Sabtu, 30 Oktober 2010

Cemilan ala Stay Tuned I :

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 01.32


“Dibalik Bencana Yang Melanda Negriku”

Oleh : Akmal*


Suatu kewajiban bagi semua umat untuk selalu menjaga alam-Nya. Rakhmatan lil’alamin adalah tanggung jawab bagi manusia saat berada di muka bumi. Demikian Allah SWT menegaskan dalam firmannya Q.S. Al-Baqarah, ayat 11 yang artinya : “Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."

Catatan sejarah mebuktikan semakin banyak terjadi tragedi bencana di sana-sini, bahkan sampai ada yang beranggapan bahwa saat ini Allah SWT telah murka karena ulah manusia yang tidak mau peduli lagi akan alamnya. Bencana banjir, longsor, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, kecelakaan kereta api, jatuhnya pesawat terbang, karamnya kapal laut dan berbagai macam tragedi lainnya yang memakan banyak korban jiwa adalah gambaran sudah demikian seringnya sang penguasa alam menegur kita

Masih di Q.S. Al-Baqarah, Allah SWT berfirman di dalam ayat 117 bahwa : Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.”. Manusia di hadapannya adalah hanya makhluk lemah yang tak berdaya, jika Allah berkehendak maka hari ini pun Allah bisa saja memerintahkan kepada malaikat Isrofil untuk meniupkan terompet sangkakala, maka hancur leburlah sudah Indonesiaku ini.

Masih ada sedikit waktu untuk kita renungi bersama tentang kondisi alam ini, “dibalik bencana yang melanda negriku” ini sudahkah kita mau merawat alam? Sudahkah kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya? Jangan-jangan gempa bumi yang terjadi di sekitar kita adalah ulah kita yang selalu berbuat dzholim kepada sesama – termasuk berbuat dzholim kepada alamnya. Mari kembali mengingat-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya dengan selalu bermunasabah kepada-Nya.


*Penulis adalah kader HMI (MPO) Komisariat FISIP, yang saat ini kuliah di jurusan Ilmu Politik sks 2010.

Rabu, 20 Oktober 2010

Pernyataan Sikap dan Tuntutan

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.24
Aliansi Rakyat Banyumas Bersatu (alat bambu)
HMI (MPO), BEM FISIP, FMN, GMNI, HMI Dipo, IMM, PMKRI, PMII, KAMMI, LMND IPM, SRMI, BEM Unsoed

20 oktober, tepat satu tahun pemerintahan rezim SBY-Boediono jilid 2 berkuasa. setelah satu tahun rezim ini memerintah, banyak sekali terjadi persoalan yang memicu gejolak sosial masyarakat Indonesia. Hal ini dapat terihat dari berbagai sektor mulai dari wilayah pendidikan, kesehatan, penegakan HAM, supermasi hukum, korupsi, lingkungan hidup, dll. yang belum terselesaikan sampai sekarang dan manfaatnya tidak dirasakan langsung oleh rakyat. Program-program yang ditawarkan SBY pun tidak dapt menjawab permasalahan tersebut. Salah satu penyebabnya adalah orientasi program pemerintah seama ini hanya bersifat sektoral, bukan holistik. Selain itu, pemerintah lebih mengutamakan proyek-proyek pembangunan belaka tanpa membangun peradaban publik yang layak.

Bila kita mengacu pada data BPS tahun 2010, menunjukkan bahwa dari persebaran jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237,6 juta jiwa, angkatan kerja negara Indonesia berjumlah 116 juta. Dari jumlah tersebut, jumlah pengangguran sebesar 8,9 juta, sedangkan anka kemiskinan mencapai sekitar 32,74 juta jiwa. Lebih dari 53 juta orang bekerja sebagai buruh, dan 42,83 juta lainnya bekerja sebagai petani.

Sementara, hutang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 2500 trilyun rupiah, diantaranya dibuat selama 5 tahun pemerintahan SBY sebesar 300an trilyun. Belum lagi kerugian negara akibat illegal logging 83 milyar/hari atau 30,3 trilyun/tahun. Semakin merebaknya kerusakan ekologis dan alih fungsi lahan dari program develpmentalisme, hampir di seluruh penjuru bumi pertiwi mengakibatkan banyak terjadi bencana alam seperti: bajir, longsor, dl yg banyak menelan korban.

Berangkat dari keadaan obyektif ini, kami dari ALATBAMBU menuntut SBY segera menyelesaikan permasalahan ini. Maka dari itu kami menuntut:
1. realisasikan angaran pendidikan 20%
2. berikan lapanga pekerjaan
3. akses kesehatan untuk seluruh rakyat
4. tegakkan hukum dan usut tuntas kasus pelanggaran HAM
5. menghentikan pemerintaan neolib
6. hentikan eksploitasi hutan dan alih fungsi hutan
7. berantas korupsi tanpa tebang ilih
8. bangun sumber ketahanan pangan nasional melaui keuatan otonomi daerah
9. hapus hutang luar negeri Indonesia
10. jaga integritas dan kedaulatan negara
11. nasionalisasi industri pertambangan.

Apabila tuntutan ini tidak dapat direalisasikan, maka kami meminta dengan hormat kepada SBY agar berkenan untuk MUNDUR dari jabatannya.

Aliansi Rakyat Banyumas Bersatu (ALAT BAMBU) Meminta SBY dengan Legowo untuk Mundur

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.18


LAPMI Purwokerto- ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Basnyumas Bersatu atau yang disingkat ALATBAMBU melakukan aksi unjuk rasa terkait evaluasi 1 tahun kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Ratusan masa yang terdiri dari berbagai organisasi pelajar, kemasyarakatan, mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsoed dan STAIN, bergerak dari depan kampus pusat Universitas Jenderal Soedirman sekitar pukul 09.30wib menuju kantor RRI Purwokerto dan DPRD Banyumas.

Demostrasi yang di kordinatori oleh Alex melakukan long march dan menuntut perbaikan kondisi bangsa dan negara yang saat ini dinilai semakin tak membawa angin perubahan ke arah yang lebih baik. Pemerintahan SBY yang telah dua periode memerintah dinilai malah semakin membawa kemunduran. Beberapa aspek yang menjadi sorotan dalam evaluasi kinerja SBY diantaranya adalah persoalan pendidikan, penegakan HAM, jaminan kesehatan, supremasi hukum, korupsi, lingkungan, hingga persoalan kedaulatan negara.

Seperti yang disebutkan dalam press realesse bahwa dari angkatan kerja Indonesia yang mencapai 116 juta jiwa, sekitar 8,9 juta merupakan engangguran dan lebih dari 53 juta orang bekerja sebagai buruh dan 42,83 juta orang lainnya bekerja sebagai petani. Sementara itu persoalan hutang luar negeri Indonesia yang mencapai 2500 (dua ribu lima ratus) trilyun menjadi permasalahan penting yang perlu dipikirkan jalan keluarnya. sebab dari jumlah utang tersebut, sekitar 300an trilyun dibuat dalam masa pemerintahan SBY. Angka ini belum ditambah dengan kerugian negara akibat illegal logging yang mencapai 83 milyar/hari atau mencapai 30,3 trilyun/tahun. Dampak ekologi dari pembalakan liar dan juga ekspolitasi SDA oleh perusahaan asing telah mengakibatkan kerusakan ekosistem di Indonesia yang diangap sebagai salah satu paru-paru dunia.

Berdasarkan beberapa persoalan yang disoroti itu, ALAT BAMBU menuntut pemerintah SBY-Boediono untuk memperbaiki keadaan dan apabila tuntutan itu tidak mampu direalisasikan, maka meminta dengan hormat kepada SBY-Boediono secara legowo untuk mundur dari jabatannya.

Aksi masa ini mendapatkan pengawalan ketat dari pihak kepolisian sejak awal keberangkatan, bahkan ada beberapa orang dari polisi yang turut berjalan kaki mengawal jalannya aksi. Rombongan demonstran ini melakukan orasi di setiap perempatan, di depan kantor RRI purwokerto, dan depan gedung DPRD Kabupaten Banyumas. Di depan gedung dewan, para demonstran ditemui oleh anggota DPD. Sempat juga ada salah seorang tukang becak yang melakukan orasi untuk menagih janji SBY ketika kampanye Pilpres dahulu. Intinya ia tidak ingin sekedar janji, tetapi bukti nyata. (BMW)

Selasa, 12 Oktober 2010

Aksi Si Jago Merah Mengguncang Purwokerto

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 18.05

LAPMI-PWT- Purwokerto, di pagi hari yang sejuk tiba-tiba Purwokerto dihebohkan sebuah peristiwa kebakaran hebat. Kebakaran terjadi di sekitar jalan kampus, tepatnya di samping AlfaMart yang berada di pertigaan jalan Madrani, Kelurahan Grendeng.

Kebakaran itu terjadi sekitar pukul 05.00 wib (13/10/2010) ketika sebagian warga Kelurahan Grendeng dan sekitarnya tengah asyik menikmati dinginnya udara pagi. Seketika banyak orang yang berhamburan ke luar rumah dan berteriak tidak jelas. Terang saja, dari jarak 500 meter terlihat kepulan asap hitam pekat membumbung tingi di angkasa yang menandakan si jago merah tengah "mendemonstrasikan" aksinya melahap apa yang ada. Setidaknya ada tiga bangunan berikut isinya, sebuah mobil pick up, serta sebuah sepeda motor yang ludes dilahap si jago merah ini.

Sebanyak empat mobil pemadam kebakaran diterjunkan untuk menjinakkan api. Kurang lebih 45 menit api baru bisa dipadamkan. Sebelumnya api sempat membesar kembali ketika hampir padam akibat kemacetan alat pemadam yang tiba-tiba tidak dapat menyemprotkan air.

Hingga sejauh ini belum diketahui penyebab pasti kebakaran hebat yang terjadi di jalan kampus ini. Dugaan awal adalah akibat kompor di salah satu warung. Insiden ini tidak menimbulkan korban jiwa, namun ditaksir kerugian mencapai ratusan juta karena toko bangunan yang berada di sebelahnya ikut terbakar beserta mobilnya.
(BMW)














Rabu, 06 Oktober 2010

Kemiskinan Indonesia menurun, masa sih???

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 20.28

Berdasarkan informasi terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimuat oleh www.kompas.com menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan. Berikut kutipan beritanya.

Penduduk miskin di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, tercatat 13,3 persen dari penduduk Indonesia. Jumlah ini sedikit menurun dibanding tahun 2009 yang angkanya mencapai 14,1 persen. Kemiskinan merupakan permasalahan multidisiplin, tidak hanya disebabkan faktor ekonomi, tetapi juga terkait masalah sosial, budaya, politik dan lain-lainnya.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat RI HR Agung Laksono mengungkapkan itu pada peluncuran buku Mereka yang Tak Terlihat; Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia, yang ditulis Irfan Kortschak, Rabu (6/10) di Jakarta. Target MDGs untuk Indonesia pada tahun 2015 adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin hingga separuhnya dari angka kemiskinan tahun 1990, yaitu sekitar 7,5 persen dari total jumlah penduduk, katanya.

Agung menjelaskan, penanggulangan kemiskinan menjadi salah satu prioritas Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dan ditargetkan pada akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 jumlah penduduk miskin turun menjadi 8-10 persen.

Banyak hal, lanjut Agung Laksono, yang mempengaruhi masyarakat menjadi miskin, misalnya belum terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin itu sendiri, seperti hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, tanah, sumberdaya alam, air bersih dan sanitasi, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik dan proses pembangunan.

Namun demikian, di luar itu semua ternyata di sekitar kita masih ada saudara-saudara kita yang belum seberutung kita di sini, seperti yang diceritakan dalam buku Mereka yang Tak Terlihat; Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia ini, tandasnya.

Menurut Agung Laksono, mereka yang belum tersentuh program pembangunan selama ini diberdayakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Peduli.

Ketua Kelompok Kerja PNPM, Suyana R mengatakan, buku Mereka yang Tak Terlihat; Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia merupakan potret suatu kalangan yang belum tersentuh, belum mendapatkan pelayanan sebagaimana harusnya.

Buku menceritakan mereka-mereka yang belum tersentuh pembangunan dan bagaimana keberanian mereka menghadapi hidup. Mereka tak mendapatkan pelayanan sedikit pun dalam program pembangunan nasional, katanya.

Menurut Suyana, PNPM yang tidak dianggarkan pemerintah ini, diminati masyarakat kecil karena pirnsipnya mereka bisa mewujudkan impiannya. Ada kekuatan motivasi dan gotong royong. PNPM telah mengembangkan inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberi mereka kesempatan untuk secara aktif berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.

Mereka berkisah
Pada peluncuran buku semalam, orang-orang yang termajinalkan dan berkisah dalam buku tersebut, hadir menceritakan langsung pengalamannya. Ada orang dengan cacat fisik di Aceh. O rang dari sebuah desa dengan kelainan tunarungu yang dibawa sejak lahir di Bali yang sangat besar jumlahnya. Sampai orang yang mengidap HIV AIDS positif di Papua.

Yudi, penderita HIV AIDS positif itu mengatakan, bahwa kondisi saat ini tidak membuatnya menderita, walau dijauhkan dari keluarga. Dalam pelayanan kesehatan, saya didiskriminasi, ketika istri saya yang negatif HIV AIDS, saat melahirkan tak ada yang mau melayani, takut tertular.

Orang yang peduli dengan penderita HIV AIDS sedikit sekali, sehingga akhirnya saya bentuk komunitas penderita HIV AIDS positif bernama Kelompok Sorong Sehati, kata Yudi, yang positif HIV AIDS sejak 2003 .

Selasa, 05 Oktober 2010

Undangan Silaturahmi Alumni HMI (MPO) Cabang Purwokerto

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 01.21


Assalammu'alaikum, WR. WB

Salam hangat dari kami Pengurus HMI Cabang Purwokerto.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya, serta sang pemimpin umat yang telah berhasil menghantarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.

Sebagai insan ulil albab, sudah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk saling menjaga tali silaturrahmi antarumat. Pada kesempatan kali ini, kami (pengurus HMI Cabang Purwokerto) ingin mengundang kanda/yunda alumni yang tergabung dalam keluarga besar HMI Cabang Purwokerto untuk hadir pada acara temu alumni yang akan dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal : Sabtu, 09 Oktober 2010
Pukul : 19.30 Wib s/d selesai
Tempat : Pendopo Kelurahan Sumampir-Purwokerto Utara
Acara : Silaturrahmi antaralumni keluarga besar HMI Cabang Purwokerto.
Tema : Silatturahmi Antaralumni sebagai Upaya Up Grading Ghiroh Perjuangan Ke HMI-an menuju masyarakat yang tamaddun.
Kontribusi : Rp. 50.000,00- (Lima Puluh Ribu Rupiah).


Hal yang paling berharga demi melanjutkan perjuangan keumatan bagi kami adalah terjaganya tali silaturrahmi antarkader, pengurus beserta alumni-alumni HMI. Semoga dengan adanya acara ini akan semakin memperkuat ukhuwah the power of moslem. Demikian undangan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan banyak terimakasih.

Wassalammu'alaikum, WR. WB


*Catatan : Untuk Kontribusi bisa langsung dikirim ke No.Rek.HMI Cabang Purwokerto : 85067807 a/n Bambang Wibiono BNI Cabang Purwokerto. (Mohon Konfirmasi setelah melakukan transaksi pengiriman). Atau bisa langsung menghubungi Ketua Cabang : Erwin Asrizal 081327739225. Syukron.

Senin, 04 Oktober 2010

HMI DAN BABAK PERJUANGAN BARU*

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 06.25

HMI sejak kelahirannya tahun 1947 telah melewati beberapa dinamika zaman. Dari keterlibatannya dalam revolusi kemerdekaan dengan turut dalam pengusiran penjajah, terlibat aktif dalam perumusan identitas kebangsaan, korban konflik kepentingan politik menjelang kejatuhan Soekarno hingga menjadi korban represivitas rezim Orde Baru yang memaksakan asas tunggal Pancasila. Paska runtuhnya rezim otoriter Soeharto, HMI menghadapi zaman yang mengedepankan keterbukaan dan kompetisi, zaman yang menuntut setiap pihak yang bermain dan terlibat intens di dalamnya untuk memiliki karakter yang siap menghadapi tantangannya serta memiliki keunggulan kompetitif yang membuatnya bisa tetap eksis di tengah persaingan dengan pihak lain yang juga berusaha untuk eksis. Zaman ini bukan tanpa masalah, karena di zaman ini sangat kelihatan manusia sedemikian induvidualis-nya hingga hampir-hampir melupakan bahwa dirinya tidak hidup di ruang hampa yang juga perlu mempertimbangkan keberadaan orang lain sebagai faktor yang membantu eksistensinya.

Disamping itu, zaman ini juga ditandai dengan gerak laju masyarakat yang tergerus mainstream liberal. Dengan tentu saja materialisme sebagai kerangka paradigmatik-nya. Dampak yang paling nyata dari itu semua adalah semakin sulitnya memisahkan kebenaran dari kepentingan politik dan ekonomi yang tentu saja sudah berpaham liberal. Kebenaran yang dipaksakan tersebut akan menjadi penopang utama kekuasaan dan penguasaan modal oleh segelintir orang atas nama kebebasan. Hingga hasilnya adalah keadilan dan kemakmuran yang semakin jauh dari jangkauan masyarakat.

HMI tidak pernah takut untuk berkompetisi, tidak pula ragu dalam mendia- lektikakan gagasan. Kader HMI bukan manusia lembek yang akan mudah tergerus dan lekang oleh hingar-bingar pertarungan politik. Bukan pula pribadi pema- las yang akan tersingkir dalam perolehan ekonomi. Tetapi HMI akan menentang keras apabila kompetisi cenderung menghalalkan segala cara dan mengkooptasi dunia politik dan juga ekonomi, karena hanya menjerumuskan masyarakat pada bencana kemanusiaan maha dahsyat yaitu pembunuhan massal atas harapan.

Mengapa sikap ini harus diambil oleh HMI? Hal ini karena realitas tersebut sangat bertolak belakang dengan cita-cita peradaban Islam yang diusung sebagai gagasan normatif HMI, yaitu terwujudnya tatanan masyarakat adil dan makmur yang diridloi Allah SWT. Maka untuk menghadapi tantangan zamannya HMI dituntut tidak hanya diam dan memaklumi keadaan yang sedang terjadi atas nama realitas, lebih dari itu, HMI harus memutuskan bahwa sekarang adalah babak perjuangan baru. Untuk itu HMI harus merumuskan bentuk-bentuk perlawanan guna membalik keadaan menjadi berjalan sesuai gagasan normatif HMI.

Dalam konteks ini, ada dua tugas HMI yaitu, pertama, HMI harus mampu merumuskan paradigma gerak. Bangunan paradigmatik ini memuat dengan sangat jelas masyarakat apa yang dicita-citakan HMI. Bangunan paradigmatic tersebutlah yang akan memandu HMI dalam pencapaian cita-citanya. Bangunan ini di dalamnya terumuskan penjelasan tentang pandangan dunia (world view). HMI dan pedoman nilai sebagai guidance atau koridor gerak HMI.

Kedua, HMI butuh akan metodologi gerakan. Gerakan perjuangan ini harus menggunakan cara-cara yang tersistematisasikan agar lebih efektif tanpa harus kehilangan identitas HMI sebagai organisasi kader yang berbasis intelektual. Diperlukan kebijakan yang dapat mensinergikan semua potensi kader, memberi ruang berekspresi seluas-luasnya dengan tentu saja paradigma gerakan yang telah selesai sebagai code of conduct. Sehingga dari metodologi akan muncul sebuah kultur gerakan.

Perjalanan sejarah HMI sejak berdirinya dapat menjadi modal awal untuk memasuki babak baru perjuangannya. Keterlibatannya dalam revolusi kemerdekaan, peran-perannya dalam perumusan identitas kebangsaan, serta keteguhannya menghadapi represivitas politik dari rezim Orde Lama Soekarno maupun rezim Orde Baru Soeharto bisa ditransformasikan menjadi energi besar untuk melawan arus liberalisme.

Buku yang ada di hadapan rekan-rekan sekalian adalah tulisan yang didedikasikan seorang alumni HMI yang senantiasa tanpa lelah mendampingi perjalanan rekan-rekan aktivis HMI baik sebagai mentor maupun sebagai rival diskusi. Buku ini tidak ditulis atas pretensi romantis tetapi mengajak kita semua untuk berpikir paradigmatik, metodologis, dan apresiatif atas “kegelisahan” kader perorangan maupun HMI secara institusional. Lebih jauh buku ini dapat dijadikan pegangan untuk memberikan jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi HMI terkait dengan babak perjuangan baru yang dihadapinya.


* Tulisan ini diambil dari kata pengantar dalam buku "HMI (MPO) dalam Transisi" karya Awalil Rizky

MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 05.54

Judul : Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam

Penulis : Dr. Ali Syariati

Pengantar : Dr. Jalaluddin Rakhmat

Penerbit : Mizan, Bandung

Cetakan : ke-5, Dzulhijjah1413/ Mei 1993

Tebal : +185 halaman


MEMAHAMI ISLAM SEBAGAI SEBUAH GERAKAN IDEOLOGIS YANG MENCERAHKAN DAN MEMBEBASKAN

Oleh: Eko Supriyadi1

“Kawan-kawan, mari kita tinggalkan Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Barat. Mari kita tinggalkan Barat yang sok berbicara tentang kemanusiaan, tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan manusia.”Ali Syari’ati, (1933-1977)

A. FATALISME PERADABAN

Dewasa ini, kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban manusia telah banyak mengalami mutasi dalam bentukan yang tidak lagi orisinil. Ia tengah dibaratkan (westernized) dan dicongkel dari akarnya sehingga nilai-nilai, kearifan, dan identitas aslinya terkoyak menjadi potongan-potongan kecil yang terkontaminasi dengan produk kebudayaan Barat. Barat telah berhasil mengkristalisasikan sentimensentimen, corak-corak rasial, pandangan serta pola pemikiran masyarakatnya ke dalam karakter kebudayaannya dan mencekokkannya kepada bangsa-bangsa lain.

Kebudayaan dan peradaban sepertinya diklaim menjadi eksklusif Barat. Dengan menganggap produk kebudayaan mereka lebih unggul dari bangsa-bangsa lain, Barat ingin menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai konsumen bagi kebudayaan dan nilainilai

spiritual mereka. Kebudayaan dan peradaban Barat telah mengambil bentuk yang baru, dari kungkungan etnisitas menjadi cluster universal. Filsafat, seni, teknologi, dan semua anasir kebudayaan yang berhubungan dengan makhluk bernama manusia dikonstruksi sedemikian rupa sehingga—seolah-olah—hanya ada satu parameter tunggal yang menjadi kiblat seluruh peradaban bangsa-bangsa di dunia.

Pada dataran yang lebih riil, perkembangan industri untuk menciptakan teknologi-teknologi baru membawa dampak bagi kaum Muslim. Barat sebagai kampiun teknologi memanfaatkan kemampuannya untuk menarik sumber-sumber alam, sumber uang, dan kekayaan negeri-negeri dunia ketiga yang banyak dihuni oleh kaum Muslim. Dengan teknologi pula Barat telah berhasil membentuk dirinya sebagai model dan mesin pencetak peradaban dunia. Pencitraan teknologi berikut segala bentuk variasi produknya berkembang pesat di bawah iklim kapitalistik. Sehingga, negara dunia ketiga yang notabene kurang memiliki kemampuan memproduksi teknologi sendiri, di-setting sedemikian rupa agar menjadi konsumen setia produk Barat dengan harga yang mahal. Demi keuntungan sebesar-besarnya, Kapitalisme selalu membuat strategi untuk bisa memasarkan produknya dalam jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Agar masyarakat dunia rela membeli habis barang-barang produk teknologi mereka, satu-satunya cara adalah dengan membentuk pola pikir masyarakat yang konsumtif. Melalui berbagai media iklan dan propaganda, mereka menyusupkan visualisasi atas produk-produk tersebut seolaholah merupakan kebutuhan yang bersifat primer dan wajib dimiliki. Kecenderungan untuk membeli dan menggunakan produk Barat yang sebelumnya bersifat tersier menjadi kebutuhan primer merupakan salah satu cara kapitalis Barat mengeruk sebesar-besar keuntungan dari negara dunia ketiga. Pencitraan tingginya status sosial, prestise, trend, dan predikat modern dinisbatkan kepada siapapun yang mampu membeli, menggunakan dan terus mengikuti model terbaru atas produk teknologi Barat. Cara yang demikian merupakan suatu tipuan yang membolak-balik logika masyarakat dunia agar menanggalkan idetitas-identitas aslinya kemudian berebut untuk menggunakan beragam bentuk produk kebudayaan Barat yang diklaim sebagai ikon-ikon kemajuan dan keberadaban. Jadilah negeri-negeri konsumen sebagaimana kerbau yang dicocok hidungnya oleh kekuatan kapitalistik Barat yang eksploitatif.

Homogenisasi kebudayaan dan peradaban inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi umat Islam sebagai pengemban wahyu illahi. Negeri-negeri Muslim yang pada umumnya masih menjadi mayoritas tertindas (the oppressed majority) dalam keterpurukan ekonomi, politik, dan sosial, ditambah dengan rendahnya intelektualitas, mengimpor produk kebudayaan, teknologi, dan peradaban Barat ke dalam tanah air mereka sebagai usungan jargon globalisasi dan ikon modernisasi. Sudah tentu generasi muda menjadi obyek terbesar yang menghadapi pengaruh dari perbenturan kebudayaan ini. Mengapa bukan kalangan tua yang justru tengah memegang perannya sebagai organ-organ yang sedang menjalankan mesin Negara dan masyarakat? Sebab bagaimanapun, generasi tua sudah sulit mengalami pergeseran nilai-nilai yang sebelumnya terpatri dalam benak mereka. Generasi tua akan segera mengakhiri tugas-tugasnya untuk digantikan, dan ia mesti mempersiapkan penerus yang lebih baik dari mereka; yaitu generasi muda. Generasi muda merupakan modal paling esensial bagi masyarakat untuk menciptakan suatu perubahan. Jika pikiran generasi muda perlahan-lahan digerus oleh konstruk pseudokebudayaan dan toxic peradaban Barat yang materialistik dan hedonis, sulit sekali mengharapkan perubahan positif muncul dari generasi seperti mereka.

Dengan logika-logika tersebut di atas, masalah dunia Islam dewasa ini nyata tertumpu kepada satu titik, yaitu ketergantungan yang teramat besar terhadap Barat. Sebagian besar masyarakat Muslim telah mengalami keruntuhan dalam banyak sisi. Cara pandang, gaya hidup, selera, kecenderungan berfikir, pilihan hidup, semua menuju kubangan besar yang bernama “hedonisme” dan saudara kembarnya, “materialisme”. Dunia Muslim telah dikoyak-koyak oleh kekuatan Barat. Kekayaan alam dikeruk di balik jargon-jargon liberalisme ekonomi dan perdagangan bebas.

Moralitas dan nilai dilepaskan dari otentitas kediriannya oleh lidah-lidah hipokrit kebebasan, kemerdekaan, dan HAM. Slogan kebebasan digembar-gemborkan di balik kamuflase penghancuran dari dalam. Momok terorisme digencarkan untuk memperoleh legitimasi atas pembantaian dan pemusnahan kepada siapapun yang dituduh sebagai kutu-kutu peradaban. Ketakutan dan kecemasan dihembuskan untuk menggiring umat manusia berbondong-bondong berlindung di balik ketiak Barat. Atas nama perdamaian dan keamanan dunia, penjajahan dan perampasan kemerdekan justru dihalalkan terhadap negeri-negeri Muslim.

Bagaimanapun, tibalah saatnya dunia kini sedang mengalami satu pendulum yang meluncur ke arah Barat. Dunia sedang berada dalam cengekeraman Barat, dalam segala sisi kehidupan. Sulit ditemukan sebuah negara yang bersih dari pengaruh anasir-anasir Barat. Masyarakat dunia secara umum sedang menderita westruckness dan westoxication—meminjam istilah Ali Syari’ati—kebangkrutan moral ala Barat dan mabuk kepayang terhadap Barat[1].

Kenyataan ini memang tengah berlangsung hingga saat ini. Namun ia tidak bisa terus-menerus demikian. Umat Islam memiliki modal dan kekuatan dasar untuk itu melakukan perubahan. Islam, selama ini telah terdistorsi menjadi sekedar agama ritual dan profan, ia telah kehilangan ruh ideologisnya secara terus-menerus hingga tinggal berbentuk mosaik reruntuhan peradaban.

B. PEMAKNAAN IDEOLOGIS ATAS ISLAM

Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti pemikiran, daya khayal, konsep atau keyakinan. Kemudian “logos” berarti logika atau ilmu. Dengan demikian ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan gagasan. Seorang ideolog adalah penganjur gagasan tertentu yang perlu ditaati oleh suatu kelompok, kelas sosial, bangsa atau ras tertentu. Meminjam ungkapan seorang penulis Perancis, ideologi sangat erat kaitannya dengan orang yang menggerakkan, cendekiawan atau intelektual dalam masyarakat. Karena itulah seorang cendekiawan dituntut untuk memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat membantunya mengembangkan suatu pola pemikiran yang jelas. Mempunyai ideologi berarti mempunyai keyakinan kuat tentang bagaimana mengubah status quo yang sudah mentradisi dalam masyarakatnya.

Ideologi berbeda dengan bentuk-bentuk pemikiran lain, seperti halnya ilmu pengetahuan dan filsafat. Ideologi menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan fisafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan tanggung jawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan revolusi, pemberontakan, pengorbanan hanya dapat digerakkan oleh ideologi. Baik ilmu maupun filsafat tidak pernah dapat melahirkan revolusi dalam sejarah, walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideology-ideologi yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengorganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen.

Dalam bentuknya yang masih asli, pada dasarnya agama—dalam hal ini Islam—dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan masyarakat di negeri manapun yang tertindas, baik secara cultural maupun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya—yang belum terkontaminasi oleh nilai-nilai diluar dirinya—merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan dari hegemoni politik, ekonomi, dan kultural yang bukan Islam.

Islam sebagai mahzab sosiologi ilmiah meyakini bahwa perubahan sosial (termasuk revolusi) dan perkembangan masyarakat tidak dapat didasarkan pada kebetulan, karena masyarakat merupakan organisme hidup, memiliki norma-norma kekal dan norma-norma yang tak tergugat dan dapat diperagakan secara ilmiah. Manusia memiliki kebebasan dan kehendak bebas, sehingga dengan campur tangannya dalam menjalankan norma masyarakat, setelah mempelajarinya dan menggunakannya, dia dapat berencana dan meletakkan dasar-dasar bagi masa depan yang lebih baik untuk individu maupun masyarakat. Islam sebagai sebuah ideologi, bukanlah spesialisasi ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki seorang berkenaan dengan mahzab pemikiran sebagai suatu sistem keyakinan dan bukan sebagai suatu kebudayaan. Hal ini berarti Islam perlu dipahami sebagai sebuah ide dan bukan sebagai sekumpulan ilmu. Islam perlu difahami sebagai suatu gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual, bukan sebagai gudang informasi teknis dan ilmiah. Dengan demikian berarti Islam perlu dipandang sebagai ideologi dalam pikiran seorang intelektual, bukan sebagai ilmu-ilmu agama kuno dalam pikiran seorang ahli agama.

Namun demikian, proses pemihakan seorang Muslim terhadap ideologi Islam tidak bisa dipaksakan maupun dibayang-bayangi kekuatan di luar dirinya, melainkan harus terinternalisasi secara sukarela atas dasar kehendak bebasnya untuk memilih dan menentukan. Jika ideologi tidak lagi merupakan manifestasi kehendak merdeka seseorang, atau dipaksakan kehadirannya, maka ia telah kehilangan ruhnya dan berubah menjadi sekedar sebuah tradisi sosial bagian dari kebudayaan, ia telah kehilangan karakteristik aslinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syari’ati (1986):

Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri sendiri.… suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan, harapan dan keberanian.”

Terdapat perbedaan antara Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan oleh Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritualritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantap selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan manifestasi dari semangat dan ideal kemanusiaan yang sejati.” Jika Islam dirubah bentuknya dari “mahzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apapun kepada masyarakat.”.[2]

Dalam konteks praksis, Agama Islam berbeda dengan agama-agama lain. Islam tidak bisa dikonvensionalkan menjadi ritualitas individu semata, melainkan ruh yang menggerakkan hati seorang Muslim untuk menempuh aksi-aksi progresif bagi kemaslahatan umat manusia baik individu maupun kolektif. Sebagai sebuah ideologi, agama Islam bertengger di atas keyakinan yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah yang mencuat dalam masyarakatnya.

Sebagai konsekuensi karakteristik universalitasnya, Islam senantiasa hadir dalam realitas masyarakat seperti apapun bentuknya dan dalam kondisi bagaimanapun. Dengan demikian, Islam menuntut upaya-upaya korektif dan konstruktif atas kondisi yang kontraproduktif terhadap kebangunan Islam itu sendiri. Karenanya Islam adalah agama yang membumi, mendekati sedekat mungkin segala realitas kontekstual yang sedang bergejolak dalam masyarakat, untuk selanjutnya menawarkan solusi atas permasalahan yang ada.

Wawasan keislaman seperti apapun, tanpa suatu pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsipnya—dari dataran konseptual hingga wilayah praksis—tidak akan mampu menjadi khasanah untuk menemukan kebijaksanaan Islam, paling jauh hanya mencetak seorang intelektual yang kebetulan Islam, bukan Islam intelektual. Seorang Islam dalam bentukan yang tidak kaffah semacam ini memandang Islamnya dari suatu jarak yang jauh dari kehidupan masyarakat tanpa terbebani sebuah tanggung jawab sosial.

Kesadaran yang perlu ditumbuhkan ialah, bahwa kaum Muslim menanggung beban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan, keadilan, dan kebaikan. Islam mengajarkan bahwa di hadapan Allah manusia bukanlah makhluk yang rendah, karena ia adalah rekan Allah, teman-Nya, pendukung amanah-Nya dibumi. Manusia menikmati afinitasnya dengan Allah, menerima pelajaran dari-Nya, dan telah menyaksikan betapa semua malaikat Allah bersujud kepadanya. Manusia bidimensional yang memikul tanggung jawab demikian ini, membutuhkan agama yang tidak hanya berorientasi kepada dunia ini atau akherat semata, melainkan agama yang mengajarkan keseimbangan. Hanya dengan agama demikian (Islam) manusia mampu melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.

Dalam kenyataannya, kebanyakan ilmuwan, penulis, arsitek, sastrawan, ahli kesehatan, dan semua kelompok yang ada dalam masyarakat bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan yang netral. Netralitas berarti bebas nilai, tidak bermuatan ideologis tertentu. Inilah yang menyebabkan mereka hanya dipekerjakan untuk uang yang berarti tergantung pada pemilik modal. Slogan netralitas ilmiah telah didiktekan kepada para ilmuwan dunia ketiga. Sehingga para ilmuwan haruslah menjadi jiwa yang terbelah (the split personality) menjadi dua bagian atau lebih, di satu sisi ilmu dan keahlian, di sisi lain adalah keyakinan, yang menempati wilayah saling terasing satu sama lain. Mereka mesti menjejali kepalanya dengan pernyataan-pernyataan bahwa dia adalah ilmuwan yang obyektif dan netral, bekerja dalam dunai analisis yang menuntut semua dicari dan direkam secara obyektif, demi kemurnian ilmu dan menghindari distorsi ilmu. Maka jatuhlah diri mereka ke dalam ketidakbermaknaan atas karya-karya dan jerih payah yang mereka kerjakan, tanpa suatu misi tertentu, motivasi yang hakiki, serta harapan yang lebih besar untuk mereka dapatkan dari sekedar uang, privelese, dan penghargaan oleh manusia.

Dewasa ini ilmu dipisahkan dari ideologi dalam jarak yang sangat jauh. Sebuah kekeliruan bagi ilmu untuk bersentuhan dengan ideologi. Ketersinggungan antara ilmu, profesi, dan ideologi bukan lagi masalah yang harus diperdebatkan, ia sudah dibereskan oleh modernisasi dan rasionalisasi pikiran manusia. Jika disadari, sebenarnya logika berfikir tersebut sama halnya mencabut ruh dari sangkar badannya. Dengan cara pandang demikian maka ilmuwan modern menjual dirinya kepada pemerintah, korporasi, kekuatan modal, demi mendapatkan upah yang tinggi untuk kemakmurannya. Mereka tidak lagi mempedulikan ketimpangan, ketidakadilan, status-quo, kebobrokan, dan peristiwa apapun yang muncul di tengahtengah masyarakatnya. Padahal disinilah tugas dan bidang garap ideologi. Ketika ideologi sudah dicampakkan dari kesatuan utuh paradigma berfikir masyarakat, maka nilai-nilai dasar yang memotivasi seluruh aktivitas mereka menjadi pragmatis.

Mereka akan kekurangan sense of humanity, kemanusiaan sudah tergadaikan oleh egoisme individualistik dan tujuan-tujuan jangka pendek. Dengan demikian sesungguhnya yang dibutuhkan Islam adalah ilmuwan-ilmuwan yang ideolog, bukan ilmuwan pragmatis. Ilmuwan yang bergerak dalam dua aras; antara idealita dan realita, antara individu dan sosial, antara vertikal dan horizontal, antara profesionalisme dan humanisme, antara misi kemanusiaan dan misi kenabian, antara kehidupan dunia dan setelahnya. Mereka itu adalah ulil albab, rausyanfikr yang menyimpan energi untuk menggerakkan peradaban.

C. MENJADI RAUSYANFIKR!

Rausyanfikr[3] adalah, seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideology yang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistemik.

Rausyanfikr adalah model manusia yang diidealkan oleh Ali Syari'ati untuk memimpin masyarakat menuju revolusi. Menurut Eko (2004), Ia mengandung pengertian yang lebih detail sebagai:

Orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatannya…yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah para pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah. Dalam zaman modern maupun berkembang, rausyanfikr mampu menumbuhkan rasa tangung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa/ rakyat. Rausyanfikr dicontohi oleh pendiri agamaagama besar (para Nabi), yaitu pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahanpembenahan stuktural yang mendasar di masa lampau. Mereka sering muncul dari kalangan rakyat jelata yang mempunyai kecakapan berkomunikasi dengan rakyat untuk menciptakan semboyan-semboyan baru, memproyeksikan pandangan baru, memulai gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. Gerakan mereka adalah gerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif. Dari masyarakat beku menjadi progresif, dan memiliki pandangan untuk menentukan nasibnya sendiri. Seperti halnya para nabi, rausyanfikr tidak termasuk golongan ilmuwan dan bukan bagian dari rakyat jelata yang tidak berkesadaran dan mandek. Mereka individu yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk menghasilkan lompatan besar.

Manusia rausyanfikr memiliki karakteristik memahami situasi, merasakan desakan untuk memberi tujuan yang tepat dalam menyebarkan gaya hidup moralitas dan monastis, anti status quo, konsumenistik, hedonistik dan segala kebuntuan filosofis menuju masyarakat yang mampu memaknai hidup, konteks, dan realitas masyarakat. Seperti apa yang dikatakan Syariati (2001) sebenarnya mewakili aksi-aksi intelektualnya, bahwa orang tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan:

Setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar orang-orang yang tercerahkan adalah menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan–alasan dasar bagi nasib sosio-historis yang tragis. Lalu, dengan berpijak pada sumber-sumber, tanggung jawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia dituntut menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan akan berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman diluar kelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.

Rausyanfikr merupakan kunci bagi perubahan, oleh karenanya sulit diharapan terciptanya perubahan tanpa peranan mereka. Merekalah pembangun jalinan yang meninggalkan isolasi menara gading dan turun dalam masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang tidur panjang menuju gerakan melawan penindas. Hanya ketika dikatalisasi oleh rausyanfikr masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju peradaban baru. Pemikir tercerahkan adalah aktivis yang meyakini sungguh-sungguh dalam ideologi mereka dan menginginkan syahid demi perjuangan tersebut. Misi yang dilancarkan mereka adalah untuk memandu “massa yang tertidur dan bebal” dengan mengidentifikasi masalah riil berupa kemunduran masyarakat, dan Islam—agama keadilan—sebagai solusi rasional untuk menguliti masalah yang mencuat dalam masyarakat. Syari’ati (2001) bertutur:

Manusia ideal memiliki tiga aspek: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan perkataan lain: pengetahuan, akhlaq, dan seni. Menurut fithrahnya dia adalah khalifah Allah. Dia adalah kehendak yang komit dengan tiga macam dimensi: kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas.

Jika boleh divisualkan, Ali Syari’ati seolah berorasi kepada seluruh intelektual Muslim di manapun,” Wahai ulil albab, rausyanfikr, kalian jangan berhenti di atas menara gading. Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke kota-kota, ke pasarpasar, ke sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan manusia. Jangan puas dengan ilmu yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu harus kalian abdikan ke tengah masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat umat untuk merubah dunia dengan bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka meniru-niru Barat atau menjiplak Timur. Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub yang harus dipilih, keduanya sama-sama tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan Islam, sebab Islam bukan tradisi, bukan Barat, bukan pula Timur. Islam adalah wahyu. Pelajari keyakinan dasar dan proses yang membentuk kesadaran masyarakatmu, kemudian kebudayaan mereka, dan karakteristik mereka. Tugas kalian adalah merobohkan sistem masyarakat yang berdasar atas penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman dengan membentuk umat yang terbangun atas dasar tauhid. Inilah tugas para rasul, kini kalian penerusnya!”

Wallahual’lam bishawwab.

Referensi lanjut:

Rahnema, Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1995. “Kumpulan tulisan tentang riwayat beberapa tokoh Muslim perubah dunia dan pemberi kontribusi besar dalam dinamika kebangunan ummat Islam.”

Ridwan, M. Deden, (ed), Melawan Hegemoni Barat; Ali Syariati Dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, Penerbit Lentera, Jakarta, 1999. “Kumpulan tulisan beberapa penulis Muslim Indonesia yang menyoroti sosok Ali Syari'ati dalam berbagai sudut pandang keagamaan, sosial, politik, dan kultural.”

Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syariati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Desember 2003. Analisis seputar karakteristik revolusioner Islam dalam pandangan Ali Syariati, kritik-kritiknya terhadap Marxisme, berikut analisis mengenai titik singgung dan titik seberang antara Islam dan Sosialisme-Marxisme.

Syari'ati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. “Pandangan Ali Syari'ati yang membahas tentang perspektif Islam dalam memandang manusia, pandangan dunia seorang Muslim tentang tawhid dan perannya dalam masyarakat, berikut analisis sosiologis masyarakat Islam.”

_________, On Socioligy of Islam, Mizan Press, Berkeley, 1979. “Pandangan Ali Syari'ati tentang perspektif sosiologis Islam dan konsepsinya tentang masyarakat dalam kacamata Islam.”

_________, Paradigma Kaum Tertindas, Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Al-Huda, Jakarta, 2001. Pandangan hidup tawhid , dialektika sejarah dalam perspektif Al- ur'an, serta analisis tentang karakteristik Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan.”

_________, Humanisme Antara Islam dan Mahzab Barat, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996. Pandangan Ali Syari'ati tentang konsep humanisme sekuler, kritik terhadap humanisme, eksistensialisme, modernisme, dan Marxisme, serta tarik menarik antara Marxisme dengan agama, khususnya Islam. Di sini Ali Syari’ati secara tegas menyatakan perbedaannya antara mahzab Islam dan mahzab Barat.”

_________, Haji, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997. “Penjelasan naratif tentang pelaksanaan ibadah hajji dalam analisis mistis-filosofispolitis dalam setiap tahapan hajji.”

_________, Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, 1992. Mahzab pemikiran ideologi Ali Syari'ati, sejarah dua mahzab Islam dan filsafat doa dalam pandangan Ali Syari'ati.”

_________, Membangun Masa Depan Islam, Mizan, Bandung, 1986. “Kumpulan teks ceramah Ali Syari'ati tentang langkah-langkah yang ditempuh umat Islam dalam upaya reinterpretasi Islam, dilengkapi dengan naskah rencana praktis Husyainiyah Irsyad, sebagai tungku yang menampung pemikiran-pemikiran revolusioner Ali Syari'ati.”

_________, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam Sebuah Pandangan Sosiologis, Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1986.

“Makna syahadah dalam tradisi Islam, karakterisik Islam sejati, dan gambaran wajah

Nabi Muhammad.”

_________, Reflections of Humanity: Two Views of Civilization and the Plight of Man, Free Islamic Literatures, Houston, 1980.

“Pandangan Ali Syari'ati tentang humanisme dan nestapa manusia di tengah pusaran

peradaban dan ideologi dunia.”


[1] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Halaman vii-ix.

[2] Ali Syari'ati, Islamology: The Basic Design for A School of Thought and Action, dalam

http//www.shariati.com//about DR. shariati.html. 23 Maret 2003.

[3] Rausyanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris

terkadang disebut intelectual atau free thinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan

menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta

sebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal,

Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam

menjalankan pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologi. Lihat Jalaluddin Rahmat, “Ali

Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab” Pengantar dalam, Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan

Islam, Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (penrj), Mizan, Bandung, 1994, hal 14 – 15.

HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU