Rabu, 31 Maret 2010

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 02.24

NU Dan Pendidikan Demokrasi Di Indonesia

Oleh: Arfianto Purbolaksono


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Organisasi Islam terbesar di Indonesia melangsungkan perhelatan Muktamar-nya yang Ke-32 pada tanggal 23- 28 Maret 2010 di Makassar. Sebagai organisasi yang telah banyak memberikan peranannya dalam konteks kebangsaan, NU bersiap menghadapi muktamar pasca kehilangan tokoh besarnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Almarhum Gus Dur yang telah memberikan warna zaman tersendiri bagi NU, merupakan tokoh yang berpengaruh bukan hanya bagi warga NU namun juga bangsa Indonesia. Gus Dur telah banyak memberikan pelajaran berharga tentang humanisme dan demokrasi di Indonesia. Perkembangan demokrasi di Indonesia selama satu dasawarsa ini tidak lepas dari andil pemikiran Gus Dur yang lahir dari rahim tradisi NU


NU lahir dengan tradisi pemahaman Ahlussunah Wal Jamaah yang memiliki pandangan adanya sintesa antara rasional dengan tekstualitas, dan senantiasa menjunjung tinggi petunjuk Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai rujukan utama umat Islam. Maka dapat dikatakan bahwa dasar tradisi NU merupakan keterbukaan pemahamannya. Sedangkan demokrasi merupakan sebuah sistem yang tidak berhenti dalam satu titik idealitas bentuknya. Maka demokrasi akan selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, salah satunya adalah nilai-nilai Islam.

Sebagai Negara yang mayoritas beragama Islam, agama menjadi salah satu modal sosial bagi perkembangan dalam masyarakatnya. Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, mengatakan; agama secara langsung telah berevolusi dari agama kesukuan menjadi agama civil. Dalam hal ini Durkheim berpendapat bahwa semua masyarakat memerlukan suatu gabungan yang terdiri dari system ajaran dan symbol, norma-norma dan nilai-nilai, sebagai identitas nasional yang berperan sebagai agama civil baru bagi masyarakat modern.

Agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu hal yang irrasional, intoleran, dan kaku. Agama sebagai fakta sosial yang tumbuh di masyarakat dapat mempengaruhi perkembangannya. Agama yang bersifat formalistik bertransformasi menjadi Civil Religion, yang lebih menghargai pluralitas, egaliterian, dan liberal sebagaimana paradigma civil society yang menopang proses demokratisasi dalam system politik.

Dalam kajian hubungan budaya politik dan demokrasi, diakui bahwa agama memiliki peran yang positif terhadap keduanya. Alexis Tocqueville mengungkapkan bahwa agama (sebagai nilai dan asosiasi) secara positif mempengaruhi demokrasi di Amerika Serikat. Agama berperan menciptakan kegairahan dan motivasi yang abadi karena ia merupakan sebuah sistem nilai. Interakasi agama dan politik ini yang akhirnya memunculkan kegairahan, motivasi dan kepentingan manusia.

Melihat adanya hubungan yang saling bersinergis antara nilai agama dengan proses demokratisasi, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi penggerak utama dalam proses tersebut, religious groups often support democracy (Kalyvas,1998, 2000; Linz, 1978). NU memiliki karakter khasnya sendiri. Dengan pola yang bersifat kultural membuat karakter yang lebih plural dan toleran. Hal ini menjadi modal dasar untuk membangun civil religion yang mendukung proses pendidikan politik bagi masyarakat dalam demokratisasi yang sedang berlangsung. Pendidikan demokrasi bagi masyarakat inilah yang akan menentukan, keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Namun proses demokratisasi di Indonesia bukan tanpa sebuah halangan di masa depan. Salah satunya adalah masih adanya pemahaman-pemahaman dari sebagian kelompok Islam yang memandang Islam dan demokrasi tidak sejalan. Kemudian demokrasi saat ini di Indonesia hanya ditinjau dari aspek prosedural, hal ini memiliki peluang pembusukan demokrasi dari kelompok yang memiliki pragmatisme politik untuk kepentingan kekuasaan semata dan menanggalkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pendidikan politik masyarakat dalam proses demokratisasi mengalami hambatan.

Peran strategis dalam demokratisasi adalah dengan memanfaatkan pesantren sebagai institusi pendidikan. Pendidikan demokrasi dapat berawal dari membangun kesadaran berdemokrasi itu sendiri. Pemahaman yang terbuka dan tetap menjaga tradisi kuat, pesantren menjadi institusi yang efektif secara kultural. Dengan memberikan kesadaran demokrasi yang berlandasakan etika moral agama, diharapkan institusi pesantren melahirkan santri-santri yang dapat mendorong perubahan di masyarakat. Menurut Wolin, “To become a democrat is to change one’s self, to learn how to act collectively, as a demos. It requires that the individual go “public” and thereby help to constitute a “public” and a “open” politics, in principle accessible for all to take part in it, and visible so that all might see or learn about the deliberation and decision making occuring in public agencies and institusion “(Sheldon S Wolin, 2008: 289). Santri akan menjadi agen demokrasi dalam model deliberatif dengan membawa kepentingan umat atau publik di tingkat lokal, harus berdasarkan fakta bukan berdasakan subjektivitas ideologi, berorientasi jauh ke depan bukan demi kepentingan jangka pendek yang memunculkan kompromistis atau dagang sapi, dan melibatkan pendapat semua pihak secara inklusif. Hal ini akan membawa perubahan terhadap penyelenggaraan demokrasi.

Semoga dengan muktamar NU yang Ke-32 ini, NU dapat kembali menjadi garda terdepan bagi perubahan Indonesia ke depan. Meneruskan estafet kepemimpinan gagasan Gus Dur haruslah dilakukan oleh para warga NU dengan membaca kondisi kekinian demokrasi di Indonesia. Selamat berMuktamar dan umat menunggu peranannya.

Arfianto Purbolaksono

Mahasiwa Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

No Response to " "

HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU