Rabu, 31 Maret 2010

Optimalisasi Kompetensi Kader Berbasis Identitas Lokal Sebagai Filterisasi Paham Neoliberalisme Menuju Masyarakat Berkeadilan*

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 02.51
Dunia dihadapkan pada gempuran arus globalisasi yang berimplikasi pada liberalisasi dan perdagangan bebas. Globalisasi dianggap sebuah keniscayaan dalam jaman modern ini. Yang perlu dicatat adalah bahwa setiap Negara belum tentu memiliki kesiapan dalam menghadapi ini. Dengan globalisasi, arus budaya, dan ekonomi menjadi sulit untuk dibatasi. Akibatnya Negara yang belum siap menghadapai arus globalisasi ini akan semakin terseret dan tertinggal. Bahakan ada yang menganggap bahwa globalisasi ini adalah salah satu model penjajahan gaya baru melalui paham neoliberalismenya.

Globalisasi dan perdagangan bebas dibangun atas dasar asumsi pertama, bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistem proteksionis. Kedua, model perdagangan bebas akan menguntungkan dan mendidik setiap negara merancang program pembangunan secara efektif dan efisien. Menurut Mansour Fakih, terdapat beragam struktur dan elemen yang membentuk anatomi globalisasi. Yaitu globalisasi sistem dan proses produksi. Sistem fabrikasi dunia pada dasarnya merupakan usaha penciptaan herarki jaringan produksi dan perdagangan skala global dari perusahaan transnasional.

Dengan globalisasi pula, arus informasi dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dan ini berarti memudahkan penyebaran budaya. Selama ini budaya yang berkiblat pada dunia barat sengaja dihembuskan pada Negara-negara lain untuk memudahkan liberalisasi di bidang ekonomi. Masyarakat digiring pada sebuah budaya konsumerisme karena ini akan dapat menjadi penopang pemasaran barang produksi dan jasa yang ditawarkan Negara-negara kapitalis.

Paham liberalisme ini tidak berdiri sendiri, namun ditopang oleh payung ilmiah untuk mengawalnya sebagai alat pembenar. Berbagai ilmu pengetahuan diciptakan sebagai alat pembenar bagi perkembangan budaya, paham dan ajaran yang sengaja ditularkan Negara-negara kapitalis dengan maksud proyek imperialisme baru. Sebut saja paham developmentalisme yang sempat dijadikan agenda besar Indonesia pada masa orde baru. Berdasarkan pengakuan Jhon Perkins, seorang konsultan prusahaan multinasional Amerika, bahwa sebenarnya developmentalisme di Indonesia adalah jalan untuk melakukan penjajahan ekonomi. Amerika, melalui perusahaan konsultannya menawarkan konsep pembangunan dan industrialisasi agar Indonesia dapat menjadi Negara maju seperti Negara-negara barat lainnya. Ini dilakukan dengan rekayasa statistik untuk melegitimasi perlunya Indonesia berhutang pada lembaga donor. Dampaknya adalah adanya sebuah dependensi Negara berkembang (Indonesia) pada lembaga donor yang didalangi oleh Negara kaya seperti Amerika. Dengan demikian AS dapat dengan mudah mengntrol setiap kebijakan di negara ‘jajahan’nya, termasuk kebijakan sosial, politik, budaya, dan ekonomi.

“Islam” Vs “Barat” dan Kemunduran Islam

Di dunia saat ini tengah terjadi pertentangan antara “Barat” versus Islam. Setelah perang dingin usai dengan ditandai hancurnya Uni Sovyet, maka tak ada lagi kekuatan penyeimbang di dunia ini. Yang ada adalah sebuah kekuatan tunggal yang dominan dan menghegemoni. Pertarungan ini sebenarnya telah terjadi sejak dahulu. Namun pertarungan yang terjadi cenderung dilandasi motif ekonomi yaitu penyerangan pada negara-negara berbais Islam yang memiliki kekayaan sumberdaya minyak. Ini terlihat dari kebijakan internasional yang cenderung tidak adil terhadap negara-negara Islam. Misalnya saja dalam kasus nuklir yang dilakukan oleh Iran yang ditentang oleh Amerika dan sekutunya. Dengan alasan perdamaian dunia pula, Amerika dan sekutunya menginfasi Irak dan memberikan sanksi terhadap Iran yang melakukan pengayaan uranium untuk industri. Padahal, pihak yang melakukan serangan itu pun memiliki senjata nuklir yang jelas-jelas mengancam dan membahayakan umat manusia.

Jika ditelisik secara basis ideologinya, barat dan Islam memang bertentangan. Kapitalisme yang menjadi basis ideologi negara barat, tidak berasal dari dunia Islam karena muncul setelah ditemukannya mesin secara kebetulan di Eropa. Kapitalisme diimpor ke dunia Islam pada waktu Eropa berkuasa. Bersama gelombang perkembangan, kapitalisme tersebar ke dunia Islam yang mengalami kemiskinan, ketertinggalan, dan terabaikan. Akibatnya, banyak yang perpikir bahwa Islam menerima paham kapitalisme dan liberalisme.

Pertarungan ideologi ini mengakibatkan kemunduran dalam Islam itu sendiri. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya konflik internal Islam. Kemunduran dalam Islam, penyebabnya adalah kebodohan umat, krisis kepemimpinan dalam Islam, masuknya paham kapitalisme yang berbungkus agama, dan kurangnya pemahaman umat dalam esensi ber-Islam.

Karena kurangnya pemahaman umat Islam terhadap ajarannya, akibatnya dapat dengan mudah pengaruh asing memecah belah keyakinan kita. Arus budaya liberal dapat dengan mudah diamini oleh umat Islam tanpa ada filter. Sehingga kita sulit membedakan mana nilai Islam dan mana yang bukan. Contoh saat ini yang banyak terjadi adalah kapitalisme yang berbalut dakwah. Dakwah dijadikan ladang komersil. Ayat-ayat Al-Qur’an dijual demi kepentingan ekonomi semata. Tak heran jika produsen teknologi modern menggunakan peluang ini. Dengan embel-embel “Islami”, mereka menjual produk ke pasaran.

Permasalahan dalam Konteks Lokal

Dalam konteks lokal, persoalan ketidakadilan ternyata masih saja menghantui setiap sendi kehidupan. Terlebih lagi pada sebuah bangsa dan Negara yang masih ketergantungan dengan Negara lain. Permasalahan ketidakadilan cenderung lebih dirasakan bagi Negara yang mayoritas penduduknya miskin dan bodoh seperti Indonesia. Isu-isu sentral yang menjadi persoalan ini biasanya mengenai hak-hak dasar seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, berorganisasi dan berpolitik.

Indonesia sebagai negera berkembang yang sebagian penduduknya miskin, tidak luput dari masalah keadilan ini. Sebagai Negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi, namun praktek di dalamnya masih menyisakan ketidakadilan dalam berbagai hal. Permasalahan pemerataan pembangunan menjadi salah satu contoh. Pembangunan yang dilakukan hanya terfokus pada kota-kota besar dan di pulau jawa.

Lahirnya otonomi daerah menjadi solusi untuk mengatasi hal ini. Daerah di berikan wewenang untuk mengatur pembangunan yang lebih diperlukan bagi daerahnya. Namun sayangnya, semangat otonomi daerah itu belum mampu menjawab persoalan pemerataan pembangunan. Sebagai contoh, pembangunan yang dilakukan di wilayah Banyumas yang cenderung tersentral di Purwokerto sebagai ibu kota kabupaten. Banyak daerah-daerah pelosok di Banyumas ini yang tidak diperhatikan.

Persoalan kesejahteraan masih menjadi isu besar di Negara ini, terlebih lagi wilayah Banyumas yang sebagian besar merupakan daerah pedesaan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah cenderung tidak pro rakyat dan tidak solutif. Artinya kebijakan yang dikeluarkan tidak memperhatikan aspek kebutuhan masyarakat Banyumas. Salah satu penyebabnya adalah adanya gejala pragmatisme dan degradasi moral pada elit lokal. Mereka lebih mementingkan kepentingan sesaat atau jangka pendek. Demokrasi yang dijalankan pun hanya sebatas prosedural seperti pemilu, pemilihan kepala daerah dan legislatif secara langsung. Masayarakat dibuat tak berdaya dengan kondisinya, sehingga mengakibatkan penurunan kesadaran kritis dan sikap apolitis.

Karena sikap pragmatisme elit, dan lemahnya sikap kritis masyarakat, ini mengakibatkan tidak adanya control terhadap kinerja pemerintah baik di tingkat pusat atau daerah. Akibatnya tidak adanya pemerataan kesejahteraan. Yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin tetap miskin dan semakin miskin. Berapa banyak masyarakat yang hidup dalam kekurangan? Berapa banyak anak yang putus sekolah? Berapa banyak pangangguran? Berapa banyak yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak? Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak terpelihara? Berapa banyak sarana dan prasarana yang tidak layak? Semua itu adalah sebagian kecil dari persoalan yang dihadapi di Indonesia dan khususnya di Banyumas. Ini adalah persoalan ketidakadilan!!

Budaya Global Vs Lokal

Sistem yang diterapkan di Negara kita telah memarjinalkan aspek-aspek lokalitas. Ini sebagai imbas dari arus globalisasi. Budaya-budaya lokal yang ada tergerus oleh budaya “populis” yang disebarkan melalui akses informasi. Orang Banyumas merasa malu mengakui sebagai Banyumasnya. Masyarakat Banyumas enggan menampilkan sosok Banyumas sebagai “Jawa yang lain” dengan seperangkat nilai, norma dan bahasa yang melekat di dalamnya.

Merujuk apa dikatakan Arjun Appadurai, seorang ilmuwan asal India; globalisasi, selain menciptakan sebuah masyarakat dan tatanan global tanpa ada batas-batas Negara, tetapi juga di dalamnya mengandung pertentangan yang mengakibatkan glokalisasi. Dalam ranah budaya, masyarakat cenderung memperkuat basis nilai-nilai lokalnya sebagai ciri khasnya. Selain menciptakan nasionalisme kebangsaan dan nasionalisme global, ternyata globalisasi dapat memicu terciptanya entitas-entitas lokal dan nasionalisme kedaerahan.

Seharusnya ini yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal. Bukannya ikut tergiring pada budaya massa yang cenderung bersifat liberal, konsumtif, pragmatis, tetapi seharusnya masyarakat daerah harus mampu mengembangkan dan memperkuat basis nilai-nilai budayanya. Nilai-nilai yang dianut pada budaya yang ada di Indonesia dapat dijadikan counter hegemoni budaya dan memfilter paham neoliberalisme yang melanda dunia.

Mahasiswa sebagai Kader Intelektual

Kondisi keterpurukan bangsa ini tidak luput dari kualitas sumberdaya manusia. Mahasiswa sebagai kalangan intelektual dan sebagai generasi penerus bangsa harus mampu mencari solusi terhadap persoalan bangsa. Sebagai kader-kader intelektual harus mampu mengisi peran-peran strategis di masa depan. Dalam kenyataannya saat ini, sistem pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi terpaksa menyeret kalangan generasi muda bersikap pragmatis dan hanya berorientasi “nilai” dan “kerja”. Institusi pendidikan berubah layaknya pabrik yang hanya menghasilkan beribu-ribu sarjana yang berorientasi pekerja tanpa jiwa entrepreneur atau kreativitas dalam mengembangkan skill atau kemampuan akademiknya.

Sistem pendidikan tinggi lebih memprioritaskan agar mahasiswa cepat lulus dengan IPK tinggi, sehingga mahasiswa tidak ada kesempatan untuk mengaktualisasikan kreativitas keilmuannya dan enggan berorganisasi. Mahasiswa saat ini tidak peka terhadap kondisi masyarakat sekitarnya. Kondisi ini membuat kampus dan realitas di masyarakat terdapat jurang pemisah yang sangat dalam.

Dengan melihat kondisi saat ini, perlu sebuah upaya mencetak kader-kader generasi muda tidak hanya melalui kampus, tetapi juga melalui organisasi sebagai wadah aktualisasi untuk menjadi generasi yang memiliki keahlian dan mumpuni dalam bidang disiplin ilmunya masing-masing. Sebab, diharapkan ketika lepas dari dunia kampus, kader-kader ini mampu berperan dalam mewujudkan tatanan masyarakat berkeadilan dan turut serta memajukan bangsa ini. Dalam konteks ber-HMI, kader-kader ini harus memiliki basis keilmuan dan keislaman serta sikap keberpihakan terhadap kaum lemah yang selama ini termarjinalkan dari realitas.


* Ini adalah TOR Konferensi HMI Cabang Purwokerto ke-XXXIX

Dekonstruksi Budaya Populis Melalui Nilai-nilai Keislaman untuk Mewujudkan Masyarakat Tamadun

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 02.42
Oleh: Bambang Wibiono

Sistem Kerja Imperialisme Melalui Legitimasi Ilmu Pengetahuan

Saat ini dunia sedang digempur oleh arus budaya yang datangnya dari dunia barat yang cenderung destruktif terhadap nilai-nilai etika kemanusiaan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Di tengah perkembangan dunia global dan kemudahan informasi, arus budaya tersebut berkembang dan menyebar lebih mudah dan cepat.

Namun, internalisasi budaya barat tersebut tidaklah serta merta diterima oleh berbagai bangsa. Tentunya diperlukan sebuah pijakan legitimasi bagi penyebaran budaya tersebut. Maka diciptakanlah payung ilmiah untuk mengawalnya.

Berbagai ilmu pengetahuan diciptakan sebagai alat pembenar bagi perkembangan budaya, paham dan ajaran yang sengaja dihembuskan oleh negara-negara barat, tentunya dengan maksud proyek impreialisme baru. Ilmu pengetahuan digiring untuk melegitimasi pandangan kaum imperialis. Mereka menganggap bahwa ajaran atau budaya yang ditawarkan akan membawa kemajuan bagi setiap bangsa, seperti kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa barat seperti Eropa, Amerika yang telah mengalami kemajuan pesat. Akhirnya mau-tidak mau kita terbuai akan janji manis kaum imperialis. Kiblat ilmu pengetahuan pun selalu berpatokan pada negara-negara tersebut.

Kita diajari bahwa satu-satunya sistem sosial yang ada adalah sistem barat, satu-satunya sistem ekonomi dan politik yang benar adalah sistem yang dianut barat. Kita diajarkan bahwa hak-hak manusia pertama kali diakui dalam revolusi Peranis, bahwa demokrasi didorong dan dopopulerkan oleh orang Inggris, dan bahwa kekaisaran romawi yang menyediakan dasar peradaban.

Kondisi seperti inilah yang sebenarnya dialami oleh bangsa Indonesia. Negara Indonesia yang dianggap sebagai negara miskin, menjadi objek gempuran pengaruh barat tersebut yang tak lain adalah sebagai upaya imperialisme gaya baru melalui kapitalisme, materialisme, neoliberalisme. Sumberdaya yang dimiliki bangsa ini dieksploitasi dan diangkut ke luar.

Kita dicekoki oleh khayalan-khayalan akan kemajuan seperti yang dialami oleh negara-negara di barat sana. Parahnya bangsa kita menerima mentah-mentah saja akan pengaruh dan budaya tesebut. Jargon pembangunan dan modernisasi dipakai untuk alasan pembenar. Segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu mengatasnamakan pembangunan dan modernisasi.

Misalnya saja proyek pembagunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah orde baru menjadi isu sentral di negara kita. Masyarakat pedesaan menjadi objek proyek tersebut bagi tercapainya industrialisasi perkotaan. Revolusi hijau diupayakan secara intensif bagi masyarakat petani pedesaan.

Namun apa yang terjadi setelah itu? Banyak kajian para ilmuwan yang mengatakan bahwa dengan hadirnya industrialisasi melalui revolusi hijau di pedesaan, telah mengakibatkan rusaknya tatanan sosial yang telah ada dan telah berjalan dinamis pada masyarakat pedesaan. Nilai-nilai kearifan lokal telah hilang, budaya masyarakat pedesaan menjadi konsumtif dan materialis. Budaya gotong royong mulai berubah menjadi individualis. Akibatnya banyak lahan-lahan pertanian yang dikuasai oleh kaum pemilik modal, dan tentu saja para petani tersebut hanya menjadi buruh-buruh yang murah. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh kaum imperialis, penguasaan sumberdaya alam, menciptakan tenaga kerja murah bagi kebutuhan industri dengan terlebih dahulu mencekokinya dengan kesenangan.

Sebenarnya jargon pembangunan dan modernisasi yang ditawakan negara barat telah gagal mewujudkan janjinya pada negara dunia ketiga. Mansour Fakih (2001) menunjukkan bahwa proyek percontohan pada negara-negara di Asia telah gagal mewujudkannya. Negara-negara NICs (Newly Industrial Countries) di Asia, bahkan Indonesia termasuk di dalamnya tidak mampu bertahan dihantam oleh badai krisis yang melanda dunia. Sistem kapitalis yang diterapkan tidak mampu membendung krisis tersebut, bahkan yang ada hanyalah berkembang menjadi krisis multidimensi.

Teori ekonomi barat menilai bahwa tingkat kemajuan sebuah negara adalah ketika telah mencapai tingkat konsumsi tinggi. Inilah yang diamini oleh bangsa kita. Kita terjebak pada budaya konsumerisme yang sesungguhnya hanya akan menguntungkan kaum pemodal asing. Bangsa kita enggan untuk mencoba menjadi bagsa produktif, tetapi lebih nyaman hanya sebagai konsumen.

Gempuran Budaya Pada Generasi Bangsa

Sebenarnya gejala individualis, materialis, pragmatis, dan konsumtif ini juga yang sedang melanda generasi muda bangsa Indonesia. Sistem sosial, ekonomi, budaya, bahkan pendidikan diarahkan pada paham materialisme dan individualisme. Banyak generasi muda bangsa ini yang terjebak pada kesenangan sesaat. Banyak tersedianya fasilitas-fasilitas hiburan digunakan untuk mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir generasi muda. Berbagai produk yang sifatnya konsumtif dijejali kepada anak-anak muda, dan mereka menikmatinya. Namun yang lebih parahnya, barang-barang konsumtif itu dimiliki oleh orang asing yang pada akhirnya hanya akan menguntungkannya. Bangsa kita hanya dijadikan objek pasar yang sangat menjanjikan.

Dalam hal pendidikan, pola pikir pelajar kita telah mengarah pada sikap pragmatisme dan individualisme. Yang mereka pikirkan hanyalah masa depannya, tanpa memikirkan kontribusinya bagi masyarakat, kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Institusi-institusi pendidikan di Indonesia telah berubah layaknya pabrik penghasil buruh-buruh. Kondisi ini dilegitimasi oleh lahirnya kebijakan pemerintah melalui Undang-undang BHP. Institusi pendidikan dijadikan lahan bisnis bagi sebagian orang. Akibatnya out put yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Sebab mekanisme yang terjadi di dalamnya tidak mampu memberikan pendidikan yang memanusiakan manusia.

Mari kita lihat gejala yang terjadi pada generasi muda saat ini. Berapa banyak pelajar, mahasiswa yang peduli dengan nasib masyarakat sekitar. Kaum yang katanya terpelajar dan sebagai agent of change yang seharusnya kritis dan peduli, menjadi masa bodoh. Yang mereka pikirkan hanyalah memperoleh nilai yang bagus, serta cepat lulus, lalu bekerja.

Sistem pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi diarahkan agar kita disibukan dengan “aktivitas akademik”, yaitu belajar. Padahal seharusnya dimensi pendidikan atau aktivitas akademik tidak melulu berkutat pada kegiatan belajar di kelas atau mengerjakan tugas. Aktivitas akademik juga menyangkut pertanggungjawaban secara moral kepada kehidupan masyarakat sekitar. Kita harus tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, dan berupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, tanpa harus berdiam diri dan memikirkan teori-teori tanpa aplikasinya.

Kehidupan kampus dan realitas masyarakat sekitar seolah dipisahkan oleh jurang yang sangat dalam. Masyarakat yang berharap pada kaum akademisi menjadi tak berdaya. Institusi pendidikan seperti sebuah istana megah yang dihuni kaum elitis. Antara “istana akademisi” dan masyarakat tidak terdapat jembatan penghubung. Kaum akademisi sibuk dengan aktivitasnya, sementara masyarakat sibuk dengan penderitaannya.

Oleh karena itu sudah saatnya kita sadar akan bahaya imperialisme, melalui liberalisme, kapitalisme, materialisme dan konsumerisme (budaya populis) yang didukung oleh sistem pengetahuan yang mendominasinya. Kita harus hancurkan budaya dan peradaban produk barat tersebut yang telah jelas-jelas menyengsarakan masyarakat dan membuat masa depan bangsa menjadi suram, serta tidak pernah membawa pada kemajuan.

Islam Sebagai Tawaran Solusi

Islam secara harfiah berarti pembebasan dari segala bentuk perbudakan seperti menghalangi kemajuan umat manusia dan tidak mengijinkannya mengikuti jalan kemuliaan dan kebajikan (Muhammad Quthub, 2001). Ini berarti kebebasan manusia dari para diktator yang memperbudaknya dengan paksaan dan ancaman, membuatnya melakukan kesalahan dan kehilangan harga dirinya, martabat, harta benda, bahkan nyawa. Islam melepaskan manusia dari kedzaliman dengan mengatakan padanya bahwa segala kekuasaan berada di tangan Tuhan.

Kapitalisme tidak berasal dari dunia Islam, karena muncul setelah ditemukannya mesin yang secara kebetulan berlangsung di Eropa. Kapitalisme diimpor ke dunia Islam pada waktu Eropa berkuasa di sana.bersama gelombang perkembangan, kapitalisme tersebar ke dunia Islam yang menderita kemiskinan , ketertinggalan, dan terabaikan. Ini membuat banyak orang berpikir bahwa Islam menyetujui kapitalisme, dengan segala kelebihan dan kekuragannya. Mereka juga mengklaim bahwa tidak ada ketentuan dalam hukum atau aturan Islam yang bertentangan dengan kapitalisme. Mereka mengatakan bahwa karena Islam memperbolehkan kepemilikan individual, maka sama saja dengan memperbolehkan kapitalisme. Harus kita cermati bahwa kapitalisme tidak bisa tumbuh subur dan berkembang tanpa riba dan monopoli yang dua-duanya dilarang oleh Islam jauh sebelum kapitalisme lahir.

Sistem hidup yang ditawarkan oleh Islam sebenarnya telah banyak dan terbukti membawa kemajuan. Misalnya saja kemajuan dan kesejahteraan yang dialami Madinah ketika Islam berkembang dan diterapkan. Begitu juga dengan Mesir yang mengalami kejayaan selama berabad-abad. Tetapi ketika Islam mulai ditinggalkan oleh pemeluknya, kehancuran dan keterpurukan mulai dirasakan oleh negara-negara Islam. Orang-orang yang tidak senang akan kemajuan pesat dari Islam mencoba memisahkan pemeluknya dari ajarannya. Nasib buruk umat Islam sebenarnya berawal dari ketidaktahuan mereka tentang agama mereka sendiri.

Di bawah kekuasaan Barat, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan namun manusia tertinggal jauh di belakang dan secara perlahan-lahan akan kehilangan penghargaan yang lebih tinggi dalam kehidupan manusia. Peradaban modern dengan budaya populisnya, menekankan aspek materi daripada rohani, lebih mementingkan sensualitas daripada kehidupan spiritual dan akibatnya orang lebih mementingkan kesenangan pribadi dan egoisme daripada berjuang atau menderita demi kebaikan bersama. Di sinilah peran Islam sebagai agama pembebas yang menentang segala bentuk budaya “modern” atau budaya populis yang menggejala dunia, khususnya juga pada bangsa Indonesia. Dengan kembali pada ajaran-ajaran Islam, maka akan tercipta tatanan masyarakat tamadun, sehingga Baldah Thoyyibah wa Rabbun Ghofur akan terwujud.

HMI-MPO sebagai bagian dari masyarakat memliki peran penting bagi penyadaran terhadap kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. HMI harus menjadi ujung tombak bagi perubahan peradaban dengan berlandaskan pada ajaran Islam yang mulia. Kita harus mampu mendekonstruksi budaya-budaya modern yang populis yang sesungguhnya menyesatkan dan menyengsarakan. HMI MPO harus menjadi majelis penyelamat bangsa dan mengawali perubahan..!!!.

“Kita harus bergerak tuntaskan perubahan, atau mati tertindas, karena diam adalah sebuah penghianatan.”

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 02.24

NU Dan Pendidikan Demokrasi Di Indonesia

Oleh: Arfianto Purbolaksono


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Organisasi Islam terbesar di Indonesia melangsungkan perhelatan Muktamar-nya yang Ke-32 pada tanggal 23- 28 Maret 2010 di Makassar. Sebagai organisasi yang telah banyak memberikan peranannya dalam konteks kebangsaan, NU bersiap menghadapi muktamar pasca kehilangan tokoh besarnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Almarhum Gus Dur yang telah memberikan warna zaman tersendiri bagi NU, merupakan tokoh yang berpengaruh bukan hanya bagi warga NU namun juga bangsa Indonesia. Gus Dur telah banyak memberikan pelajaran berharga tentang humanisme dan demokrasi di Indonesia. Perkembangan demokrasi di Indonesia selama satu dasawarsa ini tidak lepas dari andil pemikiran Gus Dur yang lahir dari rahim tradisi NU


NU lahir dengan tradisi pemahaman Ahlussunah Wal Jamaah yang memiliki pandangan adanya sintesa antara rasional dengan tekstualitas, dan senantiasa menjunjung tinggi petunjuk Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai rujukan utama umat Islam. Maka dapat dikatakan bahwa dasar tradisi NU merupakan keterbukaan pemahamannya. Sedangkan demokrasi merupakan sebuah sistem yang tidak berhenti dalam satu titik idealitas bentuknya. Maka demokrasi akan selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, salah satunya adalah nilai-nilai Islam.

Sebagai Negara yang mayoritas beragama Islam, agama menjadi salah satu modal sosial bagi perkembangan dalam masyarakatnya. Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, mengatakan; agama secara langsung telah berevolusi dari agama kesukuan menjadi agama civil. Dalam hal ini Durkheim berpendapat bahwa semua masyarakat memerlukan suatu gabungan yang terdiri dari system ajaran dan symbol, norma-norma dan nilai-nilai, sebagai identitas nasional yang berperan sebagai agama civil baru bagi masyarakat modern.

Agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu hal yang irrasional, intoleran, dan kaku. Agama sebagai fakta sosial yang tumbuh di masyarakat dapat mempengaruhi perkembangannya. Agama yang bersifat formalistik bertransformasi menjadi Civil Religion, yang lebih menghargai pluralitas, egaliterian, dan liberal sebagaimana paradigma civil society yang menopang proses demokratisasi dalam system politik.

Dalam kajian hubungan budaya politik dan demokrasi, diakui bahwa agama memiliki peran yang positif terhadap keduanya. Alexis Tocqueville mengungkapkan bahwa agama (sebagai nilai dan asosiasi) secara positif mempengaruhi demokrasi di Amerika Serikat. Agama berperan menciptakan kegairahan dan motivasi yang abadi karena ia merupakan sebuah sistem nilai. Interakasi agama dan politik ini yang akhirnya memunculkan kegairahan, motivasi dan kepentingan manusia.

Melihat adanya hubungan yang saling bersinergis antara nilai agama dengan proses demokratisasi, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi penggerak utama dalam proses tersebut, religious groups often support democracy (Kalyvas,1998, 2000; Linz, 1978). NU memiliki karakter khasnya sendiri. Dengan pola yang bersifat kultural membuat karakter yang lebih plural dan toleran. Hal ini menjadi modal dasar untuk membangun civil religion yang mendukung proses pendidikan politik bagi masyarakat dalam demokratisasi yang sedang berlangsung. Pendidikan demokrasi bagi masyarakat inilah yang akan menentukan, keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Namun proses demokratisasi di Indonesia bukan tanpa sebuah halangan di masa depan. Salah satunya adalah masih adanya pemahaman-pemahaman dari sebagian kelompok Islam yang memandang Islam dan demokrasi tidak sejalan. Kemudian demokrasi saat ini di Indonesia hanya ditinjau dari aspek prosedural, hal ini memiliki peluang pembusukan demokrasi dari kelompok yang memiliki pragmatisme politik untuk kepentingan kekuasaan semata dan menanggalkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pendidikan politik masyarakat dalam proses demokratisasi mengalami hambatan.

Peran strategis dalam demokratisasi adalah dengan memanfaatkan pesantren sebagai institusi pendidikan. Pendidikan demokrasi dapat berawal dari membangun kesadaran berdemokrasi itu sendiri. Pemahaman yang terbuka dan tetap menjaga tradisi kuat, pesantren menjadi institusi yang efektif secara kultural. Dengan memberikan kesadaran demokrasi yang berlandasakan etika moral agama, diharapkan institusi pesantren melahirkan santri-santri yang dapat mendorong perubahan di masyarakat. Menurut Wolin, “To become a democrat is to change one’s self, to learn how to act collectively, as a demos. It requires that the individual go “public” and thereby help to constitute a “public” and a “open” politics, in principle accessible for all to take part in it, and visible so that all might see or learn about the deliberation and decision making occuring in public agencies and institusion “(Sheldon S Wolin, 2008: 289). Santri akan menjadi agen demokrasi dalam model deliberatif dengan membawa kepentingan umat atau publik di tingkat lokal, harus berdasarkan fakta bukan berdasakan subjektivitas ideologi, berorientasi jauh ke depan bukan demi kepentingan jangka pendek yang memunculkan kompromistis atau dagang sapi, dan melibatkan pendapat semua pihak secara inklusif. Hal ini akan membawa perubahan terhadap penyelenggaraan demokrasi.

Semoga dengan muktamar NU yang Ke-32 ini, NU dapat kembali menjadi garda terdepan bagi perubahan Indonesia ke depan. Meneruskan estafet kepemimpinan gagasan Gus Dur haruslah dilakukan oleh para warga NU dengan membaca kondisi kekinian demokrasi di Indonesia. Selamat berMuktamar dan umat menunggu peranannya.

Arfianto Purbolaksono

Mahasiwa Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Menuju Konferensi cabang ke-XXXIX (bag.2)

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 02.00
Dalam membaca persoalan eksternal, terdapat permasalahan yang terjadi di dunia hingga sekitar kita. Arus globalisasi yang melanda dunia berimbas hingga pada ranah lokal. Nilai-nilai lokal yang sebenarnya dapat dijadikan modal sosial dalam era globalisasi ini, ternyata dikalahkan dengan arus budaya massa yang cenderung bersifat pragmatis, konsumtif, dan liberal. Dalam konteks kedaerahan di Banyumas misalnya, masyarakat Banyumas merasa malu menampilkan identitas ke-Banyumasan-nya sebagai "jawa yang lain". Nilai-nilai yang melekat di dalamnya baik itu sikap, norma, nilai, dan bahasa seakan memalukan jika digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut teori globalisasi yang dikemukakan oleh Arjun Appadurai, bahwa globalisasi selain menyebabkan dunia tanpa batas, tetapi di dalamnya terdapat pertentangan yang malah melahirkan lokalitas. Nasionalisme kebangsaan berubah menjadi nasionalisme yang bersifat kedaerahan. Hal ini ditunjukkan dengan penguatan basis budaya sebagai ciri khas daerahnya. Semangat dan nilai-nilai lokal harusnya dijadikan alat counter budaya global yang negatif dengan paham noeliberalisme yang melekatnya.

Rabu, 24 Maret 2010

Menuju Konferensi Cabang ke-XXXIX (bag. 1)

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 21.50
Krisis Profesionalitas
oleh: Bambang Wibiono*


Perhelatan akbar HMI MPO cabang purwokerto akan segera digelar. Tak terasa satu tahun kepengurusan HMI MPO Cabang Purwokerto hampir berakhir. Di tengah gelombang arus budaya massa yang kian menghantam kaum generasi muda yang cenderung pragmatis, dan keputusasaan, ternyata harapan akan bangkit kembalinya gerakan intelektual muda itu masih ada.

Permasalahan yang saat ini banyak dihadapi oleh kalangan mahasiswa diantaranya adalah persoalan profesionalitas keilmuan dan organisasi. Contoh yang paling mudah untuk memahami kasus ini adalah hampir sebagian besar jebolan "istana" bernama perguruan tinggi merasa gamang menghadapi realitas kehidupan di tengah masyarakat. Dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki belum mampu membuat mereka tak gentar menghadapi persaingan riil di belantara kehidupan luar kampus. Sehingga tak heran ketika lulus dari kuliah, kita merasa gamang dan bingung hendak melangkah ke mana. Akhirnya kebanyakan dari kita yang dahulu sangat idealis, ikut terseret arus pragmatisme negatif. Implikasinya, ilmu yang selama lima tahun atau lebih seakan tak beguna untuk menunjang kehidupannya di kemudian hari.

Basis ideologi yang pernah digeluti dalam organisasi mahasiswa turut memudar. Slogan perlawanan terhadap status quo, pembelaan terhadap kaum lemah, penegakan keadilan, kesejahteraan, dan sebagainya luntur diguyur persoalan kehidupan.

Selama ini, pendidikan di perguruan tinggi belum mampu mencetak kader-kader bangsa yang mumpuni di bidang keilmuannya yang dapat menunjang kehidupannya kelak. Ditambah lagi sistem pendidikan di perguruan tinggi saat ini cenderung tidak memanusiakan manusia. Saat ini perguruan tinggi seolah hanya mampu mencetak manusia-manusia dalam segi kuantitas. Dalam proses pendidikannya, mahasiswa disibukkan dengan rutinitas kuliah dan tugas-tugas tanpa ada waktu untuk mengaktualisasikan potensi dirinya di luar kampus. Mahasiswa cenderung enggan mengikuti organisasi, karena dituntut untuk mampu lulus dengan cepat. Sayangnya banyak pula kasus yang terjadi, bahwa mahasiswa yang lulus dengan predikat cumlaude tidak mampu eksis dan bersaing di dunia kerja. Sehingga terlihat tidak adanya korelasi yang signifikan antara nilai (IPK) terhadap kualitas keilmuan. Kondisi ini diperparah dengan skill yang minim dari mahasiswa itu.

Dalam organisasi, persoalan profesionalitas ini pun terjadi. Ketika seseorang memegang amanah dalam sebuah organisasi, mereka belum mampu bertindak profesional. Kebanyakan mereka belum mengerti tentang perannya dalam sebuah organisasi. Indikasi dari ini adalah persoalan meanajerial organisasi yang masih kacau.

Melihat kondisi seperti ini, artinya telah terjadi krisis profesionalistas keilmuan maupun organisasi. Inilah hasil pembacaan kawan-kawan kader HMI MPO dalam perumusan tema Konferensi Cabang yang nantinya dijadikan landasar kerja kepengurusan selanjutnya......

(bersambung..)

* Penulis adalah Kader HMI MPO Cab. PWT, Ketua Komisariat FISIP UNSOED
HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU