Rabu, 31 Maret 2010

Optimalisasi Kompetensi Kader Berbasis Identitas Lokal Sebagai Filterisasi Paham Neoliberalisme Menuju Masyarakat Berkeadilan*

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 02.51
Dunia dihadapkan pada gempuran arus globalisasi yang berimplikasi pada liberalisasi dan perdagangan bebas. Globalisasi dianggap sebuah keniscayaan dalam jaman modern ini. Yang perlu dicatat adalah bahwa setiap Negara belum tentu memiliki kesiapan dalam menghadapi ini. Dengan globalisasi, arus budaya, dan ekonomi menjadi sulit untuk dibatasi. Akibatnya Negara yang belum siap menghadapai arus globalisasi ini akan semakin terseret dan tertinggal. Bahakan ada yang menganggap bahwa globalisasi ini adalah salah satu model penjajahan gaya baru melalui paham neoliberalismenya.

Globalisasi dan perdagangan bebas dibangun atas dasar asumsi pertama, bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistem proteksionis. Kedua, model perdagangan bebas akan menguntungkan dan mendidik setiap negara merancang program pembangunan secara efektif dan efisien. Menurut Mansour Fakih, terdapat beragam struktur dan elemen yang membentuk anatomi globalisasi. Yaitu globalisasi sistem dan proses produksi. Sistem fabrikasi dunia pada dasarnya merupakan usaha penciptaan herarki jaringan produksi dan perdagangan skala global dari perusahaan transnasional.

Dengan globalisasi pula, arus informasi dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dan ini berarti memudahkan penyebaran budaya. Selama ini budaya yang berkiblat pada dunia barat sengaja dihembuskan pada Negara-negara lain untuk memudahkan liberalisasi di bidang ekonomi. Masyarakat digiring pada sebuah budaya konsumerisme karena ini akan dapat menjadi penopang pemasaran barang produksi dan jasa yang ditawarkan Negara-negara kapitalis.

Paham liberalisme ini tidak berdiri sendiri, namun ditopang oleh payung ilmiah untuk mengawalnya sebagai alat pembenar. Berbagai ilmu pengetahuan diciptakan sebagai alat pembenar bagi perkembangan budaya, paham dan ajaran yang sengaja ditularkan Negara-negara kapitalis dengan maksud proyek imperialisme baru. Sebut saja paham developmentalisme yang sempat dijadikan agenda besar Indonesia pada masa orde baru. Berdasarkan pengakuan Jhon Perkins, seorang konsultan prusahaan multinasional Amerika, bahwa sebenarnya developmentalisme di Indonesia adalah jalan untuk melakukan penjajahan ekonomi. Amerika, melalui perusahaan konsultannya menawarkan konsep pembangunan dan industrialisasi agar Indonesia dapat menjadi Negara maju seperti Negara-negara barat lainnya. Ini dilakukan dengan rekayasa statistik untuk melegitimasi perlunya Indonesia berhutang pada lembaga donor. Dampaknya adalah adanya sebuah dependensi Negara berkembang (Indonesia) pada lembaga donor yang didalangi oleh Negara kaya seperti Amerika. Dengan demikian AS dapat dengan mudah mengntrol setiap kebijakan di negara ‘jajahan’nya, termasuk kebijakan sosial, politik, budaya, dan ekonomi.

“Islam” Vs “Barat” dan Kemunduran Islam

Di dunia saat ini tengah terjadi pertentangan antara “Barat” versus Islam. Setelah perang dingin usai dengan ditandai hancurnya Uni Sovyet, maka tak ada lagi kekuatan penyeimbang di dunia ini. Yang ada adalah sebuah kekuatan tunggal yang dominan dan menghegemoni. Pertarungan ini sebenarnya telah terjadi sejak dahulu. Namun pertarungan yang terjadi cenderung dilandasi motif ekonomi yaitu penyerangan pada negara-negara berbais Islam yang memiliki kekayaan sumberdaya minyak. Ini terlihat dari kebijakan internasional yang cenderung tidak adil terhadap negara-negara Islam. Misalnya saja dalam kasus nuklir yang dilakukan oleh Iran yang ditentang oleh Amerika dan sekutunya. Dengan alasan perdamaian dunia pula, Amerika dan sekutunya menginfasi Irak dan memberikan sanksi terhadap Iran yang melakukan pengayaan uranium untuk industri. Padahal, pihak yang melakukan serangan itu pun memiliki senjata nuklir yang jelas-jelas mengancam dan membahayakan umat manusia.

Jika ditelisik secara basis ideologinya, barat dan Islam memang bertentangan. Kapitalisme yang menjadi basis ideologi negara barat, tidak berasal dari dunia Islam karena muncul setelah ditemukannya mesin secara kebetulan di Eropa. Kapitalisme diimpor ke dunia Islam pada waktu Eropa berkuasa. Bersama gelombang perkembangan, kapitalisme tersebar ke dunia Islam yang mengalami kemiskinan, ketertinggalan, dan terabaikan. Akibatnya, banyak yang perpikir bahwa Islam menerima paham kapitalisme dan liberalisme.

Pertarungan ideologi ini mengakibatkan kemunduran dalam Islam itu sendiri. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya konflik internal Islam. Kemunduran dalam Islam, penyebabnya adalah kebodohan umat, krisis kepemimpinan dalam Islam, masuknya paham kapitalisme yang berbungkus agama, dan kurangnya pemahaman umat dalam esensi ber-Islam.

Karena kurangnya pemahaman umat Islam terhadap ajarannya, akibatnya dapat dengan mudah pengaruh asing memecah belah keyakinan kita. Arus budaya liberal dapat dengan mudah diamini oleh umat Islam tanpa ada filter. Sehingga kita sulit membedakan mana nilai Islam dan mana yang bukan. Contoh saat ini yang banyak terjadi adalah kapitalisme yang berbalut dakwah. Dakwah dijadikan ladang komersil. Ayat-ayat Al-Qur’an dijual demi kepentingan ekonomi semata. Tak heran jika produsen teknologi modern menggunakan peluang ini. Dengan embel-embel “Islami”, mereka menjual produk ke pasaran.

Permasalahan dalam Konteks Lokal

Dalam konteks lokal, persoalan ketidakadilan ternyata masih saja menghantui setiap sendi kehidupan. Terlebih lagi pada sebuah bangsa dan Negara yang masih ketergantungan dengan Negara lain. Permasalahan ketidakadilan cenderung lebih dirasakan bagi Negara yang mayoritas penduduknya miskin dan bodoh seperti Indonesia. Isu-isu sentral yang menjadi persoalan ini biasanya mengenai hak-hak dasar seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, berorganisasi dan berpolitik.

Indonesia sebagai negera berkembang yang sebagian penduduknya miskin, tidak luput dari masalah keadilan ini. Sebagai Negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi, namun praktek di dalamnya masih menyisakan ketidakadilan dalam berbagai hal. Permasalahan pemerataan pembangunan menjadi salah satu contoh. Pembangunan yang dilakukan hanya terfokus pada kota-kota besar dan di pulau jawa.

Lahirnya otonomi daerah menjadi solusi untuk mengatasi hal ini. Daerah di berikan wewenang untuk mengatur pembangunan yang lebih diperlukan bagi daerahnya. Namun sayangnya, semangat otonomi daerah itu belum mampu menjawab persoalan pemerataan pembangunan. Sebagai contoh, pembangunan yang dilakukan di wilayah Banyumas yang cenderung tersentral di Purwokerto sebagai ibu kota kabupaten. Banyak daerah-daerah pelosok di Banyumas ini yang tidak diperhatikan.

Persoalan kesejahteraan masih menjadi isu besar di Negara ini, terlebih lagi wilayah Banyumas yang sebagian besar merupakan daerah pedesaan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah cenderung tidak pro rakyat dan tidak solutif. Artinya kebijakan yang dikeluarkan tidak memperhatikan aspek kebutuhan masyarakat Banyumas. Salah satu penyebabnya adalah adanya gejala pragmatisme dan degradasi moral pada elit lokal. Mereka lebih mementingkan kepentingan sesaat atau jangka pendek. Demokrasi yang dijalankan pun hanya sebatas prosedural seperti pemilu, pemilihan kepala daerah dan legislatif secara langsung. Masayarakat dibuat tak berdaya dengan kondisinya, sehingga mengakibatkan penurunan kesadaran kritis dan sikap apolitis.

Karena sikap pragmatisme elit, dan lemahnya sikap kritis masyarakat, ini mengakibatkan tidak adanya control terhadap kinerja pemerintah baik di tingkat pusat atau daerah. Akibatnya tidak adanya pemerataan kesejahteraan. Yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin tetap miskin dan semakin miskin. Berapa banyak masyarakat yang hidup dalam kekurangan? Berapa banyak anak yang putus sekolah? Berapa banyak pangangguran? Berapa banyak yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak? Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak terpelihara? Berapa banyak sarana dan prasarana yang tidak layak? Semua itu adalah sebagian kecil dari persoalan yang dihadapi di Indonesia dan khususnya di Banyumas. Ini adalah persoalan ketidakadilan!!

Budaya Global Vs Lokal

Sistem yang diterapkan di Negara kita telah memarjinalkan aspek-aspek lokalitas. Ini sebagai imbas dari arus globalisasi. Budaya-budaya lokal yang ada tergerus oleh budaya “populis” yang disebarkan melalui akses informasi. Orang Banyumas merasa malu mengakui sebagai Banyumasnya. Masyarakat Banyumas enggan menampilkan sosok Banyumas sebagai “Jawa yang lain” dengan seperangkat nilai, norma dan bahasa yang melekat di dalamnya.

Merujuk apa dikatakan Arjun Appadurai, seorang ilmuwan asal India; globalisasi, selain menciptakan sebuah masyarakat dan tatanan global tanpa ada batas-batas Negara, tetapi juga di dalamnya mengandung pertentangan yang mengakibatkan glokalisasi. Dalam ranah budaya, masyarakat cenderung memperkuat basis nilai-nilai lokalnya sebagai ciri khasnya. Selain menciptakan nasionalisme kebangsaan dan nasionalisme global, ternyata globalisasi dapat memicu terciptanya entitas-entitas lokal dan nasionalisme kedaerahan.

Seharusnya ini yang dapat dilakukan oleh masyarakat lokal. Bukannya ikut tergiring pada budaya massa yang cenderung bersifat liberal, konsumtif, pragmatis, tetapi seharusnya masyarakat daerah harus mampu mengembangkan dan memperkuat basis nilai-nilai budayanya. Nilai-nilai yang dianut pada budaya yang ada di Indonesia dapat dijadikan counter hegemoni budaya dan memfilter paham neoliberalisme yang melanda dunia.

Mahasiswa sebagai Kader Intelektual

Kondisi keterpurukan bangsa ini tidak luput dari kualitas sumberdaya manusia. Mahasiswa sebagai kalangan intelektual dan sebagai generasi penerus bangsa harus mampu mencari solusi terhadap persoalan bangsa. Sebagai kader-kader intelektual harus mampu mengisi peran-peran strategis di masa depan. Dalam kenyataannya saat ini, sistem pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi terpaksa menyeret kalangan generasi muda bersikap pragmatis dan hanya berorientasi “nilai” dan “kerja”. Institusi pendidikan berubah layaknya pabrik yang hanya menghasilkan beribu-ribu sarjana yang berorientasi pekerja tanpa jiwa entrepreneur atau kreativitas dalam mengembangkan skill atau kemampuan akademiknya.

Sistem pendidikan tinggi lebih memprioritaskan agar mahasiswa cepat lulus dengan IPK tinggi, sehingga mahasiswa tidak ada kesempatan untuk mengaktualisasikan kreativitas keilmuannya dan enggan berorganisasi. Mahasiswa saat ini tidak peka terhadap kondisi masyarakat sekitarnya. Kondisi ini membuat kampus dan realitas di masyarakat terdapat jurang pemisah yang sangat dalam.

Dengan melihat kondisi saat ini, perlu sebuah upaya mencetak kader-kader generasi muda tidak hanya melalui kampus, tetapi juga melalui organisasi sebagai wadah aktualisasi untuk menjadi generasi yang memiliki keahlian dan mumpuni dalam bidang disiplin ilmunya masing-masing. Sebab, diharapkan ketika lepas dari dunia kampus, kader-kader ini mampu berperan dalam mewujudkan tatanan masyarakat berkeadilan dan turut serta memajukan bangsa ini. Dalam konteks ber-HMI, kader-kader ini harus memiliki basis keilmuan dan keislaman serta sikap keberpihakan terhadap kaum lemah yang selama ini termarjinalkan dari realitas.


* Ini adalah TOR Konferensi HMI Cabang Purwokerto ke-XXXIX

No Response to "Optimalisasi Kompetensi Kader Berbasis Identitas Lokal Sebagai Filterisasi Paham Neoliberalisme Menuju Masyarakat Berkeadilan*"

HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU