???” celoteh kesal seorang kader HMI Purwokerto ketika membaca kolom komentar di www.hminews.com. Celoteh itu tentunya bukan hanya keluar dari teman-teman Purwokerto tapi mungkin ada di tiap benak kader-kader lain. Lantas apa bedanya kongres HMI-MPO Ke-27 ini dengan kongres HMI-DIPO tahun lalu?
Kongres bukanlah ajang dagelan politik, melainkan sebuah ajang intelektualitas Kader-Kader HMI dalam berdialektika, bukan hanya untuk HMI tapi juga masyarakat dan bangsa Indonesia. Kongres harus bisa menjawab bangkitnya HMI dikampus-kampus sehingga kongres bukan hanya ajang rutinitas organisasi HMI. Kongres harus bisa menjawab pada tataran taktis dan strategis pemecahan masalah kebangsaan. Semoga saja, kongres HMI ke-27 Jogjakarta mampu melahirkan pemimpin yang tahu dan sadar akan hal ini, sehingga kegelisahan kader HMI se-Indonesia dapat bangkit kembali membangun para insan ulil albab. Dan Jargon Yakin Usaha Sampai tidak hanya menjadi bualan sesaat para kader HMI karena mengenang kejayaan dan romatisme masa lalu yang mungkin saja orang lain pun meragukan hal tersebut.
Perubahan tidak akan berhasil baik jika apa yang dilakukan telah berseberangan dengan apa yang telah ditetapkan sebagai fondasi perjuangan. Jadikan terus ISLAM sebagai landasan gerak dan perjuangan HMI-MPO. Allahu Akbar…!!!

CITRA BANCH SALDY ( LAPMI PURWOKERTO)

Senin, 20 April 2009

KONGRES HMI 27 DIUNDUR

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 09.20

Agenda pelaksanaan kongres HMI di Yogyakarta yang semula ditetapkan akan belangsung pada tanggal 21 Mei 2009, akhirnya diundur pada tanggal 7-10 Juni bertempat di taman Eden Kaliurang. keputusan tersebut diambil dengan berbagai pertimbangan dari panitia dan pihak SC (stering commite).

Perihal mundurnya penyelenggaraan acara kongres tersebut ternyata disambut baik oleh berbagai komisarat di lingkungan HMI cabang Yogyakarta, pada rapat bersama yang diselenggarakan oleh ketua cabang pada Jum’at malam (17/04) di sekretariat cabang HMI. Ketua komisariat fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nurwahid, mengatakan, kemunduran tersebut akan lebih mensolidkan kerja panitia dan peran komisariat mengingat acara pra-kongresnya masih belum selesai.

Nurwahid juga menilai, pentingya segera mensosialisasikan perubahan tersebut sehingga peserta kongres nantinya tidak salah infromasi. “ pemberitahuan ulang ini sangat penting untuk kevalidan undangan yang sebelumnya diberitahukan saat proposal disebar ke alumni, pemerintah serta pihak swasta,” tandasnya.

Ketua KPC Yogyakarta Iqbal H Hakim mengakui, perubahan tanggal pelaksanaan kongres tersebut tentunya dengan pertimbangan yang matang karena kesempurnaan jalannya acara menjadi prioritas dari HMI Yogyakarta sebagai penyelenggara. “saya juga ikut mensurvei berbagai tempat untuk acara kongres kali ini dan akhirnya gedung Wiyata Yasa sebagai tempat pembukaannya dan Taman Eden terpilih sebagai tempat pelaksanaannya,” katanya.

Launcing logo

Ditemulai secara terpisah, pemenang lomba desain logo kongres, Nugroho Hadi Saputra, menjelaskanpula bahwa, molornya waktu pelaksanaan ini memberikan kesempatan bagi dirinya untuk membuat lebih banyak lagi pernak-pernik seperti sticker, kaos, jaket dengan menggunakan hasil logo kreasinya. “ tadi saya secara resmi sudah launcing logo kongres dan harapannya semua kader HMI bisa turut menyemarakkan kongres kali ini, kan HMI Poelang kampung,” tuturnya.[]

Dikutip dari hminews.com
Lutsfi Siswanto

(LAPMI Yogyakarta)

dont be mad...!!!

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 09.11
dikutip dari hadist arba'ain annawawi

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ : لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَاراً، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

[رواه البخاري]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam : (Ya Rasulullah) nasihatilah saya. Beliau bersabda : Jangan kamu marah. Beliau menanyakan hal itu berkali-kali. Maka beliau bersabda : Jangan engkau marah.

Senin, 13 April 2009

~ DO’A UNTUK ORANG TUA ~

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.38
Ya Allah,
Rendahkanlah suaraku bagi mereka,
Perindahlah ucapanku di depan mereka.
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan
Lembutkanlah hatiku untuk mereka.

Ya Allah,
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya
Atas didikan mereka padaku dan
Pahala yang besar
Atas kesayangan yang mereka limpahkan padaku,
Peliharalah mereka
Sebagaimana mereka memeliharaku.

Ya Allah,
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan,
atau kesusahan yang mereka derita karena aku,
atau hilangnya sesuatu hak mereka karena perbuatanku,
jadikanlah itu semua
Penyebab rontoknya dosa-dosa mereka,
Meningginya kedudukan mereka dan
Bertambahnya pahala kebaikan mereka dengan perkenan-Mu, ya Allah
sebab hanya Engkaulah yang berhak membalas kejahatan
dengan kebaikan berlipat ganda.


Ya Allah,

Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku,
Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.
Tetapi jika magfirah-Mu lebih dahulu mencapai diriku,
Maka izinkahlah aku memberi syafa'at untuk mereka,
sehingga kami semua berkumpul
Bersama dengan santunan-Mu
di tempat kediaman yang dinaungi kemulian-Mu, ampunan-Mu serta
rahmat-Mu.

Sesungguhnya Engkaulah
yang memiliki Karunia Maha Agung,
serta anugerah yang tak berakhir dan
Engkaulah yang Maha Pengasih Diantara semua pengasih.


(Diambil dari syahifah as-Sajjadiyah)

Dipublikasikan Oleh HMI-MPO Cabang Purwokerto

Dilarang Membunuh, Berzina, & Murtad...!!!

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.29
Dikutip dari hadist arbain annawawi

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

[رواه البخاري ومسلم]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :

Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)


Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :

1. Tidak boleh menumpahkan darah kaum muslimin kecuali dengan tiga sebab, yaitu : zina muhshon (orang yang sudah menikah), membunuh manusia dengan sengaja dan meninggalkan agamanya (murtad) berpisah dari jamaah kaum muslimin.

2. Islam sangat menjaga kehormatan, nyawa dan agama dengan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang mengganggunya seperti dengan melakukan zina, pembunuhan dan murtad.

3. Sesungguhnya agama yang disepakati adalah yang dipegang oleh jamaah kaum muslimin, maka wajib dijaga dan tidak boleh keluar darinya.

4. Hukum pidana dalam Islam sangat keras, hal itu bertujuan untuk mencegah (preventif) dan melindungi.

5. Pendidikan bagi masyarakat untuk takut kepada Allah ta’ala dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dan keadaan tersembunyi atau terbuka sebelum dilaksanakannya hukuman.

6. Hadits diatas menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan dan kesucian.


wallahu'alam,,,

Rabu, 08 April 2009

Kongres HMI Undang Capres dan Artis Dian Sastro

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 09.30
Written by Redaksi
Tuesday, 08 April 2009 21:57

Kongres HMI ke XXVII di Jogjakarta rencananya akan mengundang calon-calon presiden yang akan bertarung dalam pemilihan presiden 2009. Panitia kongres akan mengundang wakil presiden Jusuf Kalla untuk membuka hajatan terbesar di HMI ini. Selain itu, panitia juga mengundang Sri Sultan Hamungkubuwono X dan Prabowo Subianto untuk menjadi pembicara dalam seminar pembukaan kongres.

Ketua SC kongres HMI ke XXVII, Azwar M Syafe’i menyatakan, pihaknya sekarang sedang berusaha menguhubungi wakil presiden Jusuf Kalla untuk bisa membuka kongres. Diharapkan wakil presiden Jusuf Kalla bisa menghadiri kongres HMI ini sebagai wakil dari pemerintah. ”Kita lagi terus mencoba mengontak wakil presiden Jusuf Kalla agar bisa datang di kongres,” ujarnya, Sabtu (4/4). Saat ini, panitia sedang meminta untuk melakukan audiensi dengan Wapres guna menjelaskan pelaksanaan kongres HMI ke XXVII sekaligus meminta kesediannya untuk membuka jalannya kongres..

Selain Jusuf Kalla, panitia juga mengundang dua calon presiden yakni Sri Sultan Hamungkubuwono X dan Prabowo Subianto untuk menjadi pembicara dalam seminar pembukaan kongres bersama wakil ketua DPR RI Muhaimin Iskandar serta Rektor Paramadina Anies Baswedan. ”Senin (6/4) kita audiensi dengan Sri Sultan untuk meminta kehadirannya Sultan,” kata Azwar. Sementara untuk narasumber lainnya sedang diusahakan juga agar bisa hadir di seminar pembukaan yang mengusung tema ”Gerakan Kemandirian Bangsa Menuju Masyarakat Berkeadilan”.

Dian Sastro Juga Diundang

Azwar menjelaskan, pembukaan akan digelar di Gedung Wanitatama Balai Shinta. Sementara untuk pelaksanaan kongres akan diadakan di Pondok Pesantren Darul Hikmah. ”Untuk pembukaan dan pelaksanaan, rencananya kita akan gelar di dua tempat tersebut,” katanya. Menuju ke kongres, panitia juga mengadakan berbagai acara guna memeriahkan kongres agar semarak dan sekaligus juga bisa memberi kotnribusi ke masyarakat. ”Kita sudah gelar kegiatan donor darah. Ada juga baksos untuk melakukan pembagian sembako dan pakaian murah di dusun Cangkringan,” tuturnya.

Tidak hanya itu, panitia juga rencananya mengundang artis Dian Sastro Wardoyo dan sutradara Hanung Bramantyo dalam bedah novel ’Perempuan Berkalung Sorban’, 25 April mendatang. Acara ini diadakan untuk menyambut peringatan Hari Kartini sekaligus guna mengapresiasi novel dan film yang sempat membuat kontrioversi di masyarakat ini. ”Kita sedang usahakan juga agar Dian Sastro Wardoyo dan Hanung Bramantyo bisa hadir. Diharapkan mereka bisa datang. Selain efek publikasi, juga untuk mendiskusikan film tersebut,” ujar Azwar.

Sejauh ini, panitia juga sudah mengirim term of reference (TOR) kongres ke cabang-cabang. Untuk cabang-cabang yang belum menerima TOR, diminta menghubungi Sekjend PB HMI sebagai penanggung jawab. Mendekati kongres, kata Azwar, seluruh Badan Koordinasi (Badko) juga diharapkan membuat kegiatan untuk melakukan sosialisasi sekaligus membedah tema kongres. ”Bedah tema kongres penting karena tema ini sangat menentukan wajah dan gerak HMI ke depan,” tandasnya.[]

Trisno Suhito
Pimpinan Portal Kaum Muda http://hminews.com

Serentak Dilantik Kepengurusan 2 Komisariat HMI-MPO Cabang Purwokerto

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 09.21

Purwokerto – Ada kesan tersendiri bagi pengurus baru komisariat fisip & komisariat ekonomi unsoed saat keduanya dilantik bersamaan waktu yakni pada kamis sore, 8 April 2009 sehari sebelum menjelang pemilu legislatif besok.

Bambang Wibiono, ketua HMI Komisariat FISIP terpilih mengaku tanggung jawab yang saat ini diembannya sangatlah berat. “Bukan sebuah tugas yang mudah ditengah kondisi komisariat yang tengah goncang secara internal maupun eksternal”, ungkap mahasiswa politik asal Cirebon ini. Namun dengan komposisi Kabinet bentukannya, dirinya yakin mampu membangun fisip menjadi lebih baik.

“Konsolidasi gerakan internal & eksternal HMI Komfis secepatnya, gerak kita harus kencang, kita kejar ketertinggalan kita, namun kesemua itu harus matang secara perencanaan baik taktis maupun strategis, rapatkan shaf perjuangan kita kalau kita mau bangunan komisariat ini tetap berdiri kokoh” tegas Bambang dalam orasi pertamanya dihadapan puluhan massa HMI. Hal senada pun diungkapkan Imam Budilaksono, Ketum Komfis demisioner, menurut Imam “yang dibutuhkan komfis saat ini adalah pematangan identitas kader dengan memasifkan “symbol”, hal ini guna semakin menguatkan karakter perjuangan HMI disetiap kader”. “symbol” bukan semata atribut organisasi namun berupa pemikiran/intelektualitas, gerakan, dan juga arah keberpihakan” tambah Imam.

Robin sapaan akarab Ketua Cabang HMI Purwokerto dalam sambutannya mengatakan “pengurus yang baru harus secepatnya mampu membaca kondisi komisariat dengan semua karakter dan juga kekhasannya, karena itu adalah modal awal dalam bekerja setahun kedepan”.

Tidak berbeda jauh dengan Bambang, Nugroho ketua HMI komisariat ekonomi dengan didampingi sekretaris umumnya Gilang Maulana saat berorasi mengatakan bahwa “peningkatan kuantitas & pembentukan kualitas kader adalah sesuatu yang mutlak, inilah misi besar yang dibawanya dalam membangun Komisariat Ekonomi setahun kepengurusan kedepan”. Misi ini sejalan dengan tema kepengurusan komisariat ekonomi yaitu “Optimalisasi peran komisariat dalam peningkatan kuantitas & kualitas anggota untuk membangun masyarakat yang diridhai Allah”.
Acara pelantikan ditutup pukul 17.30 WIB. Setelah sebelumnya diisi dengan stadium general dengan tema “Ekonomi Syariah Menjawab Tantangan Zaman” yang dipaparkan oleh Sobirin, Mahasiswa Ekonomi yang juga Bendahara HMI Cabang Purwokerto.

Citra Banch Saldy ( Ketua Lapmi HMI – MPO Cabang Purwokerto)

HMI-MPO Cabang Purwokerto Gelar Diskusi & Sosialisasi Pemilu 2009 Bagi Pemilih Pemula

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 09.18

Purwokerto - HMI - MPO Cabang Purwokerto menggelar Diskusi & Sosialisasi Pemilu 2009 bagi para pemilih pemula yakni siswa/siswi SMA/STM/SMK/SMEA se Purwokerto Selasa (31/3) kemarin. Acara diselenggarakan di pendopo Kelurahan Sokanegara, Kecamatan Purwokerto Timur. Puluhan siswa SMA/STM/SMK/SMEA Se-Purwokerto antusias mengikuti kegiatan tersebut. Tercatat sebanyak 35 SMA/STM/SMK/SMEA diundang untuk mengikuti acara tersebut baik negeri maupun swasta. Tak lupa organisasi gerakan mahasiswa lain pun turut diundang. Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini adalah Anggota KPU Kab.Banyumas Bpk.Unggul Warsiadi SH dan Komisi Politik PB HMI Heri Setiawan.

Disampaikan Imam Budilaksono ( Ketua Panitia Sosialisasi & Diskusi Pemilu 2009) dalam sambutannya bahwa “Sosialiasi dan Dialog Pemilu 2009 yang diselenggarakan HMI-MPO Cabang Purwokerto dengan sasaran para pemilih pemula (seluruh SMA/STM/SMK/SMEA Se-Purwokerto) ini bertujuan guna menempatkan para pemilih pemula pada kerangka pendidikan politik yang lebih mencerdaskan dalam pemilu 2009 ini. Yakni meletakkan pelajar sebagai subjek pendidikan politik itu sendiri, tidak melulu sebagai objek politik”. “Selama ini, secara umum, pemuda (pelajar) sebagaimana masyarakat umum selalu menjadi objek politik. Mereka hanya dilirik untuk hitungan suara saja, tidak lebih. Hal ini tentu mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan politik itu sendiri selama ini, yakni pencerdasan politik” tandas Imam.

“Sosialisasi dan Diskusi Pemilu 2009 dengan segmentasi para pemilih pemula ini dilakukan mengingat posisi pemilih pemula yang sangat rentan terhadap upaya politisasi yang dilakukan oleh kekuatan politik tertentu untuk mendongkrak perolehan suara partai politik tertentu. Pendidikan politik ini diarahkan pada pembentukan kesadaran para siswa yang merupakan pemilih pemula untuk menjadi pemilih yang kritis pada pemilu 2009 dan pada pemilu-pemilu selanjutnya. Mendidik mereka agar tidak apatis terhadap perosalan-persoalan politik bangsa serta dinamika perubahan sosial”. Paparnya.

Tema yang diangkat sama dengan tema pemilu 2009 yang diusung PB HMI-MPO yakni “Pemilu Bersih Untuk Perubahan”. Sesuai dengan kesepakatan pada rapat pleno III januari lalu bahwa isu ini diangkat dan menjadi penting karena menjadi tawaran strategis bagi HMI-MPO untuk merespon dan menyikapi momentum Pemilu 2009 serta untuk memperkuat kualitas pemilu 2009, sehingga pemilu mampu memberi harapan bagi terciptanya demokratisasi yang berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Menurut HMI-MPO Cabang Purwokerto penyelenggaraan pemilu yang menelan biaya ratusan miliar rupiah dari uang rakyat yang terhimpun dalam APBN sudah semestinya didedikasikan untuk menyejahterakan rakyat.

Dalam paparannya baik Heri Setiawan (HMI-MPO) ataupun Unggul Warsito (KPU) mengharap lewat proses pemilu akan terjadi perubahan yang signifikan bagi bangsa ini. Heri mengatakan bahwa “Pemilu bersih harus dilaksanakan demi terciptanya perubahan bagi rakyat,”. Karakter “Perubahan” dalam pemilu 2009 ini adalah harga mati bagi HMI-MPO dimana sebagai respon dan ekspresi kritis HMI-MPO atas kelambanan, pengkhianatan, kebusukan perilaku penguasa yang gagal mengatasi krisis kesejahteraan dan seluruh tuntutan reformasi total selama sebelas tahun kejatuhan kediktatoran Orde Baru”. “Kita jangan tertipu dengan apa yang dijanjikan para caleg, teliti dengan cerdas dan buat kontrak politik dengan mereka” Tambah Heri. Sedangkan KPU mengatakan siap mengawal proses pemilu ini agar terhindar dari kecurangan atau politik kotor.
Lewat Sosialisasi dan Dialog Pemilu 2009 ini HMI-MPO berharap semoga bangsa ini akan menuai generasi penerus yang memiliki kesadaran berpolitik  tanpa meninggalkan hati nurani sebagai manusia. Sosialisasi dan Dialog Pemilu 2009 ini merupakan hasil kerjasama HMI-MPO Cabang Purwokerto dengan KPU Kabupaten Banyumas.

Citra Banch Saldy (greenpeanutz@gmail.com)
Ketua LAPMI Cabang Purwokerto.

Diskursus Islam dan Demokrasi *

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 09.05
Vox populi vox dei “ Suara rakyat adalah suara Tuhan ” (ungkapan demokrasi )

Sebuah Pengantar

Islam dan demokrasi, dua buah konsep yang menjadi polemik lama dalam sejarah pemikiran Islam yang hingga sekarang belum tuntas diperdebatkan. Membongkar wacana demokrasi dan Islam tidak akan pernah lepas dari banyak hal seperti panggung pergulatan politik, Negara, kekuasaan, pemerintahan dan entitas lain di luar Islam. Demokrasi dianggap menjadi sebuah pilihan terbaik dari berbagai pilihan system yang ada dalam wacana nation state karena dipandang sebagai substansi dan norma secara umum dimana demokrasi berangkat dari nilai-nilai pluralisme, sekulerisme, kebebasan, kesetaraan, toleransi, dan juga liberalisme. Pemikir-pemikir Islam, cendekiawan-cendekiawan muslim, dan aktivis-aktivis islam berbeda sikap dan pendapat dalam mengapresiasi dan mengkritisi konsep demokrasi. Ada yang mengingkari demokrasi dengan keyakinan antara islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan . Ada pula yang menerima demokrasi karena menganggap nilai-nilai demokrasi yang universal tersebut mengacu kepada nilai-nilai islam. Diskursus diantara dua konsep inilah yang akan coba dibahas dalam paper ini dimana saya akan coba menyajikan bentuk pertentangan yang ada dalam dunia islam sebagai bagian penyikapan dunia Islam terhadap demokrasi.

Definisi Demokrasi

Demokrasi, sebuah kosakata politik yang begitu sering digunakan dan diperdengarkan dalam wacana social politik kenegaraan. Demokrasi disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu Negara. Demokrasi secara etimologis berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk setempat dan “creatain” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Dengan bahasa lain demokrasi adalah pemerintahan rakyat; pemerintahan yang diikuti oleh rakyat secara suka rela dan bukan karena takut atau paksa. Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan. Paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan menjadi bagian dari konsep demokrasi. Demokrasi memberikan kepada manusia dua hal : (1) hak membuat hukum (legislasi).Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan; (2) hak memilih penguasa. Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority). Dalam demokrasi kebebasan harus diwujudkan bagi setiap individu rakyats. Ada 4 jenis kebebasan yang dianut: (1) kebebasan beragama (freedom of religion), (2) kebebasan berpendapat (freedom of speech), (3) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan (4) kebebasan berperilaku (personal freedom).

Diskursus Islam dan Demokrasi

Hubungan islam dan demokrasi, diskursus diantara dua konsep itu, bukanlah perkara baru dalam sejarah pemikiran Islam. Hubungan diantara keduanya masih menjadi isu yang sangat controversial dan merupakan sebuah perdebatan yang tak pernah usai. Salah satu sisi perdebatan adalah adanya pembedaan yang menyangkut nilai-nilai disatu sisi dan teknik pada lain sisi. Ini semua karena sitem dalam Islam berlandaskan kepada keselarasan rasio, wahyu dan sains sedangkan system barat menafikan kesemua itu.

Islam adalah universal, bukan territorial. Universalisme islam terlihat dari kandungan ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi beserta nilai-nilai yang diusungnya merupakan hal baru dan cukup asing dalam mind-set Islam terutama dalam bidang pemerintahan. Demokrasi dianggap sebagai nilai impor dan pemahamannya yang ada sekarang bertolak belakang dengan pengalaman umat Islam selama ini. Landasan epistemologis demokrasi berwatak sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas ideology kapitalisme sedangkan Islam adalah ajaran yang tidak layak di sekulerkan. Pemerintahan Islam di bangun diatas landasan aqidah islam. Tidak ada sekulerisasi atau pemisahan antara dan agama. Negara dalam Islam adalah institusi politik yang menerapkan persepsi, standar dan qona’ah yang digunakan untuk melakukan aktivitas ri’ayah su’unil ummah (mengurusi urusan rakyat). Artinya, diatur dengan aturan-aturan Islam.

Harvey Cox mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh Amin Rais (1991); komponen-komponen sekulerisasi adalah disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of Nature berarti pembebasan alam dari nilai-nilai agama agar masyarakat dapat melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan. Hal ini merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik dalam proses sejarah. Sementara itu, dekonsentrasi nilai-nilai maknanya adalah perelatifan setiap sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai agama yang bersifat absolut. Dalam konsep demokrasi Agama dipandang sebagai masa lalu yang dibiarkan tumbuh dan berkembang hanya sebatas pada kehidupan individu, sedangkan upaya untuk melegal-formalkan aturan yang berasal dari tuhan (Allah) dalam sebuah pranata negara dianggap sebagai tindakan yang andemokratis, sekalipun ‘mayoritas masyarakat’ menginginkannya. Demokrasi dianggap sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam baik secara global maupun rinci. Kontradiksi demokrasi dengan Islam tampak dalam sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya dan dalam berbagai ide serta aturan yang dihasilkannya.

Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam. Antara lain :

a. Dari segi sumber : demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sedang Islam, berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. Sistem yang dibuat oleh manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, dan sesungguhnya hanya Allah-lah yang terbebas dari kesalahan, maka sistem dari Allah saja yang pantas dianut.

b. Dari segi asas : demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sedang Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2:208).

c. Dari segi standar pengambilan pendapat : demokrasi menggunakan standar mayoritas. Sedangkan Islam, permasalahannya tidak bergantung pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syariat. Sebab yang menjadi musyarri’(pembuat hukum) hanyalah Allah SWT, bukan umat.

d. Dari segi ide kebebasan : demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat), di mana arti kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan sesuatu apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah Islam, sebab pada asalnya, perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum Syariah Islam.

Kelompok Yang Menolak Demokrasi

Ada beberapa ahli atau ulama yang berpandangan bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak bisa di padukan antara lain: Syakh Fadhalah Nuri dan Thabathai dari Iran Sayid Quthb dan al-Sya’rawi dari Mesir, serta Ali Benhajd dari Al Jazair. Syakh Fadallah Nuri (1905–1911) dengan jelas menolak legislasi oleh manusia. Menurutnya Islam, tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorang pun yang di izinkan mengatur hukum. Sayyid Quthb, pemikir Ihwanul al-Muslimin sangat keras menentang setiap kedaulatan rakyat. Baginya hal itu adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan yang merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang kepada yang lainnya. Mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penentangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi.. Ia menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, ia percaya bahwa syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap, sehinga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya.

Kelompok Yang Menerima Demokrasi

Berbeda dengan kelompok sebelumnya, kelompok ini menerima demokrasi karena melihat demokrasi sebagai sesuatu yang universal, sebuah idealitas dan pilihan terbaik dibandingkan system politik otoriter. Pemikir yang masuk dalam kelompok ini antara lain: Fahmi Huwaidi, al Aqqad, Mohammad Husein Heikal, dan Zakaria Abdul Mun’im Ibrahim al-Khatib dari Mesir, Mahmoed Mohamed Taha dan Abdullani Ahmad al-Na’im dari Sudan, Bani Sadr dan Mehdi Bazargan dari Iran, dan Hasan al Hakim dari Uni Emirat Arab.

Fahmi Huwaidi satu diantara pemikir Islam yang melakukan sintesa antara Islam dan demokrasi, mengatakan demokrasi sangat dekat dengan jiwa Islam dan substansinya sejalan dengan Islam. Esensi demokrasi adalah penolakan terhadap diktatorisme dan otoritarianisme. Ada beberapa alasan yang di kemukakan Huwaidi dalam melihat kedekatan Islam dan demokrasi. Pertama, beberapa hadist menunjukaan bahwa Islam menghendaki pemerintahan yang di setujui rakyat. Kedua, penolakan Islam terhadap kediktatoran (QS. 2:258).Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seseorang kandidat (QS, 2:282-283), (QS.22:30) dan (QS.65:2). Keempat, demokrasi merupakan sebuah upaya mengembalikan sistem kekhilafiahan khulafa Rasyidin. Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan manusia di depan hukum. Keenam, demokrasi adalah bentuk dari sebuah kontrak sosial yang riil.

Selain huwaidi, Dr. Yusuf Qordhowi yang tidak lain seorang pemikir Islam pun menerima konsep demokrasi. Yusuf Qordhowi mengatakan bahwa substansi demokrasi serupa dengan ruh syuro Islam. Dan ia mengamini demokrasi adalah bagian dari Islam karena menurutnya jauh sebelum demokrasi dilahirkan masyarakat Barat, Islam terlebih dahulu menancapkan prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis, seperti contoh adanya pemilu, meminta pendapat rakyat, menegakkan ketetapan mayoritas, multipartai politik, kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, dan otoritas pengadilan adalah bagian kehidupan demokrasi yang substansinya telah ada dalam kehidupan Islam.

Alasan teoritis menerima demokrasi : demokrasi adalah konsep kedaulatan rakyat

Alasan teologis : demokrasi sesuai dengan nilai-nilai Islam

Alasan sosiologis : demokrasi mengutamakan kepentingan rakyat

Sebuah Penutup

Dalam menyikapi konsep demokrasi, Islam mempunyai “dua wajah”. Di satu sisi Islam bisa sejalan dengan demokrasi, tapi di sisi yang lain justeru bertentangan. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana Islam diekspresikan oleh para pemeluknya. Warna Islam sedemikian banyak dan beragam, sehingga persentuhan Islam dengan demokrasi, politik, negara, pemerintahan, dan masyarakat manusia di luar Islam pun, bisa sangat banyak ragamnya. Maka yang penting bukan faktor Islamnya itu sendiri, melainkan ekpresi para pemeluk Islam dalam dunia yang riil.


* Oleh : Citra Banch Saldy (Ketua Lapmi HMI-MPO Cabang Purwokerto)
Sumber Referensi

Azizy, Qodri. 2004. Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan terciptanya Masyarakat Madani) Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Effendy, Bachtiar.1998. Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran & Praktik Politik Islam di Indonesia). Paramadina. Jakarta.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta.

Kencana, Syafi’ie.2004. Ilmu Pemerintahan dan Al-Quran. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Quthub, Muhammad. 1981. Jawaban Terhadap Alam Pikiran Barat yang keliru tentang Islam. Bandung: CV Diponegoro

Raziq, Ali Abdul, Dr. Terj. Afif Mohammad.1985. Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam. Pustaka. Bandung.

Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia

Perempuan dalam Propaganda Media Televisi *

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 08.56
Budaya dalam pandangan cultural studies, bersifat politis yang dimaknai secara mendalam sebagai ranah atau tempat konflik dan pergumulan, ini yang kemudian memperluas kajian budaya yang selama ini menganggap budaya hanya dalam wilayah estetika. Budaya yang didalamnya ada sebuah pergumulan konflik ini akan berkaitan dengan perubahan dan representasi dari kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan terutama representasi kelas, gender dan ras. Salah satu yang menjadi sorotan menarik dalam kajian budaya ini adalah mengenai isu gender yang sedang mencari keproporsionalitasan peran antara laki-laki dengan perempuan. Yang selama ini terjadi adalah budaya patriarki yang selalu menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinat, begitu pun dalam sebuah kajian budaya dan media massa.
Kajian mengenai budaya dan politik ini kemudian masuk dalam sebuah peran media yang berfungsi sebagai sarana penyaluran dari ide mengenai budaya tersebut dan banyak mempengaruhi persepsi atau pandangan masyarakat mengenai suatu hal. Media dalam konteks ini lebih menyorot mengenai televisi itu sendiri yang banyak berperan dalam melalui pesan visual yang menjadi kelebihannya dan sangat mempengaruhi konstruksi masyarakat mengenai suatu hal yang sebelumnya mereka pikirkan. Proses mempengaruhi ini dilakukan secara terus menerus dalam kaitannya sebagai reproduksi modal dari para pemasang iklan. Proses ini yang sering kita dengar dengan sebutan propaganda televisi dalam ranah masyarakat dengan melihat seberapa sering media televisi melakukan propaganda mengenai ketidak-proporsionalitasan gender dalam media televisi.
Ini pula yang kemudian mendasarkan mengapa sangat menarik menulis mengenai propaganda televisi dalam kaitannya dengan perempuan yang selalu disubordinasikan didalamnya. Perempuan sendiri menjadi objek yang harmonis antara budaya patriarki dengan kapitalisme yang ada dalam media televisi.


Makna Propaganda


Arti atau makna propaganda dalam pandangan beberapa ahli memiliki perbedaan terkait dengan sudut pandangan ahli tersebut dalam melihat makna propaganda. Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Ketiganya ini memiliki tujuan, disengaja dan memiliki pengaruh, sedangkan ketiganya harus menjalankan fungsi timbal balik yang melibatkan orang didalamnya dan kemudian menghasilkan persepsi dan kepercayaan yang beragam didalam proses tersebut. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Dalam Encyclopedia International dikatakan bahwa propaganda adalah suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan. Pendapat ini bila kita kontekskan pada pesan yang disampaikan oleh media televisi, banyak hilangnya sebuah makna dari hal yang ditampilkan dalam media televisi tersebut. Salah satunya adalah mengenai representasi perempuan dalam televisi, yang dalam pandangan budaya tidak mencerminkan kebebasan perempuan tersebut dan tidak bisa menonjolkan nilai luhur seorang perempuan.
Harold D. Laswell menyebutkan bahwa propaganda merupakan semata-mata kontrol opini yang dilakukan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti atau menyampaikan pendapat yang konkret dan akurat melalui sebuah cerita, rumor laporan gambar-gambar dan bentuk-bentuk lain yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial. Salah satu hal yang membedakan propaganda dengan kampanye adalah sifat propaganda itu sendiri yang terus-menerus dalam mengangkat isu yang menjadi fokusnya. Artinya sifat propaganda itu sendiri tidak terpengaruh oleh sesuai atau tidak isu yang diangkatnya dengan agenda masyarakat yang sedang terjadi pada saat itu.

Propaganda Televisi

Pada sebuah media televisi, isi maupun kemasan acara yang mereka gunakan cenderung mengikuti selera “pasar” yang dimaknai sebagai kepentingan kelas kapital yang secara banyak menguasai produksi. Pola pasar ini yang kemudian akan mengakibatkan banyaknya pengaruh persepsi pasar dalam sebuah kemasan acara yang nantinya akan ditayangkan oleh televisi tersebut. Alasan yang cukup mendasar mengapa para perusahaan sangat antusias dalam mempromosikan acara mereka di televisi adalah karena televisi sendiri memiliki kelebihan dalam hal audio-visual yang mampu didengar dan dilihat. Kelebihan ini yang secara ekonomis bisa mempromosikan produk mereka dengan cara yang sangat maksimal dengan menampilkan secara jelas mengenai produk mereka tersebut.
Dalam sebuah televisi, produksi pesan yang disampaikan akan menghasilkan pesan tertentu yang nantinya akan berimbas pada pemaknaan pesan tersebut secara berulang. Penandaan masyarakat terhadap hal atau sesuatu yang ditampilkan oleh televisi, akan menyebabkan berubahnya pola pandang masyarakat terhadap suatu hal, ini akan terjadi jika sesuatu yang ditandai oleh masyarakat tersebut ditampilkan secara terus menerus atau berulang-ulang. Ini yang kemudian disebut sebagai propaganda televisi pada sesuatu yang menjadi kepentingannya. Pola propaganda televisi seperti ini, menurut saya sudah tidak sesuai dengan fungsi utamanya yang selalu harus diperhatikan yaitu fungsi informatif, edukatif, rekreatif dan sebagai sarana mensosialisasikan nilai-nilai atau pemahaman-pemahaman baik yang lama maupun yang baru.
Ketiadaan fungsi utama ini yang kemudian menyebabkan berubahnya peran televisi itu sendiri dalam masyarakat. Penghilangan sebuah esensi dalam setiap kemasan media televisi, yang berubah pada sebuah orientasi modal dalam balutan kepentingan “pasar”. Contohnya adalah sebuah iklan yang ditampilkan oleh media televisi, yang sifatnya terus menerus dalam beberapa waktu kedepan dan tentunya lama dari sebuah iklan tersebut disesuai dengan kepentingan produk tersebut. Sebuah iklan yang dalam setiap penayangannya menjanjikan pemasukan bagi televisi dan sisi lain bisa mempromosikan produk dari pihak perusahaan. Hubungan timbal balik ini yang sering menghilangkan makna dari sebuah iklan dan bahkan ada iklan yang sangat menyudutkan perempuan dalam kemasan iklan tersebut.


Perempuan dalam Televisi

Sebuah pertarungan yang terjadi dalam wilayah budaya, membawa akibat pada masuknya perempuan sebagai salah satu aktor dalam media televisi. Keikutsertaan perempuan dalam sebuah televisi belakangan ini, merupakan sebuah penunjukkan eksistensi diri mereka di ruang publik. Artinya, peran televisi disini perlu digarisbawahi bahwa tidak selamanya peran televisi ini mampu membangkitkan sebuah nilai estetika perempuan dalam layar kaca. Masuknya jenis macam kepentingan modal dalam sebuah “isi” televisi menyebabkan berubahnya orientasi kepentingan televisi tersebut yang berimbas pada masyarakat sebagai konsumen acara TV.
Masuknya perempuan dalam televisi dapat kita lihat dalam sebuah media iklan yang secara jelas menampilkan sosok perempuan yang sedemikian cantik dengan kriteria putih, tinggi, langsing dan berambut hitam lurus yang panjang. Pola konstruksi ini yang sangat mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai sosok perempuan dengan kriteria diatas. Propaganda yang dilakukan oleh media televisi dalam membangun secara terus menerus pola pemikiran mengenai perempuan tersebut, mempengaruhi pandangan masyarakat yang kemudian menganggap bahwa perempuan ideal adalah perempuan dengan kriteria diatas.
Sementara itu, iklan-iklannya dengan gencar menawarkan berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan fisik yang sifatnya sementara : alat kecantikan, makanan, minuman, pakaian dan kendaraan, yang umumnya hanya dapat dijangkau oleh keluarga yang berada. Seksisme yang terjadi dalam iklan televisi ini dengan menampilkan perempuan sebagai objek utamanya yang diekspoitasi dengan pola pikir yang sudah dibangun oleh kepentingan pemodal yang masuk dalam media televisi. Kemudian yang terjadi adalah bentuk ketidakmandirian pada perempuan, artinya perempuan tersebut diposisikan bukan sebagai perempuan yang sebenarnya yang memiliki nilai estetika murni dalam dirinya.

Referensi

Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Remaja Rosdakarya; Bandung.
Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Qalam; Yogyakarta.
---------------- . 2007. Pengantar Komprehensif TEori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Jalasutra; Yogyakarta.


Oleh : Imam Budilaksono (PTK HMI-MPO Cabang Purwokerto)

Selasa, 07 April 2009

The Case of Indonesia (bag 1)

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.38
During about five months from late October 1965 until March 1966, approximately half a million members of the Indonesian Communist Party (Partai Komunis Indonesia, PKI) were killed by army units and anti-communist militias. At the time of its destruction, the PKI was the largest communist party in the non-communist world and was a major contender for power in Indonesia. President Sukarno’s Guided Democracy had been an uneasy balance between the PKI and its leftist allies on one hand and a conservative coalition of military, religious and liberal groups, presided over by Sukarno. Sukarno was a spellbinding orator and an accomplished ideologist, having woven the main rival ideologies in Indonesia into an eclectic formula called NASAKOM (nationalism, religion, communism), but he was ailing and there was a widespread feeling that either the communists or their opponents would soon seize power.
The catalyst for the killings was a coup in Jakarta, undertaken by the ‘September 30 Movement’ but actually carried out on October 1, 1965. Although many aspects of the coup remain uncertain, it appears to have been the work of junior army officers and a PKI ‘Special Bureau’ answering to the party chairman D.N. Aidit. The aim of the coup was to forestall a predicted military coup planned for Armed Forces Day (5 October) by kidnapping the senior generals believed to be the plotters. After some of the generals were killed in botched operations, however, and after Sukarno refused to support the Movement, the plotters went further than previously planned and attempted to seize power. Unprepared for such a drastic action, the Movement floundered and was defeated within 24 hours by the senior surviving general, Suharto, who was commander of the Army’s Strategic Reserve, KOSTRAD.
There was no clear proof at the time that the coup had been the work of the PKI. Party involvement was suggested by the presence of Aidit at the plotters’ headquarters in Halim air force base, just south of Jakarta, and by the involvement of communist-affiliated People’s Youth (Pemuda Rakyat) members in some of the operations, but the public pronouncements and activities of the September 30 Movement gave it the appearance of being an internal army movement. Nonetheless, for many observers it seemed likely that the party was behind the coup. In 1950, the PKI had explicitly abandoned revolutionary war in favour of a peaceful path to power through parliament and elections. This strategy had been thwarted in 1957, when Sukarno suspended parliamentary rule and began to construct Guided Democracy, which emphasised balance and cooperation between the diverse ideological streams present in Indonesia.
The PKI, however, had recovered to become a dominant ideological stream. Leftist ideological statements permeated the public rhetoric of Guided Democracy and the party appeared to be by far the largest and best organized political movement in the country. Its influence not only encompassed the poor and disadvantaged, but extended well into military and civilian elites, which appreciated the party’s nationalism and populism, its reputation for incorruptibility and its potential as a channel of access to power. On the other hand, party had many enemies: throughout Indonesia, the PKI had chosen sides in long-standing local conflicts and in so doing had inherited ancient enmities. It was also loathed by many in the army for its involvement in the 1948 Madiun Affair, a revolt against the Indonesian Republic during the war of independence against the Dutch. Although the party had many sympathizers in the armed forces and in the bureaucracy, it controlled no government departments and, more important, had no reliable access to weapons. Thus, although there were observers who believed that the ideological élan of the party and its strong mass bass would sweep it peacefully into power after Sukarno, others saw the party as highly vulnerable to army repression. A pre-emptive strike against the anti-communist high command of the army appeared to be an attractive strategy, and indeed it seems that this was the path chosen by Aidit, who appears to have been acting on his own and without reference to other members of the party leadership.
In fact, the military opponents of the PKI had been hoping for some time that the communists would launch an abortive coup which would provide a pretext for suppressing the party and the September 30 Movement therefore played into their hands. There is evidence that Suharto knew in advance that a plot was afoot, but there is neither evidence nor a plausible account to support the theory sometimes aired that the coup was an intelligence operation by Suharto to eliminate his fellow generals and compromise the PKI. Rather, Suharto and other conservative generals were ready to make the most of the opportunity which Aidit and the September 30 Movement provided.
The army’s strategy was to portray the coup as an act of consummate wickedness and as part of a broader PKI plan to seize power. Within days, military propagandists had reshaped the name of the coup Movement to construct the acronym GESTAPU, with its connotations of the ruthless evil of the Gestapo. They concocted a story that the kidnapped generals had been tortured and sexually mutilated by communist women before being executed and they portrayed the killings of October 1 as only a prelude to a planned nation-wide purge of anti-communists by PKI members and supporters. In lurid accounts, PKI members were alleged to have dug countless holes ready to receive the bodies of their enemies and to have been trained in the techniques of torture, mutilation and murder. The engagement of the PKI as an institution in the September 30 Movement was presented as fact rather than conjecture. Not only the party as a whole, but also its political allies and affiliated organizations were portrayed as being guilty both of the crimes of the September 30 Movement and of conspiracy to commit crimes on a far greater scale. At the same time, President Sukarno was portrayed as culpable for having tolerated the PKI within Guided Democracy. His effective powers were gradually circumscribed and he was finally stripped of the presidency on March 12, 1967. General Suharto took over and installed a military-dominated, development-oriented regime known as the New Order which survived until 1998.
In this context, the army began a purge of the PKI from Indonesian society. PKI offices were raided, ransacked and burnt. Communists and leftists were purged from government departments and private associations. Leftist organizations and leftist branches of larger organizations dissolved themselves. And within about two weeks of the suppression of the coup, the killing of communists began.
Remarkably few accounts of the killings were written at the time and the long era of military-dominated government which followed in Indonesia militated against further reporting. The destruction of the PKI was greeted enthusiastically by the West, with Time magazine describing it as ‘The West’s best news for years in Asia’ and there was no international pressure on the military to halt or limit the killings. After the fall of Suharto in 1998, there was some attempt to begin investigation of the massacres, but these efforts were hampered by continuing official and unofficial anti-communism and by the pressure to investigate more recent human rights abuses. President Abdurrahman Wahid (1999-2001) apologised for the killings on behalf of his orthodox Muslim association, Nahdlatul Ulama, but many Indonesians continued to regard the massacres as warranted. As a result, much remains unknown about the killings.
Many analyses of the massacres have stressed the role of ordinary Indonesians in killing their communist neighbours. These accounts have pointed to the fact that anti-communism became a manifestation of older and deeper religious, ethnic, cultural and class antagonisms. Political hostilities reinforced and were reinforced by more ancient enmities. Particularly in East Java, the initiative for some killing came from local Muslim leaders determined to extirpate an enemy whom they saw as infidel. Also important was the opaque political atmosphere of late Guided Democracy. Indonesia’s economy was in serious decline, poverty was widespread, basic necessities were in short supply, semi-political criminal gangs made life insecure in many regions and political debate was conducted with a bewildering mixture of venom and camaraderie. With official and public news sources entirely unreliable, people depended on rumour, which both sharpened antagonisms and exacerbated uncertainty. In these circumstances, the military’s expert labelling of the PKI as the culprit in the events of October 1, and as the planner of still worse crimes, unleashed a wave of mass retaliation against the communists in which the common rhetoric was one of ‘them or us’.
Accounts of the killings which have emerged in recent years, however, have indicated that the military played a key role in the killings in almost all regions. In broad terms, the massacres took place according to two patterns. In Central Java and parts of Flores and West Java, the killings took place as almost pure military operations. Army units, especially those of the elite para-commando regiment RPKAD commanded by Sarwo Edhie, swept through district after district arresting communists on the basis of information provided by local authorities and executing them on the spot. In Central Java, some villages where wholly PKI and attempted to resist the military, but they were defeated and all or most villagers were massacred. In a few regions – notably Bali and East Java – civilian militias, drawn from religious groups (Muslim in East Java, Hindu in Bali, Christian in some other regions) but armed, trained and authorized by the army, carried out raids themselves. Rarely did militias carry out massacres without explicit army approval and encouragement.
More common was a pattern in which party members and other leftists were first detained. They were held in police stations, army camps, former schools or factories and improvised camps, where they were interrogated for information and to obtain confessions before being taken away in batches to be executed, either by soldiers or by civilian militia recruited for the purpose. Most of the victims were killed with machetes or iron bars. (to be continue....)

The Case of Indonesia (bag 2)

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.34
The killings peaked at different times in different regions. The majority of killings in Central Java were over by December 1965, while killings in Bali and in parts of Sumatra took place mainly in early 1966. Although the most intense of the killings was over by mid-March 1966, sporadic executions took place in most regions until at least 1970, and there were major military operations against alleged communist underground movements in West Kalimantan, Purwodadi (Central Java) and South Blitar (East Java) in 1967-69.
It is generally believed that the killings were most intense in Central and East Java, where they were fuelled by religious tensions between santri (orthodox Muslims) and abangan (followers of a syncretic loca Islam heavily influenced by pre-Islamic belief and practice); in Bali, where class and religious tensions were strong; and in North Sumatra, where the military managers of state-owned plantations had a special interest in destroying the power of the communist plantation workers’ unions. There were pockets of intense killing, however, in other regions. The total number of victims to the end of 1969 is impossible to estimate reliably, but many scholars accept a figure of about 500,000. The highest estimate is 3 million.
Aidit, who went underground immediately after the failure of the coup, was captured and summarily executed, as were several other party leaders. Others, together with the military leaders of the September 30 Movement, were tried in special military tribunals and condemned to death. Most were executed soon afterwards, but a few were held for longer periods and the New Order periodically announced further executions. A few remained in jail in 1998 and were released by Suharto’s successor, President B.J. Habibie.
It is important to note that Chinese Indonesians were not, for the most part, a significant group amongst the victims. Although Chinese have repeatedly been the target of violence in independent Indonesia, and although there are several reports of Chinese shops and houses being looted in 1965-66, the vast majority of Chinese were not politically engaged and were expressly excluded from the massacres of communists in most regions.
Outside the capital, Jakarta, the army used local informants and captured party documents to identify its victims. At the highest level, however, the military also used information provided by United States intelligence sources to identify some thousands of people to be purged. Although the lists provided by the US have not been released, it is likely that they included both known PKI leaders and others whom the American authorities believed to be agents of communist influence but who had no public affiliation with the party.
Alongside the massacres, the army detained leftists on a massive scale. According to official figures, between 600,000 and 750,000 people passed through detention camps for at least short periods after 1965, though some estimates are as high as 1.5 million. These detentions were partly adjunct to the killings – victims were detained prior to execution or were held for years as an alternative to execution – but the detainees were also used as a cheap source of labour for local military authorities. Sexual abuse of female detainees was common, as was the extortion of financial contributions from detainees and their families. Detainees with clear links to the PKI were dispatched to the island of Buru in eastern Indonesia, where they were used to construct new agricultural settlements. Most detainees were released by 1978 following international pressure.
Even after 1978, the regime continued to discriminate against former detainees and their families. Former detainees commonly had to report to the authorities at fixed intervals (providing opportunities for extortion). A certificate of non-involvement in the 1965 coup was required for government employment or employment in education, entertainment or strategic industries. From the early 1990s employees in these categories were required to be ‘environmentally clean’, meaning that even family members of detainees born after 1965 were excluded from many jobs while their children faced harassment in school. A ban on such people being elected to the legislature was lifted only in 2004. A ban on the teaching of Marxism-Leninism remains in place.
Although the 1948 United Nations Convention on Genocide does not acknowledge political victims as victims of genocide, the Indonesian case indicates that the distinction between victims defined by ‘national, ethnical, racial or religious’ identity on the one hand and political victims on the other may be hard to sustain. Indonesian national identity is defined politically, rather than by ethnicity or religion, so that the communist victims of 1965 and after, constituting a different political vision of Indonesia from that of their enemies, may be said to constitute a national group.
Bibliography


Anderson, Ben ‘How did the generals die?’, Indonesia 43 (April 1987), pp. 109-134.
Cribb, Robert (2001). ‘How many deaths? Problems in the statistics of massacre in Indonesia (1965-1966) and East Timor (1975-1980)’. In Violence in Indonesia ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer. Hamburg: Abera.
Cribb, Robert, ed. (1990). The Indonesian killings of 1965-1966: studies from Java and Bali. Clayton, Vic.: Monash University Centre of Southeast Asian Studies.
Cribb, Robert (2003). ‘Genocide in the non-Western world: implications for Holocaust studies’, in Genocide: cases, comparisons and contemporary debates, ed. Steven L.B. Jensen. Copenhagen: Danish Center for Holocaust and Genocide Studies.
Crouch, Harold (1978). The army and politics in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Steven Drakeley (2000). Lubang Buaya : myth, misogyny and massacre. Clayton, Vic.: Monash Asia Institute.
Fealy, Greg (1995). The release of Indonesia's political prisoners: domestic versus foreign policy, 1975-1979. Clayton, Vic.: Monash Asia Institute.
Goodfellow, Robert (2002). ‘Forgetting what it is to remember the Indonesian killings of 1965-66’. In Historical Injustice and Democratic Transition In Eastern Asia and Northern Europe: Ghosts at the Table of Democracy, ed. Kenneth Christie and Robert Cribb. London: RoutledgeCurzon.
Hefner, Robert W. (1990). The political economy of mountain Java: an interpretative history. Berkeley: University of California Press.
Leclerc, Jacques (1997). ‘Girls, girls, girls, and crocodiles’. In Outward appearances: dressing state and society in Indonesia, ed. Henk Schulte Nordholt. Leiden: KITLV.
Robinson, Geoffrey (1995). The dark side of paradise: political violence in Bali. Ithaca NY: Cornell University Press.
Sudjatmiko, Iwan Gardono (1992). ‘The destruction of the Indonesian Communist Party (PKI) (a comparative analysis of East Java and Bali)’, Ph.D. diss., Harvard University,
Sulistyo, Hermawan (1997). ‘The forgotten years: the missing history of Indonesia’s mass slaughter (Jombang-Kediri 1965-1966)’, Ph.D. diss., Arizona State University.
Vickers, Adrian (1998). ‘Reopening old wounds: Bali and the Indonesian killings – a review article’, Journal of Asian Studies 57 no 3: 774-785.

Democracy And Change in Developing Nations

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.30
In his keynote address at a Centre for Strategic and International Studies conference last week, titled A New Design for Indonesian Political Development, Vice President Jusuf Kalla, in his capacity as Chairman of the Golkar Party, reiterated his view that democracy was only a means to achieving people's welfare. We should not forget that democracy can only succeed if Indonesians can be prosperous and develop well.
He also said democracy was not the only means of developing prosperity. Kalla argued that economic development to improve people's welfare needed a certain level of stability. Authoritarian systems in developing nations seem to be able to achieve more stability, while democratic systems are messy and more unstable.
This is an issue not only in Indonesia, but in many developing nations. There is no question that democracy is the least objectionable of all political systems, because it can change governments peacefully through elections, legally and constitutionally. But it needs other aspects to be sustainable as the preferred political system. For that it should be help bring about a humane society, social justice, and a prosperous nation. It should not only be an instrument or means to express the will of the people, but should also have content, values and objectives. These values are becoming more important for any modern society to strive for, and for democracy to be sustainable in the longer term.
But more important for developing nations is the question of whether democracy could be an instrument for achieving improved welfare and prosperity, especially if compared with more authoritarian methods. China immediately comes to mind. The theory in East Asia has been that economic development has to be given priority before political development can happen. This is so because it is assumed that certain pre-conditions have to exist before democracy can take hold. These include a minimum level of education and a certain critical mass of the middle class. These will bring about economic development that enables free choices to be made so as to balance state power and to create political space for the people.
It should also be recognized that democratic space should be expanded gradually but as soon as possible. Then it should slowly but consciously be built it up until a certain level of democratic consolidation is achieved. This should include the firm establishment of the rule of law and human rights. Here is where the government and leadership come in. Democratization is taking place in a number of East Asian countries -- South Korea, Taiwan, Thailand, Indonesia and the Philippines. While democracy has spread in East Asia, it should not be seen only as a political instrument. A true democracy must fulfill certain criteria: supremacy of law, equality before the law, and the ability to change governments in an orderly fashion. However, the human factor, namely leadership and socio-cultural values of the societies also play an important role in the development and sustainment of democracies.
Democracies in East Asia are still immature, because institutions are still weak -- as in Thailand or Indonesia -- or a feudal system is still in place that entrenches the power of the oligarchy -- as in the Philippines. Therefore, setbacks could still happen in the region, because not all of the criteria have been fulfilled.
It is also important to recognize that economic development alone will never be adequate for modernizing societies. It should always be paired with political development. Development is change, and change is inherently "destabilizing", especially in the era of globalization, where domestic issues and international challenges can no more be separated. The "instability" due to change can only be overcome through the development of political institutions and mechanisms that could empower and channel people's aspirations.
In the case of China, the leadership appears to have come to some understanding now about the need for political space and development, but how this can be made compatible with their authoritarian system is still the big question. Their challenge is whether the leadership will be united and courageous enough to adopt change as socio-political pressures are building up due to successful economic development. With 9-10 percent economic growth annually for the last 25 years, those pressures are definitely present, as has been shown in the last 3 years. The leadership is trying out the concept of democracy by introducing local elections in villages to provide some political space. It remains to be seen whether they will be less timid in expanding in the future. It may be a necessity.
Singapore has always been presented as the case where limited democracy produced sustained economic development that transformed a former colony into a first world country. But Singapore is the exception to the rule, because it is only a city state, where control and social engineering have been successful largely because of the rule of law, good governance that ensures an incorruptible government and bureaucracy, while improving social welfare is taken seriously. Even so, Singapore too has to become more open politically, if it wants to advance in high tech and services, where HRD and creativity are the most important factors. And to be successful, Singaporeans must be willing to commit themselves to the future of the state and society.
In contrast, Indonesia is a large country with a diverse society, and the economic crisis of 1997 was a major setback for economic growth and employment. The only way to overcome the deep impact of Soeharto's authoritarian rule is to build a democratic system that ensures the real and effective participation of the people, including a greater role for the autonomous regions.
Democracy can be messy because compromise and consensus must be reached through deliberations. And it is also slow. In contrast, authoritarian rule can be quick and resolute, but the system can not be maintained in the long-term. There is great potential for upheaval because the repressed demand for change will eventually come to surface. Indonesia found this out, and it was taken back almost to square one.
Now, eight years after the fall of Soeharto, the pendulum has begun to swing back to the middle, and from now the process of democratic consolidation may be less volatile. Despite the challenges, we have gone a long way towards stability, and now we can be assured that unity can be maintained. Only two years ago, this was still a close call.
We are not yet out of the woods, and the national leadership under SBY-Kalla has to understand that time may be running out. Competition in the region is growing fiercer and if we do not get our act together now we could be lose out rapidly and miserably. This will happen not because there is "too much" democracy, but because the consolidation of democracy was not taken seriously.

Jusuf Wanandi

(Co-founder; Vice Chairman, Board of Trustees, CSIS Foundation)

Mengulas jejak IMF di Indonesia, Intervensi tanpa henti

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.28
Peran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden Soekarno memainkan peran non blok ditengah pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet yang semakin meningkat, peran tersebut dapat dimainkan dengan cantik oleh Soekarno dengan dukungan dari negara-negara dunia ketiga,

Peran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden Soekarno memainkan peran non blok ditengah pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet yang semakin meningkat, peran tersebut dapat dimainkan dengan cantik oleh Soekarno dengan dukungan dari negara-negara dunia ketiga, namun kedua blok yang bertarung kuasa tersebut mendesak Soekarno untuk memilih satu diantara dua. Amerika menggunakan IMF sebagai alatnya, pada tahun 1962 delegasi IMF mengadakan kunjungan ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, setahun kemudian tepatnya pada bulan maret 1963 Amerika Serikat menyediakan utang sebesar US$ 17 juta dan dalam dua bulan kemudian pemerintah Indonesia mengumumkan rangkaian kebijakan ekonomi baru (devaluasi rupiah, anggaran negara yang ketat dan pemotongan subsidi) yang selaras dengan resep kebijakan IMF.


Namun keadaan berubah 180 derajat pada bulan September 1963, ketika pemerintah Inggris menyatakan Malaysia sebagai bagian federasi Inggris tanpa konsultasi terlebih dahulu. Soekarno melihat pernyataan tersebut adalah upaya untuk menggangu stabiltas kawasan Asia Tenggara terutama karena Malaysia secara geografis sangat dekat dengan Indonesia, selain itu Soekarno juga melihat hal ini dipicu karena Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Inggris . Insiden ini berimbas terhadap hubungan Indonesia dengan IMF, sesepakatan sebelumnya dengan IMF dibatalkan oleh Soekarno.

Kekalahan Indonesia memperjuangkan permasalahan ini di tingkat internasional karena PBB mengakui eksistensi negara Malaysia menyebabkan Soekarno memutuskan untuk keluar dari kenggotaan PBB. Kondisi perekonomian Indonesia setelah itu berada dalam kondisi yang memprihatinkan, utang yang diterima dari Soviet dan negara barat digunakan untuk untuk kebutuhan konsumtif , pembangunan proyek mercusuar dan membeli senjata.

Dalam hal ini meskipun Soekarno berhasil mempertahankan harga diri bangsanya namun ia gagal untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk, ekonomi Indonesia yang tergantung pada pihak luar, mengalami pukulan keras ketika harga bahan baku di tingkat internasional menurun drastis (harga karet turun drastis), sementara pengeluaran untuk kebutuhan publik yang luar biasa besar mendorong inflasi mencapai 600%. Ketika perang dingin mencapai titik klimaksnya, Soekarno memancing kemarahan Washington dengan menasionalisasi semua perusahaan asing (kecuali perusahaan minyak). Kemudian Sukarno mengumandangkan “go to hell with your aid” sebagai kata talak untuk perceraian dengan IMF serta Bank Dunia pada Agustus 1965 dan memutuskan membangun Indonesia secara mandiri.

Tak lama kemudian terjadi kudeta berdarah yang menandakan dimulainya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Kebijakan-kebijakan rezim orde baru memang dekat dengan kepentingan Amerika, namun meskipun demikian pemerintah Amerika tidak ingin memberikan utang secara langsung lewat mekanisme bilateral, mereka “menitipkan” kepentingan ekonomi politik mereka lewat IMF, dengan kucuran dana bantuan sebagai bargaining terhadap kepentingan tersebut. Pada akhir tahun 1966, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, dan pemerintah orde baru dengan cepat melaksanakan kebijakan seperti yang diusulkan IMF dan Indonesia secara resmi kembali menjadi anggota IMF.

Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, menimbulkan reaksi negara-negara barat. Mereka segera memberikan hibah sebesar US$174 million dengan tujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi, disusul dengan restrukturisasi utang karena US$ 534 juta harus dikeluarkan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Tanpa rescheduling utang ini maka tidak dimungkinkan negara-negara barat memberi utang utang baru, sehingga dapat dikatakan bahwa upaya rescheduling merupakan cara agar negara-negara barat bisa mengucurkan utang baru ke Indonesia. Pada Desember 1966, di ikuti dengan pertemuan Paris Club yang menyepakati moratorium utang sampai tahun 1971untuk pembayaran cicilan pokok utang jangka panjang yang disepakati sebelum tahun 1966. tanpa dukungan IMF dan Amerika inisiatif moratorium ini tidak akan terjadi.

Namun imbas dari moratorium yang disepakati dalam paris club hanya bersifat sementara karena setelah tahun 1976 pembayaran utang berlanjut kembali. Mulai saat itu para kreditor diuntungkan oleh kesepakatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, Semua Utang yang ditandatangani sebelum tahun 1966 (pada pemerintahan Sukarno) harus dibayar dalam 30 kali cicilan dalam kurun waktu antara tahun 1970 sampai 1999. Tanggungan pembayaran ini diikuti dengan devaluasi dan perubahan nilai tukar, yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan nilai tukar mengambang paling bebas di dunia.

Krisis ekonomi yang melanda Asia tenggara pada tahun 1997 menyebabkan pemerintah mengundang IMF untuk menyelamatkan perekonomian nasional yang sedang dalam krisis. Kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia terjadi pada tanggal 31 Oktober 2007 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LOI) pertama yang berisikan perjanjian 3 tahun dan kucuran utang sebesar US$ 7,3 milyar. Namun kehadiran IMF justru mengakibatkan bertambah parahnya ekonomi Indonesia, tidak lebih dari satu tahun terjadi pelarian modal (capital flight) keluar negeri besar-besaran yang menyebabkan pengangguran, diperparah lagi dengan penurunan nilai tukar rupiah secara drastis. Pada akhir tahun 1998 lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Salah satu resep kebijakan IMF untuk menutup 16 bank membuat masyarakat panik dan menarik uangnya di bank-bank nasional dan sebagian di bank asing, untuk mengatasi goncangan ini IMF kembali membuat rekomendasi kebijakan yang mengharuskan pemerintah mengucurkan dana trilyunan rupiah untuk memperbaiki kecukupan modal pada bank-bank yang bermasalah tersebut melalui obligasi rekap.

Dalam perjanjiam IMF dengan pemerintah menyatakan bahwa setelah pemerintah menyalurkan obligasi rekap kepada bank-bank yang kolaps, maka bank tersebut harus segera dijual kepada pihak swasta. Dengan demikian pemerintah juga terbebani kewajiban untuk membayar bunga dari obligasi tersebut. Sedangkan IMF memberi batasan waktu penjualan bank-bank tersebut yang mengakibatkan murahnya harga bank-bank tersebut, dan para pembeli domestik maupun asing masih menikmati bunga dari obligasi rekap yang lebih besar jumlahnya dari pada harga bank itu sendiri. Obligasi pemerintah yang melekat pada bank-bank bermasalah seluruhnya sebesar Rp. 430 trilyun dengan kewajiban membayar bunga Rp. 600 trilyun yang dibebankan kepada pemerintah.

Ada resep generik yang diberikan IMF pada semua pasiennya yaitu program penyesuaian struktural atau Structural Ajusment Program (SAP) dan kebijakan deregulasi. Kebijakan penyesuaian struktural mengharuskan negara untuk meliberalisasi impor dan pelaksanaan aliran sumber-sumber keuangan secara bebas, devaluasi, pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal di dalam negeri yang terdiri dari pembatasan kredit, pengenaan tingkat bunga yang relatif tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan tarif pajak, peningkatan barang pokok masyarakat dan menekan tuntutan kenaikan upah buruh sedangkan yang terakhir pemasukan investasi asing yang lebih lancar.

Sedangkan kebijakan deregulasi mencakup empat komponen, pertama intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimalisir untuk menghindari distorsi pasar. Kedua privatisasi seluas-luasnya dalam bidang ekonomi hingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai oleh negara. Ketiga liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan semua proteksi harus dihilangkan sedangkan yang terakhir memperbesar dan melancarkan arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar atau dengan kata lain penguasaan asing terhadap terhdap unit ekonomi baik swasta maupun negara harus diperkenankan.

Pada mei 1998, karena kesepakatan antara IMF dan Soeharto, pemerintah mencabut subsidi bahan pokok, dan menaikkan harga minyak dan listrik. Kebijakan ini menyulut penolakan keras dari rakyat dan tak lama kemudian, suharto jatuh.

Hubungan mesra IMF dan Indonesia terus berjalan dengan ditandai kesepakatan LOI -I sampai dengan IV sejak tahun 1997 sampai tahun 2003, pada masa Megawati berkuasa, tepatnya pada agustus 2003 pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan program bantuan IMF dan memilih untuk masuk dalam Post Program Monitoring (PPM). Pilihan Pemerintah ini menimbulkan konsekwensi yang tidak jauh beda dengan pada saat melainkan program kerjasama. Karena IMF masih dapat terus mendikte kebijakan ekonomi Indonesia Karena pemerintah masih harus mengkonsultasikan setiap kebijakan ekonomi yang akan diambil. Masa pemandoran IMF ini menghasilkan Inpres No. 5 tahun 2003 yang sering disebut inpres “white paper” .Inpres tersebut adalah produk kebijakan negara yang dilahirkan dari intervensi IMF, maka tidak heran jika arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam inpres tersebut persis dengan kebijakan IMF meskipun dibuat oleh pemerintah Indonesia.

Kebijakan ekonomi dalam inpres tersebut terbagi dalam tiga bagian : pertama, stabilitas makro ekonomi, Restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dan yang terakhir peningkatan Investasi.inpres tersebut tetap berlaku meskipun telah terjadi pergantian pemerintahan pada tahun 2004, perpres tersebut merupakan alat legitmasi secara hukum untuk melakukan liberalisasi ekonomi pasca hubungan dengan IMF.

Pemerintah Indonesia mengumumkan akan membayar utang pada IMF yang masih tersisa, senilai total US$ 7,8 billion, dalam waktu 2 tahun. Jumlah tersebut adalah sisa dari utang Indonesia pada IMF sebesar US$ 25 Million saat krisis, secara politik keputusan tersebut tepat, sebagai langkah untuk melepaskan diri dari pemandoran dan intervensi kebijakan ekonomi yang terus berlangsung sejak krisis 1997. pembayaran utang tersebut dilakukan dua tahap, pada bulan juni 2006 sebesar US$ 3,75 miliar dan sisanya sebesar US$ 3,2 miliar dilunasi pada bulan Oktober.

Namun pelunasan utang pemerintah ke IMF hanya mengurangi sedikit sekali total beban utang luar negeri pemerintah karena selain IMF pemerintah juga mendapat utang multilateral lain Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia disamping itu pemerintah juga mendapat utang yang sifatnya bilateral dari negara-negara kreditor utama Indonesia antara lain Amerika, Jepang, kanada dan Jerman. Posisi utang luar negeri pemerintah sampai dengan akhir September 2006 mencapai US$ 77,347 Juta, jumlah ini belum ditambah dengan utang swasta yang mencapai US$51,022 Juta sehingga total utang Indonesia pada triwulan ketiga 2006 sebesar US$128,369 Juta. Jumlah ini relatif berkurang jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2005 saja total utang Indonesia sebesar US$ 130,652 Juta. Negara kreditor dan lembaga internasional yang memberikan utang pada pemerintah Indonesia tergabung dalam Consultative Groups on Indonesia (CGI) yang dalam sidang CGI tahun 2006 menyepakati jumlah utang yang disanggupi (pledge) sebesar US$2,920 Juta untuk Utang Billateral dan US$2,202 Juta Utang Multilateral.

Dari jumlah utang tersebut meskipun telah dikurangi utang pemerintah pada IMF, dalam APBN-P 2006 cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah mencapai US$ 2,510 M atau 30% dari total pengeluaran pemerintah. Maka yang harus dilakukan pemerintah setelah membayar lunas utang IMF adalah dengan membatalkan seluruh peraturan perundangan termasuk inpres white paper yang muncul karena tekanan IMF, dan melakukan keputusan progresif untuk melakukan penghapusan utang demi kesejahteraan rakyat.

Article from http://kau.or.id

G20: Skenario Menyelamatkan Krisis Kapitalisme Neoliberal ‘Indonesia Kembali Dalam Jebakan Utang

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.15
Pertemuan negara-negara G-20 dalam The London Summit akan segera diselenggarakan pada tanggal 1 – 2 April 2009. Tentunya agenda forum 20 pemimpin negara-negara maju dan berkembang tersebut punya banyak tawaran.

Beberapa pihak pun akhirnya berharap banyak akan adanya solusi berbagai macam krisis melalui forum ini. Namun karena secara garis besar masih tetap dalam kerangka kebijakan kapitalisme-neoliberal, tawaran dan harapan sepertinya akan jauh api dari panggang. Hal tersebut kami tuangkan dalam pernyataan sikap kami di bawah ini:

Pertama, kami menyatakan bahwa G-20 tidak memiliki legitimasi sebagai forum pengambilan keputusan untuk rakyat di seluruh dunia, khususnya yang berada di negara-negara miskin dan berkembang. Liberalisasi investasi, perdagangan dan keuangan (pasar bebas) yang menjadi agenda utama G-20 adalah rangkaian kebijakan yang telah dan akan mendorong krisis menjadi semakin parah.

Selanjutnya kami mendorong suatu upaya penyelesaian krisis di tingkat global yang lebih representatif dan sah, salah satunya melalui mekanisme PBB. Berbagai inisiatif yang sudah dilakukan dengan pembentukan High Level Task Force (HLTF), yang merupakan koordinasi global dalam rangka mengatasi krisis pangan. Kemudian ada pula usulan untuk pembentukan Global Economic Council (yang diinisiasi oleh Joseph Stiglitz), yakni sebuah sistem penyimpanan global yang skupnya diperluas. Cara-cara alternatif dan partisipatif merupakan jalan keluar yang lebih demokratis dalam mengambil keputusan yang dapat mempengaruhi seluruh dunia.

Kedua, kami mendesak negara-negara maju untuk tidak memperalat negara-negara berkembang dalam pertemuan G-20 untuk merevitalisasi Putaran Doha Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan pembukaan investasi dalam rangka eksploitasi kekayaan alam negara berkembang dan perdagangan karbon/offset dalam penyelesaian krisis. Sebagai bagian dari masalah krisis global, terutama krisis pangan, mekanisme pasar dalam WTO sudah sejak lama diprotes oleh rakyat di seluruh dunia. Hal tersebut telah menimbulkan: 1) Ketergantungan yang sangat besar terhadap pasar internasional, yang pada saat krisis ini menyebabkan pertanian di berbagai negara kolaps; 2) Eksploitasi secara besar-besaran sumber daya perikanan negara-negara berkembang via negosiasi NAMA (Non-Agriculture Market Access); 3) Subsidi domestik dan ekspor yang tidak adil dan merusak pasar domestik (terutama negara miskin dan berkembang); 4) Keuntungan sejumlah perusahaan transnasional (TNCs) besar pertanian, pemerintah negara sponsornya, serta spekulator di pasar internasional pangan dan pertanian.

Kami juga mendesak sebuah strategi ekonomi domestik yang melindungi kepentingan rakyat dari serangan utang, eksploitasi sumber daya alam dan liberalisasi pasar.

Ketiga, Pertemuan G-20 tidak digunakan untuk mempromosikan utang baru bagi negara-negara berkembang melalui reformasi Lembaga Keuangan Internasional (IFIs). Agenda tersebut semakin menguatkan kembali peran Bank Dunia dan IMF dalam penyebaran utang luar negri yang semakin memiskinkan negara-negara berkembang. Kami juga menolak utang baru dan penggunaan anggaran negara untuk restrukturisasi perbankan dan lembaga keuangan yang mengalami kebangkrutan akibat krisis.

Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus melaksanakan kewajiban pembayaran utang luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101,9 triliun.

Reformasi terbatas terhadap IMF dan Bank Dunia bukanlah jalan keluar. Sebab dua lembaga tersebut sejak lama beroperasi sesuai dengan selera negara-negara kaya yang menjadi pemilik saham mayoritas. Institusi finansial ini seharusnya berfungsi mendukung pembangunan. Namun, institusi finansial yang ada sekarang merupakan pengejawantahan ideologi kapitalisme-neoliberal yang malah mereduksi makna pembangunan hanya pada pertumbuhan ekonomi semata. Selanjutnya, terjadi legalisasi praktek akumulasi kapital tanpa batas oleh TNCs dengan mengesampingkan kerusakan sosial dan ekologi.

Keempat, dibutuhkan tanggung jawab dan kewajiban negara (state obligation) secara langsung serta perubahan kebijakan secara mendasar dalam rangka penyelamatan rakyat. Menolak model penyelesaian krisis apalagi hanya dalam bentuk stimulus “pemicu” dalam bentuk insentif bagi penanaman modal, pembebasan pajak dan keringanan tarif bea masuk yang merugikan perekonomian nasional.

Konsep stimulus ekonomi sebagaimana yang direncanakan pemerintah Indonesia, tidak berkontribusi langsung terhadap pekerja dan masyarakat miskin yang justru terkena dampak paling parah. Stimulus hanya berkontribusi terhadap para pelaku usaha, yang itupun tidak akan dapat langsung diharapkan dapat mempertahankan kondisi keuangan perusahaan yang tergerus akibat pelemahan pasar global.

Langkah yang mesti diambil oleh pemerintah/negara dalam mengatasi krisis harus merupakan langkah koreksi total dari mekanisme pasar. Krisis yang sedemikian akut tidak akan dapat diatasi dengan cara-cara yang konservatif seperti rangsangan/stimulus yang terkesan masih mengharapkan pasar dapat bekerja secara alamiah. Paradigma penyelesaian krisis sebagai bagian dari paradigma pembangunan ekonomi harus diubah secara progresif yaitu menggantikan pasar dengan ekonomi perencanaan yang menuntut peran langsung negara dalam melibatkan rakyatnya untuk membangun stabilitas ekonomi yang riil. Hal ini tentunya berhubungan erat dengan amanat konstitusi RI yang menyatakan bahwa produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

Kelima, Kami menuntut penyelesaian krisis sumber daya alam (energi, pangan, air dan perikanan), krisis lingkungan (pencemaran, perubahan iklim), dengan pengarusutamaan hak-hak rakyat terutama buruh, petani dan konsumen kecil.

Kehancuran sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal, di mana produksi terkonsentrasi pada segelintir individu dan korporasi, harus menjadi momentum perubahan mendasar. Perekonomian nasional ke depan haruslah menjamin terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya seluruh masyarakat. Sekaligus melakukan koreksi atas pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi ekspor demi kepentingan Negara kapitalisme maju menjadi lebih mengedepankan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat banyak dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekologi.

Keenam, Presiden SBY agar tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat dengan penciptaan utang baru yang dapat menjadi beban bagi pemerintahan berikutnya. Mengingat utang indonesia yang sudah terlampau besar dan menjadi beban ekonomi nasional dan perekonomian rakyat. Selain itu penggunaan utang untuk restrukturisasi (bantuan keuangan) untuk pengusaha di tengah kemiskinan rakyat adalah tidak dibenarkan. Kebijakan utang baru hanya akan melanggengkan ketergantungan Indonesia pada IMF, World Bank, dan ADB. Tiga lembaga yang harus bertanggung jawab terhadap krisis berkepanjangan yang dihadapi Negara ini.

Di tengah kritik yang tajam atas kegagalan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal saat ini, pemerintah justeru sangat aktif mengusulkan agenda-agenda penyelamatan/pemulihan ekonomi yang berorientasi pasar. Kebijakan liberalisasi pasar yang luas hanya akan menjadi beban bagi pemerintah berikutnya dalam memulihkan krisis ekonomi dan menjadi beban bagi perekonomian nasional dan ekonomi rakyat saat ini dan di masa yang akan datang.

Disalin dari Koalisi Anti Utang http://kau.or.id
HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU