Kamis, 10 September 2009

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.19
Sejarah Islah atau Unifikasi, Sebuah Memoir*
Oleh : Lukman Hakim Hassan**

Kamis, 01 Januari 2009 7:08 WIB
Unifikasi atau dalam bahasa sekarang lebih dikenal dengan istilah islah, selalu menjadi agenda rutin PB HMI MPO, terutama dalam rangka merespons dinamika Kongres teman-teman HMI Dipo. Biasanya pada Kongres HMI Dipo selalu saja tema unifikasi selalu muncul.

Setidaknya saya catat isu unifkasi muncul pertama pada Kongres PB HMI ketika Yahya Zaini turun dan digantikan Ferry Mursidan Baldan pada tahun 1990. PB HMI MPO yang dipimpin oleh Tamsil Linrung (sekarang menjadi anggota DPR RI dari PKS) sempat merespons positif tema itu seperti di muat di salah satu media massa, dan menjagokan MS Ka’ban (sekarang Menteri Kehutanan RI) sebagai calon alternatifnya. Pada Kongres HMI MPO di Bogor pada tahun 1990 itu, beberapa cabang melakukan klarifikasi masalah ini, namun waktu itu PB HMI membantahnya. Klimaksnya ada seorang alumni mantan Bendahara Umum PB HMI era Harry Azhar Azis yakni Hadi Kusnan yang menyatakan bertanggungjawab terhadap proses itu dan siap dijatuhi sanksi.

Sejak itu, isu unifikasi sempat memudar, kemudian muncul lagi pada masa akhir periode Ketum Agus Pri Muhammad (1993-1995). Kebetulan ketika saya menjadi Ketum HMI Cabang Yogyakarta (1992-1993), saya didatangi mantan Ketua Umum HMI Cab Yogyakarta tahun 1958 Ahmad Arief beliau mengaku mendapatkan amanah dari Beddu Amang yang juga Mantan Ketum HMI Cabang Yogyakarta tahun 1960-an untuk melakukan klarifikasi terhadap HMI MPO di Yogyakarta. Isu yang berkembang HMI MPO adalah gerakan Islam yang “radikal”, termasuk di dalamnya dalam menjalankan ibadah dan syariat. Bahka beliau menduga, HMI MPO tidak bersedia berjabat tangan. Waktu itu saya jelaskan bahwa HMI MPO hanya berusaha untuk mempertahankan hati nurani umat yang tetap memilih azas Islam dalam berorganisasi. Namun di luar azas itu, termasuk masalah ibadah dan lain-lain HMI MPO sama dengan mainstream umat Islam. Setelah pertemuan itu Ahmad Arief menyatakan akan menyampaikan masalah itu ke Beddu Amang.

Pada tahun 1994 setelah saya masuk PB HMI, Ahmad Arief mengundang PB untuk diskusi di rumah beliau. Pada diskusi itu, hadir pula AM Fatwa yang baru saja keluar dari penjara. Pada intinya pertemuan itu hanya bersilaturrahim. AM Fatwa menceritakan bahwa dulu PII pada masa akhir 1960-an juga pecah seperti itu, dialah yang mengambil inisiatif untuk menyatukan kembali PII. Beliau meminta PB HMI MPO juga dapat menjadi inspirator bagi usaha penyatuan itu.

Isu unifikasi kembali menghangat pada peride 1995-1997. Himbauan yang paling halus tentang unifikasi pernah dikemukakan oleh Anwar Haryono Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Sepengetahuan saya DDII merupakan organisasi Islam yang paling dekat dengan HMI MPO. Selain karena di dalamnya terdapat tokoh besar umat Islam Almarhum Mohammad Natsir yang menjadi inspirator teman-teman HMI MPO, juga banyak kegiatan pemuda dan pelajar Islam internasional seperti WAMY, IIFSO, Peppiat dan Riseap yang dikoordinir DDII masih melibatkan PB HMI MPO secara intens. Bagi HMI MPO kedekatan dengan DDII menjadi penting, karena DDII masih mau menerima HMI MPO apa adanya, manakala banyak tokoh-tokoh Islam menutup pintu bagi HMI MPO. Sebagai contoh saja, ketika saya masih menjadi aktifis di Yogyakarta, sangat sulit menjalin komunikasi dengan beberapa tokoh-tokoh Islam.

Setiap mengadakan LK II dan LK III, selalu kesulitan mencari penceramah. Beberapa ahli ilmu sosial politik UGM yang sebelum era HMI MPO cukup akrab seperti Amien Rais, Ichasul Amal, Yahya Muhaimin, dan Kuntowijoyo yang nota bene juga alumni, namun setelah tahun 1986, mereka sulit dihubungi. Diantara mereka ada yang tegas menolak. Ada juga yang bersedia, namun pada hari pelaksanaannya menghindar. Beberapa alumni yang masih bersedia mengisi acara HMI MPO diantaranya adalah Syafii Maarif dan Said Tuhuleley. Sementara yang bukan alumni, dan justru selalu bersedia mengisi pelatihan HMI antara lain adalah Mohtar Mas’oed, Damarjati Supadjar dan Abdul Munir Mulkhan.

Sudah menjadi agenda rutin pengurus baru PB HMI untuk bersilaturrahim dengan tokoh-tokoh Islam. Pada silaturahmi PB HMI ke DDII pada tahun 1995 itu, Anwar Haryono dengan halus bertanya kapan HMI MPO bersatu dengan HMI Dipo. Kami jawab “kapan-kapan pak”, karena bagi HMI MPO bertahan terhadap azas Islam adalah sebuah pilihan. Beliau hanya menghimbau, bahwa persatuan umat Islam adalah nomor satu. Namun beliau tidak pernah memaksa dan memutus silaturrahmi kepada HMI MPO, karena tidak mau unifikasi. Diskusi yang menarik pada waktu itu justru pertanyaan beliau tentang siapa calon Presiden dari PB HMI MPO? Karena memang di HMI belum dibahas masalah itu, saya menjawab sekenanya “banyak calon potensial sebagai Presiden masa depan” antara lain seperti BJ Habibie, Pak Anwar berkomentar” Ya itu, cocok, beliau tokoh ICMI dan rajin puasa senin kamis”. Saya timpali “Mungkin Tri Sutrisno”, sekali lagi Pak Anwar mengamini. Kemudian terakhir saya juga menyampaikan “Gus Dur”, seketika Pak Anwar memotong dengan nada tinggi “Apa Abdurrahman Wahid! Bagaimana PB HMI MPO bisa mencalonkan dia, yang merubah assalamu’laikum menjadi selamat pagi (dan beberapa kritik lain yang standar terhadap Gus Dur)” Saya menyampaikan argumen bahwa bagaimanapun Gus Dur adalah aset bangsa yang mempunyai pendukung besar di kalangan Nahdliyin.

Rupa-rupanya masalah ini dianggap serius oleh Pak Anwar. Sampai-sampai nanti ada beberapa tokoh Islam yang dekat dengan DDII melakukan cek silang ketika berceramah di HMI Cab. Yogyakarta menanyakan siapa idola HMI MPO jawaban teman-teman di saja juga “Gus Dur”. Saya sempat dikontak teman yang dekat tokoh itu dan menanyakan mengapa idola HMI MPO Gus Dur, saya bilang saya tidak pernah menginstruksikan teman-teman cabang untuk sepaham dengan pemikiran saya. Namun itulah yang terjadi bahwa Gus Dur ketika itu sempat menjadi idola teman-teman HMI MPO. Padahal saya pernah dengar, bahwa sesungguhnya Gus Dur tidak senang dengan HMI MPO, karena menentang Azas Tunggal. Mungkin karena Gus Dur adalah arsitek penerima Azas Tunggal untuk NU pada awal tahun 1980-an. Kemungkinan besar penjelasannya adalah pada awal tahun 1990-an itu, posisi Gus Dur juga tengah termajinalkan oleh Pemerintah Orde Baru terutama ketika beliau mendirikan “Forum Demokrasi (Fordem)” seperti halnya posisi HMI MPO yang juga terpinggirkan pada waktu itu. Jadi mungkin ini hanya faktor persamaan nasib saja. Namun yang menarik adalah, ternyata KH. Abdurrahman Wahid benar-benar menjadi Presiden pada tahun 1999-2001. Mungkin sesuatu yang tidak pernah diduga oleh Pak Anwar, apalagi oleh saya ketika itu. Dan yang membuat saya juga heran, ternyata selain kalangan Nahdliyin, hanya PB HMI MPO pada masa Yusuf Hidayat (1999-2002) dari kalangan organisasi Islam yang membela Gus Dur ketika beliau dijatuhkan dari kursi Presiden pada tahun 2001.

Pada tahun 1996, tarikan untuk melakukan unifikasi semakin kuat. Pertama kali beberapa alumni mengundang PB HMI di rumah makan Arab di Jalan Raden Saleh. Di sela-sela makan nasi kebuli, para alumni itu mengintroduksi kemungkinan unifikasi. Pertemuan ini merupakan pemanasan bagi pertemuan berikutnya bersama dengan alumni yang lebih senior. Pertemuan kedua, dimotori oleh Beddu Amang yang juga dihadiri oleh “Jenderal HMI” Achmad Tirtisudiro yang berlangsung di Restoran Korea Arirang di Blok M. Pada pertemuan ini untuk pertama kalinya saya berjumpa tokoh HMI MPO yang cukup “legendaris” yakni MS Ka’ban. Ketika saya ikut LK I nama ini sering disebut-sebut, karena posisinya pada awal berdirinya MPO sebagai Ketua Umum HMI Cabang Jakarta, sementara Eggy Sujana (Ketua Umum HMI MPO pertama) hanyalah Kabid Aparat-nya. Nama Ka’ban saya dengar lagi waktu saya hadir Kongres HMI MPO di Bogor, katanya Ka’ban dicalonkan oleh kubu MPO untuk menjadi Ketua Umum PB Dipo. Kata pendukungnya kalau Ka’ban menjadi ketua, maka urusan MPO dan Dipo akan beres. Namun sejauh itu saya baru mendengar namanya, belum pernah bertemu dengan orangnya. Baru di restoran Arirang itu, saya bertemu muka dengannya. Selain itu, alumni yang hadir antara lain adalah Tamsil Linrung dan Lukman Hakiem (sekarang menjadi anggota DPR RI dari PPP) yang waktu itu menjadi redaktur Media Dakwah majalah DDII.
Pertemuan di Arirang ini pada awalnya adalah klarifikasi para alumni HMI MPO seperti Ka’ban dan Lukman Hakiem tentang berdirinya HMI MPO. MS Ka’ban menuduh bahwa alumni-alumni waktu itu, sempat membunuh karakter mereka. Sementara Lukman Hakiem menjelaskan bahwa dia tidak terlibat dalam pendirian HMI MPO. Diskusi itu berlanjut yang intinya Beddu Amang dan Achmad Tirtosudiro meminta agar HMI MPO mau melakukan unifikasi dengan HMI Dipo. Ketika kami menjelaskan mengapa kami memilih jalan seperti ini, sebagai bentuk perlawanan terhadap kediktatoran rezim Orde Baru, beliau para alumni HMI senior tidak mau mendiskusikannya. Bahkan “Jenderal HMI” Achmad Tirtosudiro langsung memberikan instruksi “Saya minta HMI sudah unifikasi pada tanggal 10 Nopember 2006″. Saya tanya “mengapa tanggal itu?”, jawabannya ” Ya, itu hari pahlawan! momentum yang paling tepat untuk bersatunya HMI”. Akhirnya saya memberikan argumentasi “Begini pak, unifikasi bukan masalah sederhana, andaikan PB HMI menerima unifikasi pun, nanti justru akan muncul HMI MPO 1; HMI MPO 2; HMI MPO 3, itu jauh lebih rumit, bagi kami yang penting justru melakukan dialog terlebih dulu.” Rupa-rupanya “dialog” menjadi kata kunci pertemuan itu. Maka agenda berikutnya adalah mempertemukan PB HMI Dipo dan PB HMI MPO disepakati di rumah Beddu Amang.

Pertemuan di rumah Beddu Amang dihadiri oleh para alumni yang datang di Arirang diantaranya seperti Achmad Tirosudira, MS Ka’ban, Tamsil Linrung dan Lukman Hakiem. Sementara Ketua umum PB HMI Dipo berhalangan hadir dan diwakili Ketua PT/Kemas Umar Husein (kalau tidak salah sekarang menjadi pengacaranya Ahmad Dani Dewa 19) dan Wakil Sekjen Sa’an Mustofa serta beberapa staf. Lagi-lagi dalam pertemuan itu juga tidak ada kesepakatan tentang unifikasi. Perwakilan PB HMI Dipo ketika itu menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengakui HMI MPO, karena HMI MPO berdiri di luar kongres. Sementara, PB HMI MPO menyatakan “dialog yes, unifikasi no”. Beberapa usulan yang berkembang dalam pertamuan itu cukup menarik untuk diungkapan di sini diantaranya adalah unifikasi justru harus dimulai dari bawah yakni komisariat dan cabang. Akan sulit unifikasi kalau tingkat komisariat dan cabang tidak pernah ada dialog dan kerjasama kegiatan. Yang terjadi justri pada tingkat komisariat dan cabang terjadi benturan yang keras. Oleh sebab itu, ada usulan sebaiknya HMI MPO dan HMI Dipo pada tiap tingkat perlu ada kerjasama kegiatan dulu, baru membahas unifikasi. Lagi-lagi “dialog” menjadi kesimpulan pertemuan itu. Bedu Amang berjanji akan mengkoordinir upaya dialog antara MPO dan Dipo pada pertemuan-pertemuan berikutnya. Namun rupanya pertemuan berikutnya tidak pernah ada.

Masih pada tahun 1996 itu, terjadi lagi pertemuan tentang unifikasi, kali ini dimotori oleh Ismail Hasan Metareum kala itu sebagai Ketua Umum PPP. Pertemuan itu diadakan di rumah dinas beliau di Kompleks Kartika Candra. Beberapa alumni yang hadir pada pertemuan itu adalah AM Saefuddin, Yusuf Syakir, dan Lukman Hakiem. Sebelum acara dimulai kebetulan saya duduk disamping Metareum dan Yusuf Syakir, tanpa sengaja saya mendengar beliau mengatakan “Pak Yusuf, ini terpaksa kita undang Pak AM, karena ini adalah urusan HMI”. Memang dalam Muktamar yang baru saja digelar, sempat ada persaingan antara Ismail Hasan Metareum dengan AM Saefuddin. Yang akhirnya dimenangkan oleh Metareum. Forum dibuka oleh Metareum, dan kesempatan pertama diberikan oleh AM Syaefuddin untuk memberikan komentar tentang HMI MPO.

Rupa-rupanya AM Saefuddin langsung menyerang HMI MPO dan meminta untuk bubar atau bergabung dengan HMI Dipo. Teman-teman PB mencoba berargumen yang pertama, sdr Syafrinal (Kabid Aparat dari Cabang Krabes) menyatakan “Kalau pak AM benci dengan MPO, mengapa dulu membantu meminjamkan pesantren pertanian di Bogor untuk Kongres HMI MPO pada tahun 1990″. Jawaban Pak AM ” Maling saja kalau minta tolong akan saya bantu, apa lagi anda bukan maling!. Kemudian, sdr. Edi Darmoyo (Ketua Lapmi dari Cabang Semarang) menyatakan bahwa azas Islam adalah hati nurani umat, sementara PPP sebagai partai Islam mengapa justru mengabaikan ini, seharusnya PPP memahami hati nurani umat. Rupa-rupanya AM Saefuddin agak emosi dan keluar dari forum.

Berikutnya adalah pendapat dari teman-teman aktivis muda PPP yang juga alumni HMI yang menyerang HMI MPO habis-habisan. Mereka menyatakan supaya HMI MPO bubar saja, atau menanggalkan nama “HMI” atau kalau perlu HMI MPO melebur saja ke Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Dalam situasi seperti ini, justru yang membela HMI MPO adalah Yusuf Syakir. Beliau menyatakan usulan yang menyatakan bahwa HMI MPO harus bubar atau menanggalkan nama HMI itu tidak rasional. Karena kader HMI MPO kan selalu pakai simbol, hymne, bendera HMI. Yusuf Syakir mencontohkan bahwa hal serupa pernah terjadi kepada Kahmi, yakni arogansi PB HMI pada era tahun 1960-an, yang melarang Kahmi memakai simbol HMI. Terakhir Ismail Hasan Metareum memberikan komentar, namun sebelum beliau bicara, beliau meminta AM Syaefuddin masuk forum lagi. Setelah Pak AM masuk, Buya Ismail menyampaikan “Setelah saya mendengar diskusi tadi, menurut saya HMI MPO itu tidak apa-apa, yang penting jangan ditunggangi oleh pihak ketiga saja”. Pendapat Buya itu tentu saja di luar dugaan bagi kubu AM Syaefuddin, dan merupakan hawa segar bagi PB HMI MPO. Bacaan politik saya, dengan sangat halus Buya Metareum tengah “mengerjain” AM Syaefuddin dalam forum itu.

Dari serangkaian peristiwa di atas, saya merenungkan mengapa pada tahun 1996 itu para alumni getol mengkampanyekan unifikasi itu. Siapa key person yang bisa menjelaskan masalah ini. Akhirnya ketemu satu nama yang paling saya anggap tahu, karena selalu ada pada setiap forum-forum itu yakni Lukman Hakiem. Jawabannya sungguh mencengangkan. Bahwa para alumni itu sesungguhnya tersindir pernyataan Presiden Soeharto mengapa masih ada dalam tubuh Keluarga Besar HMI yang menolak Azas Tunggal yakni HMI MPO. Maka tidak aneh, kalau para alumni itu getol memprakarsai topik unifikasi itu.

Hingga akhir periode saya menjadi Ketua Umum isu unifikasi meredup. Namun pada awal periode Imron Fadhil Syam menjadi Ketua Umum bersamaan dengan Kongres PB HMI Dipo di Yogyakarta tahun 1997 isu unifikasi mencuat lagi. Bahkan beberapa alumni melakuan gerilya untuk melobi PB dan beberapa cabang untuk melakukan unifikasi. Namun lagi-lagi usaha ini tidak berhasil.

Demikianlah sekelumit sejarah tentang upaya unifikasi pada masa saya. Bagi saya topik unifikasi atau islah salah satu bagian yang selalu melekat dari keberadaan HMI MPO sampai kapan pun. Baik pada masa ini maupun masa yang datang. Topik itu akan semakin hangat mana kala HMI Dipo melakukan Kongres. Jadi saya berharap jajaran komisariat, cabang, badko melihat topik unifikasi atau islah sebagai sesuatu yang biasa dan tidak istimewa. Sementara yang penting bagi PB adalah tetap memberikan penjelasan yang terus menerus kepada jajaran di bawahnya secara sabar dan arif, agar tidak terjadi kesalahpahaman internal. Semoga tulisan ini bermanfaat. Amien.

* artikel ini diambil dari http://hminews.com/fokus/sejarah-islah-atau-unifikasi-sebuah-memoir/
** penulis adalah Ketua Umum PB HMI 1995-1997

Anatomi Kasus Bank Century

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.05
Oleh: Djony Edward

Senin, 31 Agustus 2009 10:59 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan uring-uringan dengan Menteri Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI), meski di bulan Ramadhan. Apa pasal? Tak lain tak bukan menyangkut bail out Bank Century sebesar Rp6,76 triliun dari yang direstui DPR sebesar Rp1,09 triliun.


Bisa difahami mengapa DPR marah, karena memang apa yang direstui dan realisasinya jauh panggang dari api. Apalagi LPS sebagai eksekutor pengucuran dana talangan tak memberi tahu kalau kebutuhan dana melonjak hingga sebesar Rp5,67 triliun. Apalagi saat LPS minta restu DPR untuk mengucurkan dana ke Bank Century sebesar Rp1,3 triliun pada Februari 2009, sesungguhnya akhir Desember 2008 sudah mengalir sebesar Rp5,67 triliun. Sehingga DPR merasa dibohongi oleh LPS, BI maupun Depkeu.

Tapi sebenarnya langkah LPS yang diorder BI dan Depkeu juga masuk akal, karena adanya kebutuhan pencairan dana deposan besar hingga mencapai Rp5,67 triliun.
Seperti diketahui, pada November dan Desember 2008 tiga deposan besar: Keluarga Sampoerna, PT Jamsostek dan PT Timah menarik depositonya di Bank Century sebesar Rp5,67 triliun. Jadi memang ada dasar hukum dan dasar emosional yang melatarbelakanginya.

Inilah pangkal persoalan yang memicu kemarahan serta kecurigaan DPR sehingga langsung memerintahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi atas rekapitalisasi bank hasil merger dari Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac itu.

Kalah Kliring
Kasus Bank Century sebenarnya berawal dari penyakit bawaan bank yang namanya “kalah kliring”. Kontan saja para petinggi negeri ini bereaksi, namun pola komunikasi dan upaya klarifikasi yang dilakukan tidak simetris, ditambah lagi ada pihak yang memancing di air keruh, sehingga justru kontra produktif terhadap upaya menenangkan nasabah.

“Kalah kliring”, sebuah istilah yang membingungkan nasabah. Lantaran itu BI sebagai otoritas moneter melakukan “stop kliring” atas bank yang lebih pantas disebut money changer tersebut.
Padahal yang esensial dari pola komunikasi mengenai apa yang terjadi pada Bank Century adalah magnitude kalah kliring dan berapa lama stop kliring itu dilakukan. Tapi karena penjelasannya ngalor-ngidul nggak karuan dan tidak membatasi pada apa yang sesungguhnya terjadi pada Bank Century, yang ditangkap publik justru lebih besar dari persoalan yang sesungguhnya.

Celakanya, ada yang memancing di air keruh, menebar rumor, dan mengambil untung di tengah kekacauan. Ujung-ujungnya, BI malah mengancam akan menangkap si pembuat rumor. Pertanyaannya, apakah pejabat BI tidak pantas ditangkap jika dikemudian hari ada bank yang harus tumbang tergerus krisis keuangan global ini? Mestinya ini suatu level playing field yang sama, kalau penyebar rumor saja disa ditangkap karena ulahnya menggelisahkan publik, maka pejabat BI juga bisa ditangkap karena gagal menyelamatkan perbankan.
Tapi sudahlah, daripada ancam mengancam, adalah lebih bijak fokus pada pola komunikasi yang produktif, mudah dimengerti, dan yang terpenting sesuai dengan kadar persoalan yang ada.

Gara-gara 5 Miliar
Apa yang terjadi pada Bank Century, paling tidak menurut pengakuan manajemennya, hanya semacam keterlambatan mengalokasikan dana untuk prefund sebesar Rp5 miliar yang memang harus tepat waktu. Hermanus H. Muslim, dirut Bank Century, mengatakan pihak manajemen baru sempat menyetor 15 menit lebih lambat dari waktu yang seharusnya dilakukan pada pukul 08:00 WIB. Jadi penyebabnya bersifat teknikal sekali.

Oleh karena sistem kliring di BI begitu ketat, sehingga kendati telat satu menit saja, maka bank yang telat menyetor dana prefund tidak boleh mengikuti transaksi antarbank pada hari itu. Hanya saja bank itu masih boleh melakukan transaksi lewat Real Time Gross Settlement (RTGS).

Karena dana prefund telah disetorkan, maka pada hari berikutnya (Jumat, 14 November 2008), Bank Century sudah kembali mengikuti transaksi kliring secara normal.
Tapi karena pada hari dimana Bank Century mengalami stop kliring, membuat penarikan dana nasabah terganggu. Puluhan, bahkan ratusan nasabah antre untuk dapat menarik dananya di bank itu. Suasana ini seperti mengingatkan publik pada peristiwa rush yang terjadi di PT Bank Central Asia Tbk pada pada 1997, walaupun strukturnya jauh berbeda.

Oleh karena ini masalah teknis yang biasa sehingga tidak menimbulkan gejolak di pasar uang. Tingkat bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) satu hari hanya naik tipis dari 9,686% menjadi 9,766%. Sehari sebelumnya BI memproyeksikan kebutuhan likuiditas pada hari itu sebesar Rp70,3 triliun, sementara ketersediaan likuiditas di pasar mencapai Rp71,6 triliun. Jadi memang likuiditas perbankan saat itu sebenarnya dalam batas aman.

Tetap heboh
Tapi mengapa menjadi heboh? Jawabnya sudah bisa ditebak. Arus informasi yang berseliweran dengan nada dan irama yang tidak meneduhkan, malah membingungkan, membuat nasabah resah.

Pada saat yang sama, krisis global yang melanda sektor keuangan dunia, dampaknya sulit dihindarkan lembaga keuangan nasional. Cerita stop kliring Bank Century diasosiasikan nasabah sebagai multiplier effect dari krisis keuangan global.

Sementara trauma rush yang melanda BCA pada 1997 hingga kini belum hilang benar. Pada saat yang sama media yang mengkafer isu tersebut sering mengandalkan rumor, informasi lapis kedua, ketiga dan seterusnya, ketimbang mengandalkan informasi A-1. Sehingga yang ada di-back mind publik adalah perbankan pernah kolaps karena rush, dan itu sewaktu-waktu dapat muncul kembali.

Sedangkan Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan penghentian sementara perdagangan saham Bank Century akibat gagal kliring tersebut. Sehingga yang tergambar dibenak publik, akan ada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) jilid II. Bank-bank yang kolaps akan diberikan fasilitas saldo debet, fasilitas diskonto (Fasdis) I dan II, fasilitas surat berharga pasar uang khusus (FSBPUK), new fasdis, fasilitas saldo debet, hingga dana talangan valas dan dana talangan rupiah.

Itulah kekhawatiran publik. Tapi kekhawatiran itu tanpa bimbingan sehingga semakin besar, padahal sejak 2008 tidak ada program penjaminan 100%, yang ada adalah program penjaminan maksimum Rp100 juta per rekening nasabah. Itupun melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang esensinya sebenarnya uang bank itu sendiri yang dijaminkan melalui surat berharga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimiliki bank bersangkutan di BI. Pendek kata, BLBI dengan kondisi seperti sekarang ini tidak dimungkinkan lagi, tapi penjelasan itu tidak memadai bahkan tidak ada. Wajar jika kemudian nasabah berbondong-bondong ke Bank Century.

Untung saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara dengan mengatakan perbankan nasonal aman. Gubernur BI Boediono (akhir 2008) menyampaikan bahwa rumor yang beredar di perbankan membingungkan. Menneg BUMN/Plt Menkeu Sofyan Djalil menegaskan likuiditas perbankan aman. Demikian pula Deputi Gubernur Senior BI (saat itu) Miranda Swaray Goeltom menjamin bahwa likuiditas perbankan dalam tahap yang normal.

Pihak Bank Century sendiri mempersiapkan dana cadangan untuk meningkatnya penarikan dana nasabah. Sambil menjelaskan secara teknis apa yang sesungguhnya terjadi.
BI secara proaktif mengajak wartawan melihat dari dekat bagaimana proses kliring di bank sentral. Sehingga wartawan ketika menulis informasi seputar kliring mendapat gambaran yang jelas baik mengenai kliring, proses kliring dan bagaimana settlement kliring dilakukan.
Walaupun sempat membuat resah gelisah, klarifikasi-klarifikasi yang disampaikan akhirnya dapat meneduhkan suasana kembali.

Tindak
Lepas dari kekakahan kliring yang diderita Bank Century, sebenarnya pemilik bank itu juga melakukan tindak kriminial, sebagaimana bankir-bankir dimasa lalu. Lewat PT Antaboga Delta Sekuritas, Robert Tantular selaku pemegang saham kendali bank itu menggangsir dana nasabah hingga Rp2,6 triliun.

Ini mirip dengan kasus-kasus kejahatan perbankan sebelumnya, dimana teori kejahatan mengatakan 90% kejahatan perbankan dilakukan oleh orang dalam.
Gejala ini tidak seharusnya terjadi jika tim pengawas Bank Indonesia dan Bapepam mengendus sejak awal soal transaksi pat gulipat tersebut. Apalagi Bank Century adalah bank hasil merger dari Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac yang track record-nya ada pada BI.

Tapi itulah nasib perbankan nasional selalu memberi ruang yang longgar bagi pelaku tindak kejahatan perbankan tersebut. Seolah-olah BI dan Bapepam tutup mata, sehingga muncullah kasus yang memalukan industri perbankan itu untuk yang kesekian kalinya.
Karena itu perlu disidik siapa pejabat BI yang mengawasi langsung Bank Century, siapa pihak imigrasi yang meloloskan atau membantu meloloskan Robert Tantular ke luar negeri.

Problem Sistematik?
Ada informasi yang asimetris dalam penyelamatan Bank Century ini. Pada masa-masa awal krisis ditahun 2008, pejabat BI selalu meneduhkan nasabah dengan mengatakan kasus bank itu bukanlah tipe kasus sistemik. Oleh karenanya risiko keuangan yang harus ditanggungpun tidak akan sebesar yang terjadi saat ini.

Tapi belakangan pejabat BI yang lain menegaskan bahwa kasus itu merupakan kasus sistemik. Oleh karena itu diperlukan Perpu No. 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Walaupun harus diakui bahwa mempersoalkan Perpu sangat tidak tepat benar, karena esensinya adalah bagaimana memperlancar pencairan dana jika dalam satu kurun perbankan mengalami collapse. Karena Perpu tersebut hanya berjalan di forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menetapkan apakah Bank Century dalam keadaan sistemik atau tidak.

Sementara proses penyelamatan yang dilakukan oleh LPS sepenuhnya tunduk pada UU LPS.

Sehingga mendasari latar belakang tersebut, maka yang jadi masalah adalah, apakah memang Bank Century bisa dikatakan dalam keadaan sistemik? Tentu tak seorangpun mampu menjawab apakah itu sistemik atau tidak pada saat ini. Karena mungkin saja seseorang menggunaka parameter yang berlaku saat ini dengan menjangkau masa lampau.

Sebaliknya, jika terjadi keadaan bank seperti yang dahulu dialami Bank Century pada saat ini, maka bank itu sudah selayaknya ditutup karena memang ada unsur kriminal di dalamnya. Artinya, persoalan sistemik yang terjadi pada Bank Century memang sarat dipengaruhi oleh krisis ekonomi global yang terjadi saat itu. Ketika krisis itu sudah berlalu, kita sering mencerca seolah-olah suasana yang terjadi pada detik ini adalah suasana yang sama dan identik dengan suasana pada detik keputusan itu diambil. Karena itu, masalah Bank Century adalah bukan masalah legal dispute, tapi masalah politik. Artinya, semakin pemerintah memberi jawaban, sejujur apapun jawaban itu, semakin panas situasinya.

Adapun persoalan kriminal yang dilakukan oleh Robert Tantular dkk. itulah yang juga harus dikejar mulai dari sistem pengawasan hingga jebolnya dana nasabah lewat instrumen perusahaan sekuritas yang dimilikinya, yakni Antaboga. Saya yakin bahwa pengawas BI yang diutus di Bank Century sudah mencium gelagat buruk di bank itu. Persoalannya mencium adalah satu hal dan menindak adalah hal lain. Itu sebabnya siapa saja tim pengawas Bank Century di bank sentral, harus diperiksa guna mempertanggungjawabkan kinerjanya.

Dana Perbankan Vs Dana Rakyat
Hal lain yang tak kalah seru adalah soal dana talangan ke Bank Century yang mencapai Rp6,76 triliun. Apakah dana itu dana rakyat atau dana perbankan. Untuk menjawab masalah ini kita harus bongkar jeroan dana LPS dan sistem yang berlaku dilembaga penjaminan itu.

Seperti diketahui, sejak berdirinya LPS pada 2005 pemerintah menyuntikkan dana awal untuk operasional sebesar Rp4 triliun. Berdasarkan UU No. 24/2994 tentang LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.

Dalam perjalanannya, LPS selain menetapkan besaran bunga penjaminan yang kemudian diacu perbankan nasional, lembaga itu juga berjalan dengan prinsip asuransi. LPS menetapkan satu premi tertentu kepada bank yang ingin menjaminkan dana nasabahnya, sehingga jika terjadi apa-apa pada bank tersebut maka LPS lah yang mengkafer dana tersebut.

Hanya saja risiko yang ditanggung adalah risiko keuangan, dalam industri asuransi risiko keuangan sebenarnya termasuk yang dihindarkan karena risikonya tanpa batas. Sejak berdiri tahun 2005 hingga 2009, LPS sudah berhasil mengumpulkan premi dan dana awal dari pemeritah sebesar Rp14 triliun.

Sejauh ini memang dalam kasus Bank Century yang memiliki skala persoalan Rp6,76 triliun masih terkafer oleh dana LPS. Tapi pertanyaannya, apakah LPS sanggup mengkafer jika ada dua tiga bank seperti Bank Century, atau bahkan lebih besar? Tentu saja likuiditas LPS akan tergerus dengan sendirinya. Lantas kalau dana LPS sudah habis jaminan perbankan akan dicabut? Tentu ini akan berdampak pada kepercayaan nasabah. Tapi kalau tidak dicabut, itu artinya dana nasabah harus dibebankan ke APBN.

Pendek kata sejauh kasus Bank Century memang dana yang digunakan untuk menalangi krisis keuangan bank itu benar-benar dana murni dari sistem perbankan. Premi-premi perbankan yang dibayar ke LPS digunakan untuk menutup kerugian bank itu, artinya LPS memang tidak ada hubungannya dengan APBN.

Hubungan itu akan terbuka lagi jika LPS tidak sanggup menanggung risiko collapse-nya bank-bank berikutnya. Artinya preseden BLBI mungkin saja dapat terulang dikemudian hari. Tapi untuk saat ini sama sekali masih murni dikafer oleh dana LPS.

Bank Valas
Lepas dari plus minus penanganan isu gagal kliring, core business Bank Century yang memang di bidang jual beli valuta asing ini, sekarang sudah aman. Ini adalah peninggalan dari Bank CIC yang menjadi anchor bank (bank jangkar) dari merger dengan Bank Pikko dan Bank Danpac pada 2004.

Saat merger Bank Century memilki 64 kantor cabang dengan modal dasar Rp4,2 triliun dan modal disetor Rp1,7 triliun. Selain itu, Century memiliki total aset Rp8,11 triliun dana pihak ketiga sebesar Rp6,19 triliun. Adapun rasio cukupnya modal (CAR) sebesar 12,82% dengan kredit bermasalah (NPL net) 1,7% dan loan to deposit ratio (LDR) 35,03%.

Kepemilikan Bank Century terdiri dari Chinkara Capital Limited sebesar 27,70%, Claas Consultant 12,93%, Outlook Invesment 5,42%. Selain itu, Century juga dimiliki oleh UOB Kay Hian sebesar 5,41%, CFGL FCC 4,28% dan masyarakat sebesar 45,26%.

Berdasarkan laporan keuangan Bank Century per 30 September 2008, tercatat rasio kredit terhadap simpanan atau LDR-nya naik menjadi 47,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu 33,18%. Artinya, bank ini terus menggenjot fungsi dana pihak ketiga dalam bentuk pelemparan kredit.

Mayoritas dana pihak ketiga, persisnya sebesar 80% berasal dari dana mahal atau deposito, sementara sisanya berasal dari tabungan dan giro. Manajemen berusaha agar komposisi dana mahal dan murah bisa seimbang 50% berbanding 50%.

Direktur Utama Bank Century (ketika itu) Hermanus M. Muslim menjelaskan bisnis valuta asing perseroan tidak terganggu signifikan terkait volatilitas rupiah beberapa waktu lalu. Bisnis bank notes merupakan kontributor terbesar perolehan fee base income Bank Century. Tahun ini pendapatan dari bisnis itu ditargetkan mengkontribusi 20% dari total pendapatan perseroan.
Ke depan, otoritas fiskal maupun moneter, terutama para pengelola negeri ini, harus lebih sensitif terhadap segala kemungkinan. Apalagi dampak krisis global tidak hanya menghantam AS, tapi juga sudah masuk ke wilayah Eropa, jazirah Arab, dan mungkin saja hanya masalah waktu sampai ke Asia, khususnya Indonesia.

Penjelasan yang utuh, terkoordinasi, dan jujur menjadi kata kunci bagi ketenangan berbisnis perbankan. Sudah saatnya semua pihak terus berkoordinasi dan berkomunikasi agar dapat menyampaikan permasalahan dengan benar, dan yang lebih penting agar dapat mengatasi persoalan dengan tepat.

Beberapa Pertanyaan
Terkait dengan kucuran dana rekapitalisasi Bank Century yang mencapai Rp6,76 triliun memang mengundang sejumlah pertanyaan. Pertama, apakah lonjakan dana rekapitalisasi itu tidak harus sepengetahuan DPR, karena biar bagaimana DPR adalah perwakilan rakyat, artinya, setiap sen uang rakyat yang digunakan harus seizing, atau paling tidak sepengatuan DPR. Walau kemudian Menkeu Sri Mulyani Indrawati berkelit bahwa dana LPS bukanlah dana APBN, sehingga tak ada kewajiban minta izin DPR.

Kedua, katakanlah UU No. 24/2004 tentang LPS mengatur kebolehan lembaga itu mengeksekusi setiap kebutuhan dana rekapitalisasi bank yang kolaps, tapi etika kontrol tetap ada di DPR dan sudah selayaknya dihormati. Lantas mengapa penggelontoran dana LPS mengalir begitu saja tanpa diketahui DPR.

Ketiga, bukankah dana penjaminan setiap nasabah maksimum Rp100 juta sebagaimana ketetapan Pasal 11 UU LPS dari sebelumnya secara bertahap diturunkan: seluruh simpanan, maksimal simpanan Rp5 miliar, maksimal simpanan Rp1 miliar, hingga akhirnya maksimal simpanan Rp100 juta. Lalu mengapa para pemroses pencairan dana tiga deposan besar itu pasrah bongkokan mengucurkan penuh uang yang mereka rush sebesar Rp5,67 triliun.

Murnikah penarikan itu?

Keempat, mengapa nasib Depkeu, BI, dan LPS harus mengulangi nasibnya pada tahun 1998 dimana setiap ada bank run selalu memposisikan diri sebagai bandar yang siap merugi? Bukankah bersikap memaksimalkan penutupan kerugian risiko bank kepada pemilik jauh lebih masuk akal ketimbang terus terusan membebani uang rakyat.

Kelima, berapa besar kekuatan dana LPS sehingga untuk satu Bank Century saja sudah menggerogoti kas lembaga penjaminan itu hingga Rp6,76 triliun lewat empat kali suntikan? Konon di belakang Bank Century ada 23 bank yang juga tengah ‘batuk-batuk’ sementara total aktiva LPS kurang lebih hanya Rp14 triliun.

Keenam, kalau krisis perbankan benar-benar bersifat sistemik sehingga menghabiskan aktiva LPS, siapa yang harus menanggung kekurangannya? Mengingat total kewajiban penjaminan pada tahun 2008 mencapai antara Rp400 triliun hingga Rp500 triliun.

Ketujuh, dalam kasus Bank Century sebenarnya dipicu keterlambatan manajemen lama melakukan kliring hanya sebesar Rp5 miliar dan tingkat ketelatan 15 menit. Tapi beban dana talangan melonjak hingga Rp6,76 triliun. Siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian ini sehingga beban kliring melambung sebegitu besar?

Kedelapan, tingkat kebocoran yang tinggi di Bank Century mencerminkan lemahnya pengawasan BI dan pemerintah. Lantas dimana tanggung jawab otoritas moneter dan otoritas fiskal tersebut dalam kasus Bank Century?

Kesembilan, melihat lemahnya pengawasan dan penanganan pada kasus Bank Century, apakah tidak ada jaminan bank lain akan menggerogoti dana LPS, hingga akhirnya menggerogoti dana pemerintah c.q. dana rakyat? Contoh kasus merebaknya penggerogotan dana nasabah di Bank Century (Sri Gayatri dkk) lewat PT Antaboga Delta Sekuritas hingga mencapai Rp2,6 triliun, ternyata perusahaan sekuritas ini milik pribadi Robert Tantular yang nota bene juga pemegang saham pengendali Bank Century. Penggangsiran uang nasabah oleh Antaboga mengapa bisa lolos dari pengawasan BI dan Bapepam?

Kesepuluh, saat krisis global seperti sekarang ini membuat LPS Amerika (Federal Deposit Insurance Corporation-FDIC) harus merogoh kocek hingga US$66,9 triliun untuk mengatasi 416 bank bermasalah. Bagaimana dengan Indonesia? Mengapa adem ayem seolah tidak ada masalah, tapi tahu-tahu ada kabar mengejutkan seperti Bank Century?

Akankah otoritas moneter dan otoritas fiskal kembali menampilkan drama mengejutkan dikemudian hari, sebagaimana terjadi dimasa lalu? Kita tunggu saja kelanjutannya…!


* artikel ini diambil dari http://hminews.com/jurnal/anatomi-kasus-bank-century/

Sabtu, 27 Juni 2009

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.50
Bantahan Prediksi Kemenangan SBY-Budiono dan Kemungkinan Kemenangan Megawati-Prabowo dalam Putaran Kedua
oleh: Bambang Wibiono

Pasca pemilu legislatif yang dilaksanakan pada 9 April kemarin, perpolitikan di tanah air semakin memanas dikarenakan akan adanya pemilihan presiden secara langsung. Setelah melalui berbagai lobi-lobi dan komunikasi politik di antara partai-partai politik kontestan Pemilu 2009, muncul tiga pasang nama calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada Pilpres mendatang. Tiga pasangan calon itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono berdampingan dengan Budiono, Jusuf Kalla dengan Wiranto, serta Megawati dengan Prabowo.

Melihat kontestan pemilu presiden tersebut, mulai banyak kalangan yang mencoba memprediksi siapakah yang akan memenangkan pertarungan dalam pesta demokrasi ini. Kemenangan partai demokrat yang mencapai angka 20% mengungguli partai-partai besar lain yang sudah lama berkiprah di negeri ini seperti PDIP dan Partai Golkar, mengantarkan SBY dalam pertarungan merebutkan kursi presiden. Hal serupa pun dilakukan oleh rival besarnya, yaitu Partai Golkar dan PDIP, yang masing-masing mencalonkan presiden. Berdasarkan pertimbangan perolehan suara pada Pemilu legislatif sebelumnya, dua partai besar rival Demokrat ini ngotot untuk mencalonkan presiden, bukan calon wakil presiden. Kondisi ini terlihat pada lobi-lobi yang dilakukan PDIP dengan Gerindra hingga akhir batas pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung alot.

Melihat peta politik pasca penentuan capres-cawapres, koalisi yang terbentuk lebih didominasi oleh pasangan SBY-Budiono. Dengan kemenangan suara Partai Demokrat, didukung oleh PKS serta ditambah lagi dengan koalisi partai-partai kecil lainnya, dalam ukuran kuantitas suara, pasangan ini akan dapat memenangkan Pilpres mendatang. Penilaian ini jika dibandingkan dengan dukungan koalisi pasangan lainnya. Apakah kemenangan Demokrat pada Pemilu legislatif lalu serta dukungan koalisi mampu membawa kemenangan pasangan SBY-Budiono? Adakah peluang pasangan lain untuk menang?

Menurut penilaian saya, kemenangan Pemilu legislatif lalu oleh Partai Demokrat belum menjamin kemenangan Pilpres mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu pertama, kemenangan PDIP pada Pemilu 2004 saja yang mencapai angka lebih dari 30% tidak mampu membawa Megawati sebagai pemenang. Hal serupa juga dialami oleh Golkar, walaupun pada putaran kedua, suara Golkar dapat beralih pada SBY karena menggandeng Jusuf Kalla sebagai kader Golkar. Meski Partai Demokrat merupakan pemenang Pileg 2009, perolehan suaranya jauh daripada mayoritas absolute.

Kedua, munculnya kritik tajam dari berbagai pihak soal pasangan calon wakil presiden yang digandeng oleh SBY yaitu Budiono yang dinilai adalah “pesanan” dan pro terhadap neoliberalisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat mengenai penilaian terhadap pasangan SBY-Budiono, dan jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada menurunnya popularitas dan dukungan masyarakat padanya.

Ketiga, koalisi yang dilakukan oleh partai-partai kecil bukan koalisi yang kuat yang akan menambah jumlah perolehan suara. Hal ini dikarenakan partai-partai kecil berkoalisi hanya ingin mencari aman agar tidak tersingkir dari kancah politik Pilpres dan pembentukan kabinet nantinya. Menurut Azyumardi Azra, koalisi ini hanya semacam political expediency, atau situasi politik darurat.1

Selain itu juga koalisi yang dilakukan terdiri dari berbagai aliran ideologis, agama serta aliran keagamaan. Ini dapat menyulitkan dalam mempersatukan koalisi dalam bentuk program-program yang akan dilakukan kedepan. Misalnya saja Muhammadiyah melalui mantan pemimpin puncaknya, Ahmad Syafii Ma’arif telah mewartakan isyarat kepada semua warga agar memihak JK-WIN. Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Dien Syamsuddin, diperkirakan memiliki alasan lebih besar untuk bergabung mendukung JK-Win ketimbang dua pasangan lainnya2. Persoalan kondisi perpecahan beberapa kader partai mengenai perbedaan dukungan (misalnya beberapa tokoh PAN yang tidak mendukung pasangan SBY-Budiono) mengindikasikan tidak solidnya dukungan dalam koalisi. Jadi dukungan struktural partai belum tentu mencerminkan dukungan massa di tingkat bawah, dan hal ini menuai angka swing voter karena pilihan calon belum tentu didasarkan pada pilihan partai.

Keempat, walaupun pasangan ini berasal dari Jawa yang merupakan penduduk terbanyak yang memungkinkan mendapat dukungan besar, tetapi sikap memunculkan sentimen primordial yang berlebihan dalam beberapa iklan di media, malah akan menurunkan simpati terlebih lagi di kalangan luar Jawa. Hal ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia pada Bulan April 2006 yang menyebutkan di kalangan pemilih suku Jawa, sebanyak 63.5% menyatakan latar belakang suku kurang penting atau tidak penting sama sekali.

Kelima, adalah apatisme masyarakat yang apabila dibiarkan bisa begitu cepat menjurus sinisme kepada setiap hal yang berbau pemerintah (incumbent) atau yang secara umum patut diasosiasikan ke arah itu. Hal ini tidak saja berkembang di kalangan mahasiswa dan intelektual independen, tetapi juga masyarakat biasa. Penyebabnya ialah fenomena politik pasca Pemilu legislatif 2009.

Kelima alasan inilah yang menjadi landasan kecenderungan menurunnya perolehan suara pasangan SBY-Budiono dalam Pilpres 2009. Prediksi yang dilakukan melalui survei oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) yang memprediksikan kemenangan SBY-Budiono dalam satu putaran mungkin akan meleset. Berdasarkan survei itu, responden yang memilih pasangan SBY_Budiono sebanyak 88%, dan hanya 10,9% yang menyatakan masih ada kemungkinan berpaling. Sedangkan yang akan memilih Megawati-Prabowo sebesar 76,6%, dan hanya 18,1% yang mengaku masih ada kemungkinan memilih pasangan lain. Sedangkan yang akan memilih JK-Wiranto hanya 56,9%, tetapi dengan catatan adalah bila Pilpres dilaksanakan pada saat itu.3 Artinya masih ada kemungkinan besar perubahan jika masing-masing pasangan tidak mampu menjaga wibawa dan menarik simpati massa.

Kemungkinan kemenangan MegaPro pada putaran kedua

Ada prediksi dari sejumlah pengamat bahwa Pilpres 2009 kemungkinan akan berlangsung dua putaran, karena terdapat tiga pasangan yang muncul untuk bersaing. Prediksi ini juga diungkapkan dalam Media Indonesia.com4. Jika ini terjadi, akan terbuka kemungkinan kemenangan untuk lawan politik SBY yang lolos pada putaran pertama. Ada kemungkinan yang akan lolos pada putaran pertama adalah pasangan SBY-Budiono dan Megawati-Prabowo. Karena melihat kekuatan suara melalui koalisi yang dibentuk masing-masing pasangan, pasangan JK-Wiranto berada pada urutan terendah. Ditambah lagi calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar ini bukan berasal dari etnis Jawa, sehingga kemungkinan pemilih yang sebagian besar dari Jawa ini akan cenderung memilih selain pasangan JK-Wiranto. Implikasinya adalah pasangan ini akan tersingkir pada putaran pertama. Selain itu, citra Jusuf Kalla selama memerintah sudah dinilai rendah oleh masyarakat dan lebih menilai keunggulan SBY dalam memerintah.

Jika pasangan JK-Wiranto tersingkir pada putaran pertama, ada peluang tambahan suara bagi pasangan Megawati-Prabowo yang berasal dari partai pendukung pasangan JK-Wiranto. Hal ini disebabkan kedua pasangan ini lebih memiliki kedekatan emosional. Sebab sejak awal Partai Golkar sudah memperlihatkan “permusuhannya” dengan Partai Demokrat sebab merasa dikhianati selama bermitra dengan SBY. Kedekatan tokoh-tokoh kedua partai besar pendukung JK-Wiranto pada kubu PDIP pasca Pemilu legislatif menjadi alasan merapatnya dukungan JK-Wiranto pada pasangan Megawati jika kalah pada putaran pertama. Begitu juga kedekatan ideologi partai pendukungnya seperti Hanura dan Golkar yang beraliran nasionalis menjadi pendukung kemenangan pasangan Megawati-Prabowo pada putaran kedua. Jika menelisik sejarah pendiri Partai Hanura dan Gerindra, mereka berasal dari satu partai yang sama yaitu Golkar, sehingga ini memungkinkan bergabungnya ketiga partai itu untuk mendukung Megawati jika lolos putaran pertama.

Semua yang diungkapkan di sini hanyalah sebuah prediksi semata. Hasilnya tergantung pada masing-masing pasangan calon dalam pencitraan dirinya melalui berbagai pendekatan, sosialisasi, pemaparan visi dan misi yang jelas yang dapat menarik simpati dan dukungan konstituen. Peran media dalam hal pencitraan ini sangat penting. Jangan sampai dalam pencitraan melalui media malah menjatuhkan pamor karena ada sentimen primordial seperti yang dilakukan oleh SBY. Oleh karena itu perlu juga netralitas media dalam menggiring opini publik ke salah satu pasangan calon.

***

Rabu, 17 Juni 2009

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.44
PB HMI : Penting Nggak Penting..,Penting Bangetzzz!!! (Siapa dan Bagaimana)
oleh; Shinta arDjahrie

Ibarat masa tenggang biz pemilu nieh... qta tentunya menunggu seperti apa sieh kepengurusan PB periode 2209-2011 besok??? Masalah mas chozin yang kepilih...itu udah keputusan palu sidang kongres...gak perlu digugat gugat lagi. Yang pasti Mas Chozin adalah ketua formatur saja, dan tentu bukan berarti semua beban PB HMI ada di pundak dia..Buset dah malang nian kalo nasibnya seperti itu, udah kawakan (kalo gk sopan dibilang tua), jomblo, kurus, kecil, he3..(piss mas!!! ^_^), masa disuruh nanggung beban itu semua???

Satu hal yang sempat saya ingat dari kata-kata sang beliau ketua PB kita adalah bahwa ketika mas Chozin maju yang terpenting adalah komitmen dari semua kader untuk membangun HMI ini lebih baek. Ibaratnya besok tuh yang akan muncul ya tetep generasi-generasi sekarang. Namanya juga orang tua...tugasnya adalah mengarahkan, menasehati, dan memfasilitasi, tul gak??? Satu hal yang bisa diambil hikmah dari terpilihnya mas chozin adalah... yang namanya orang tua biasanya nggak senafsu anak muda untuk urusan eksistensi. Buktinya...sampe sekarang mas chozin itu belum memberikan sepatah kata pun sambutan ataupun tanggapan semenjak dilantiknya beliau. Gak tw juga tuh upacara penutupan yang inkonstitusional tidak memberikan alokasi waktu untuk sambutan ketua formatur terpilih. Sepertinya itulah yang kemudian yang akan dibangun pada kepengurusan kedepan, mas Chozin akan diam dan kita yang bergerak.

Siapapun ketua umumnya, saya rasa sama aja ketika kita kemudian tidak mampu berbuat apa-apa. Kalo evaluasi dari yang kemaren tuh, hal-hal yang bisa menjadi permasalahan adalah : komunikasi . he3.. Sotoy banget ya??? Nggak juga sieh..permasalahan yang laen juga banyak. Komunikasi itu cakupannya luas, bukan sebatas interaksi keseharian melainkan juga bagaimana kemudian ide-ide kita bisa dikomunikasikan dengan baek kepada yang laen (belajar dari kasus Palembang). Saya pikir, HMI masih punya kekuatan di jutaan ide-idenya yang brilian.

Hemh...kalo diliat dari dukungan saat pemilihan formatur kemaren..Timur, Utara yang cukup banyak dan juga beberapa bagian barat, kalo mo itung2an imbalan politik, apa orang--orang dari sana yang akan masuk menduduki kursi PB??? Kalo denger2 ada deal2 kontrak politik..walaupun itu saya lihat sebatas isu penghias kongres, yang jadi pertanyaan ternyata posisi PB itu masih banyak juga yang memimpikannya. Nggak tw deh kenapa. Kalo saya yang dulu sempat aktiv di Pramuka, kyaknya lebih menggiurkan menjadi DKN (Dewan Kerja Nasional) deh daripada di PB.he3. Tapi yang pasti, kalo dihubungkan sama suara waktu kongres kemaren, PR berat buat mas choz dkk untuk membuat temen2 tengah yang notabene adalah GPA (Gerakan Pendukung Azwar) untuk bisa percaya bahwa kepengurusan Chozin yang mengusung tema : "HMI Berkarya dan Berprestasi" merupakan satu harapan baru yang lebih cerah untuk perjalanan HMI. So, buat qta percaya (halah...lebai deh!!!).

Apalagi kalo inget usia keanggotaan mas chozin yang lumayan udzur (aduh..dibahas lagi deh), kemungkinan besar tidak terlalu mengenal siapa aja sieh orang-orang di zaman sekarang..Nggak mungkin kan orang-orang zaman beliau yang kemudian dimasukkan ke PB lagi (nggak kebayang deh PB besok diiisi lagi sama mas Mudofir, mas Marta, mas Cahyo, dan teman-teman seangkatan mas chozin yang laen...Bukan jadi PB, tapi jadi ajang reuni. he3). Kita mungkin yakin bahwa maju-nya ma Chozin sudah penuh pertimbangan kedepannya mo gimana. Kalo program per semester sieh kyaknya udah ada. Tapi, kemudian siapa-siapa orang-orangnya??? Apakah teman-teman dari timur-utara akan berbondong-bondong ke Jakarta untuk memenuhi sekre PB? dulu sempet ada kabar-kabar orang-orang timur yang terlunta-lunta di ibukota. Pengalaman klasik yang kyak gini nieh yang jangan jadi tradisi.

Tapi, sebenarnya penting nggak sieh kalo semua jajaran PB itu harus orang yang domisili di ibukota??atau setidak-tidaknya dia mobile?? Hemh... sebenarnya kalo dipikir-pikir..di era kyak gini, kondisi geografis udah bukan jadi alesan untuk susah koordinasi. Harapannya juga besok udah nggak ada alesan2 teknis yang memalukan kayak "email eror", "hape nggak ada pulsa", yang menjadi penghambat koordinasi dan komunikasi baik antara internal PB maupun dengan cabang-cabang. PB itu kan kemudian bukan kyak cabang yang kalo rakor harus ngumpul di sekre semua. Pas LPJ kemaren sempet saya singgung optimalisasi potensi dari tiap komisi di PB (oya sekarang udah diganti lagi menjadi departemen jadi bentukya bukan komisi), bahwa sebenarnya tiap bidang itu dapat melakukan optimalisasi pemberdayaan kader berbasis keilmuan. Mungkin satu hal yang menjadi PR buat PB adalah "DATA". Yup, qta sangat lemah sekali di data, bahkan data tentang kader sendiri. Terbukti ketika kasus utusan kongres kemaren, di cabang juga nggak punya data, di badko sama, di PB lebih-lebih. Padahal pendataan itu kan berarti inventarisasi potensi kita, betul nggak??? Kalo emang memungkinkan pendataan biar lebih mudah juga bisa via internet, jadi kyak entry data di kampus. Saya rasa seterpencil apapun cabang HMI, pasti ada akses internet donk??? Apalagi sekarang kyaknya punya hape canggih-canggih semua deh. Kalo sebatas untuk akses info pemberitahuan entry data, itu nggak terlalu sulit kan?? Emang sieh nggak semudah itu juga, mungkin ntar mas chozin yang hobi travelling ke luar jawa, bisa lngsung turun untuk mendapatkan data yang ada di lapangan secara langsung, sebenarnya kader kita itu berapa sieh???punya potensi apa aja?? (jangan bilang kamu butuh intel, mas!!!he3). Apa benar kita punya lebih dari lima ratus kader?? Nah lo..jangan2 cuma klaim aja.

Dari data tersebut kemudian kita kan bisa punya sebaran potensi kader. Kita bisa liat tuh..kader mana sieh yang potensi-nya di politik, seni-budaya,olahraga, filsafat, teknologi, sains, atau mungkin ada yang potensinya facebook-an aja atau sekedar ngegosip!!he3.. Ada lho..jangan salah!! (yg ini off the record deh). Selama ini kyaknya cuma asumsi aja..ooh itu cabang-cabang barat potensinya di politik karena dekat dengan ibukota. Waduh..masa iya sieh???politik praktis dan pragmatis sieh mungkin iya...he3.

Nah, kyaknya yang mengenal potensi lebih detail itu cabang-cabang deh. Peran proaktif cabang untuk memahami potensi kader2 di cabangnya yang kemudian memberikan perwakilannya untuk membangun jaringan di tingkat pusat. Jadi di pusat itu lebih berperan untuk meneruskan potensi yang ada di kader-kader melalui jaringan yang dibangun di pusat. PB itu nggak usah cape2 bikin acara diskusi2 di cafe atau bikin syawalan (kalo ini kita taro aja di prokernya alumni...he3).

Selama ini di HMI mungkin yang terlihat adalah orang2 yang mahir politik atau wacana saja. Wah..padahal kader-kader kita itu potensinya banyak banget lho???kita punya kader yang atlit catur tingkat nasional, kita punya kader yang punya potensi di bidang seni budaya sampe di tingkat internasional, belum pada tahu kan selama ini??? Ya, karena selama ini HMI diarahkan kepada kecenderungan politik...lagi-lagi politik. Iya, kalo politiknya bener, klo cuma politik praktis. Mentok2nya jadi tim sukses. Waduh...!!! Padahal HMI itu bukan organisasi politik, segala potensi ada disana. Misalnya nieh...anak HMI banyak yang ahli sastra lho!! pernah aq ngliat kumpulan cerpen di komputer PB, atau puisi2..gila2 itu karya maestro abiz!!! Kita udah punya link ke penerbitan. Kita ada link ke komunitas-kmunitas seni budaya. Itu karya-karyanya anak HMI bisa jadi warna tersendiri di tengah dunia sastra yang semakin ngepop!!!! Mantap kan?? Karena ketika melakukan rekayasa sosial itu bukan cuma lewat politik, tapi lewat bidang apapun!!! Seandainya di PB kemaren ada tambahan komisi..mungkin yang ingin ditambahkan adalah Komisi Teknologi Informasi dan KOmisi Seni Budaya. Tapi selama ini HMI kurang mewadahi hal-hal yang kyak gitu. Padahal orang HMI yang anak teater bejibun...artis semua!!! Audisi Film KCB kemaren sebenarnya kalo anak2 HMI mo ikut, semua bisa kepilih. Tapi sayangnya nggak minat sama gitu2an...he3.

Ups, jadi agak ngelantur ya??? Jadi kalo ngliat judul diatas, PB??penting nggak sieh?? Penting tapi bukan segalanya. Penting bangetz karena biar potensi-potensi kita nggak mati. Masa kader2 HMI lulus kuliah pada berbondong-bondong jadi PNS. Nggak salah sieh... Tapi itu menunjukkan bahwa HMI ternyata kurang optimal untuk menjadi alat pengembangan potensi diri. Kalo emang banyak yang suka politik kenapa nggak dibikin aja Lembaga Khusus bidang politik . LPMI (Lembaga Politik Mahasiswa Islam), itu akan membuat HMI terhindar dari isu2 yang mengatakan tidak independen.

Yang pasti, berharapnya besok yang di PB bukan karena sekedar deal-deal politik ataupun kepentingan-kepentingan tertentu. Kalo kemaren pas pemilihan disinyalir banyak tangan gaib alumni yang ikut bermain... KIta potong saja tangan mereka.he3. Kalo emang kemaren mereka bermaen..ya cukuplah, biarkan kita generas-generasi sekarang lah yang bermain di pentas. Toh sebenarnya para senior juga udah diwadahi oleh lembaga MSO. Kenapa nggak maen2 disitu aja sieh??kan sesuai umur tuh..he3.

Yang pasti..saya dan juga teman--teman semua yang ada di cabang-cabang seluruh Indonesia pastinya berharap untuk HMI yang lebih baek. HMI yang Berkarya dan Berprestasi. Sudahilah legenda HMI sebagai alat politik, kalo kita emang mo berpolitik ya marilah dirikan bangunan-bangunan politik yang indah , bersih. HMI ini kan tempat kita semua belajar. Kalo pas belajar aja kita udah rusuh...apalagi nanti aplikasinya. Yakin Usaha Sampai

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.27
Adakah Pemerintah dan Negara itu?*
Oleh: Bambang Wibiono

Saat ini rakyat Indonesia kembali dilanda musibah yang besar. Di saat berjuta rakyat kita yang hidup dalam sebuah penderitaan—yang untuk dibayangkan saja kita tak sanggup—pemerintah SBY-JK kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat menyakitkan hati rakyat, khususnya rakyat kecil. Belum sempat rakyat kita mampu menyesuaikan diri dengan keadaan mahal dan langkanya harga kebutuhan pokok, kini akan ditambah lagi dengan kenaikan harga BBM.

Ternyata kemerdekaan tidak menjamin bahwa keamanan dan ketentraman akan didapat. Ternyata reformasi tidak seperti yang diarapkan oleh kita semua. Ternyata kolonialisme dan imperialisme tidak hanya terjadi pada jaman tradisional, namun dia bisa datang menyesuaikan diri pada jaman modern saat ini. Bahkan wajah imperialisme ditutupi oleh ‘kebaikan’ yang dinamakan dengan pembangunan dan pertumbuhan.


Setiap detik kita dengar jerit tangis manusia-manusia tak berdosa yang tak kuat menahan cobaan hidup. Setiap hari selalu ada orang yang tak bisa makan karena tidak ada yang dimakan. Tiap hari pula kita melihat tidak kriminal akibat masalah makan. Setiap hari selalu ada orang yang mati akibat tidak adanya biaya untuk berobat dan tidak ada yang mau peduli. Cobaan yang demikian luar bisanya yang selalu menimpa mereka-mereka yang tidak pernah tahu apa salahnya. Mereka semua tidak pernah berharap dan tidak pernah mau mendapat cobaan yang demikian berat yang hanya untuk dibayangkan saja sudah tak sanggup. Tetapi di sisi lain negeri ini masih pula kita dengar suara terbahak orang yang sedang menikmati indahnya hidup, masih kita dengar dengkuran orang yang tidur akibat kekenyangan, masih pula kita dengan suara orang bersenandung dalam gemerlap pesta meriah.

Aubade penderitaan hidup inilah yang setiap detik, setiap jam, dan setiap hari kita dengar, dan kita lihat lewat media. Seakan hidup tak pernah adil dan berpihak pada mereka yang memang tak sanggup menghadapi hidup. Roda kehidupan seperti enggan untuk berputar meski hanya untuk sesaat untuk membalik semua keadaan, bahkan untuk sedikit condong saja pun tak mau. Apakah roda kehidupan ini telah lelah dimakan jaman sehingga tak mampu berputar? Atau roda kehidupan memang tak mampu menahan bebannya setiap saat untuk berputar? Entahlah…tetapi itulah kenyataannya. Kehidupan ini seperti berhenti pada satu titik. Masih adakah keadilan untuk mereka?

Setiap saat selalu didengungkan keadilan. Setiap saat selalu bicara kepentingan rakyat kecil. Setiap saat selalu bicara soal kemakmuran dan kesejahteraan. Semua celotehan yang tak berguna itu tak banyak membantu. Semua itu hanyalah layaknya nyanyian burung berkicau di pagi hari yang indah dan menyejukan bagi yang mendengar. Tetapi, ketika kita sadar akan kenyataan, kita akan mulai mual, muak, benci akan hidup. Hiburan sesaat itu tak banyak membantu.

Demokrasi yang dijanjikan akan membawa perubahan dan kemajuan bangsa dan negara, sampai saat ini hanya sebatas mitos yang biasa kita dengar lewat nenek moyang kita. Welfare state yang menjadi tujuan negara kita, hanya gombal. Semua itu bohong!!. Rakyat sudah benci pada pemerintah dan negara ini. Rakyat sudah bosan dengan pemerintah. Keberadaan pemerintah, pemerintahan, dan negara sudah tidak ada signifikansinya lagi. Dia hanya sebatas simbol bagi penderitaan rakyat kecil, yang hanya akan semakin menyakitkan jika menyebutnya.

Sejenak kita bangga akan kesuksesan kita menjalankan demokrasi yang paling demokratis sejak tumbangnya orde baru. Negara kita mendapat penghargaan karena menjalankan sistem pemilu yang demokratis lewat pilihan langsungnya. Semua negara di dunia mengacungkan jempol mereka atas prestasi itu. Tapi, pernahkah kita berpikir apa arti itu semua? Buat apa demokrasi, jika dia tak mampu menyampaikan keluhan. Buat apa demokrasi, jika masalah rakyat tak kunjung diatasi?. Buat apa rakyat bebas berteriak jika tak ditanggapi?. Semua itu hanya buang-buang energi saja! Persetan dengan demokrasi!!

Demokrasi kita telah disalah artikan oleh segelintir orang yang tak bertanggungjawab. Demokrasi kita hanya melahirkan kelompok-kelompok baru penindaas rakyat kecil atas nama demokrasi. Atas nama dukungan rakyat, mereka bertindak semaunya. Mereka memohon dukungan rakyat, tetapi setelahnya mereka mencampakan rakyat seperti mencampakan sampah yang tak berarti meski mereka meneteskan air mata darah sekalipun.

Masih ingatkah kawan-kawan sekalian, ketika pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM? Namun apa buktinya? SBY menyatakan bahwa ini adalah opsi terakhir untuk menyelamatkan APBN kita. Apakah kita tahu ke mana aliran dana APBN kita? Mungkin sebagian besar hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Malah lebih menyakitkan lagi SBY menyatakan bahwa sebenarnya ekonomi Indonesia mulai mebaik dan mengalami pertumbuhan. Bagaimana bisa di saat banyak rakyat miskin yang semakin menderita, bertambahnya pengangguran, dan semkin meningkatnya angka putus sekolah, ekonomi kita dianggap mengalami kemajuan/pertumbuhan.

Mempertanyakan eksistensi lembaga negara

Negara lahir karena adanya kebutuhan orang akan rasa aman, dan sejahtera. Rakyat membentuk sebuah negara atas dasar komitmen mereka untuk hidup bersama dalam naungan lembaga yang mengatur mereka semua demi terciptanya kesejatereaan yang merata. Tetapi apa yang terjadi pada negara Indonesia kita tercinta? Negara tak mampu mengakomodir keinginan rakyatnya—walau hanya sebatas rasa aman—apalagi kesejahteraan. Mereka seperti tertindas di negeri sendiri. Mereka dieksploitasi hanya untuk melanggengkan sistem yang ada dan untuk menyejahterakan kaum kapitalis asing.

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan BBM menjadi bukti ketidakberdayaan negara dalam memberikan rasa aman bagi rakyatnya. Bertapa tidak, setiap saat kita selalu dibayangi oleh ketakutan akan tidak mampunya kita untuk memenuhi kebutuhan yang paling primer. Meski peluh telah mengering, tulang telah remuk berkeping-keping, air mata telah habis, kulit telah hangus terbakar, tenaga telah menguap, namun tetap saja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Semua daya dan upaya telah dikerahkan demi bertahan hidup.

Ditengah kondisi seperti ini, pemerintah malah menganjurkan untuk hidup bersahaja alias berhemat. Sungguh lucu memang. Mereka tidak pernah tahu-menahu begitu bersahajanya rakyat kecil melalui hidupnya sehari-hari. Bahkan hidup rakyat kecil sudah melebihi batas kewajaran dalam bersahaja. Pernyataan pemerintah seperti itu lebih pantas ditujukan kepada para pejabat pemerintahan, konglomerat yang setiap harinya hanya menghambur-hamburkan uang.

Dimana rasa kemanusiaan mereka, ketika di sekitarnya masih ada jerit tangis kelaparan? Di mana moral mereka ketika masih ada yang sulit untuk tidur. Di mana hati mereka ketika ada yang membutuhkan pengobatan?? Lantas di manakah peran negara sebagai lembaga yang mengayomi rakyatnya, yang seharusnya memeberikan jaminan bagi rakyatnya untuk dapat merasakan hidup aman, tentram, dan sejahtera? Masih adakah negara itu di sini? Jika para pemimpin negeri ini tak sanggup memberikan apa yang diharapkan oleh rakyatnya, dia sudah tak pantas lagi memimpin negeri ini.

Sepertinya sistem di negara ini sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan rakyatnya. Bahkan mungkin lembaga pemerintahan atau negara sudah tidak dibutuhkan lagi bagi kelangsungan hidup. Mestikah kita membubarkan lembaga negara yang selama ini hanya menyisakan kepedihan bagi yang di dalamnya?. Jika memang mungkin itu terjadi, maka benarlah apa yang dikatakan oleh para filsuf dahulu bahwa negara itu akan dengan sendirinya hilang ketika rakyat sudah tidak membutuhkannya lagi. Sebab negara ada, atas dasar kepentingan bersama dan demi tercapainya tujuan besama. Itu artinya negara ada hanya ketika dibutuhkan. Apakah kondisi seperti ini yang akan terjadi pada Indonesia tercinta. Hanya waktu yang akan menjawabnya.

*tulisan ini diambil dari http://www.duniapolitiku.blogspot.com dan diposting pertama kali tanggal 5 Juni 2008

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.15
Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur
Bambang Wibiono

Selama ini, kita telah terjebak pada dikotomi antara barat dan timur। Dalam benak kita sebagai orang Timur atau Asia—atau mungkin dalam benak setiap orang—telah melekat stigma bahwa barat lebih baik dari Timur, negara barat lebih maju, orang barat lebih unggul, sedangkan kita sebagai orang Timur, khususnya orang Asia merasa lebih rendah dan terbelakang॥ stigama seperti ini sungguh sangat naif dalam kehidupan saat ini yang mengutamakan persamaan, dan hak asasi।।

Stereotyipe seperti ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang sudah tercipta sejak lama dan melalui proses yang sangat panjang, serta telah menjadi sebuah sistem dan struktur yang mapan. Dari anggapan seperti ini pula yang menyebabkan sebagian orang Asia sulit untuk maju dan berkembang. Karena mereka menganggap dirinya sebagai inferior. Anggapan atau penyudutan terhadap orang Asia oleh orang barat inilah yang hendak dipertanyakan dan dibongkar oleh Tommy T.B. Koh dalam tulisannya "Asian Values reconsidered". Apakah benar nilai-nilai Asia lebih rendah dari nilai-nilai yang dianut barat? Apakah benar Asia, dalam dirinya selalu melekat nilai-nilai negatif? Atas dasar apakah mereka (orang barat) menilai hal itu?. Atau jangan-jangan penyudutan ini hanya sebuah ekspresi kehkawatiran orang Barat akan bangkitnya Asia dan takut jika Asia akan mengungguli Barat.

Setidaknya ada dua pandangan mengenai nilai-nilai yang melekat pada individu maupun sosial. Pandangan pertama manyatakan bahwa pada dasarnya nilai-nilai bersifat universal dalam karakternya pada semua orang, bahkan tidak memendang batas antara barat dan timur. Pandangan kedua menyatakan bahwa nilai tidak tersusun dan terbagi pada semua orang, sehingga akan selalu ada perbedaan, begitu juga dengan nilai yang dianut oleh barat maupun Asia. Namun dari pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengah bahwa terdapat nilai-nilai tertentu yang membedakan antar orang atau kelompok sosial, disamping itu juga diantara perbedaannya, mengandung di dalamnya sebuah persamaan konsep tentang penilaian sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa trdapat kesamaan baik nilai pribadi maupun sosial diantara orang-orang Asia. Semua nilai yang dianut oleh orang Asia, tidak sedikitpun yang mengarah pada hal negatif. Bahkan orang Asia lebih mengutamakan ketraturan, keharmonisan daripada mengutamakan pentingnya hak pribadi sebagaimana dianut oleh sebagian besar orang Amerika.

Nilai yang dianut oleh Asia terlihat lebih mengedepankan proses-proses yang harmonis dan dinamis daripada hasilnya. Namun, berbeda dengan konsep yang dianut oleh sebagian besar orang barat yang lebih menekankan pencapaian keberhasilan. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa nilai yang dianut barat akan lebih mudah terjebak pada konsep "menghalalkan segala cara" demi tercapainya tujuan.

Berdasarkan hasil penelitian, bahkan yang dilakukan oleh orang barat sendiri, tidak aada yang membuktikan bahwa Asia lebih inferior dan terbelakang daripada barat. Bahkan selama ini apa yang mereka tuduhkan adalah akibat dari kolonialisme dan imperialisme dunia barat. Disaat mereka mengedepankan hak-hak pribadi, namun disaat yang sama, mereka mengekang hak orang lain dengan penjajahan dan ekspolitasi.

Tuduhan mengenai penyebab krisis di Asia akibat nilai-nilai yang dianut, sangatlah tidak beralasan. Hal itu terbukti, beberapa negara di Asia khususnya Asia Timur telah dengan cepat bangkit dari keterpurukannya dan mampu mengimbangi kemajuan yang dicapai negara barat.

Dalam hal disiplin dan etos kerja misalnya, Jepang menjadi contoh keunggulan Asia.Dalam hal menangani pembangunan misalnya, kemerdekaan menjadi suatu landasan yang sangat penting. Pandangan tentang pembangunan sebagai tujuan dan sekaligus alat (yang sebagian besar dianut barat), akan terjebak pada pencapaian angka-angka statistik dari pertumbuhan ekonomi, yang sesungguhnya tidak menyentuh dunia riil. Ini akan mengakibatkan kesenjangan akibat penumpukan modal di tangan segelintir orang.

Sepeti apa yang dikatakan oleh Amartya Sen (1999), dalam melihat pembangunan sebagai suatu proses, harus mampu membuka seluas mungkin kemerdekaan bagi semua orang. Kemerdekaan harus dipandang sebagai tujuan utama sekaligus juga sebagai cara terpenting. Kemerdekaan di sini, harus mencakup pula kemampuan untuk mencegah terjadinya pengurangan hak dasar.

Ketika pandangan orang Barat tentang kebebasan individu menjadi sangat penting, ternyata Asia telah menerapkan hal tersebut, bahkan melampaui negara Barat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India (negara bagian Kerala)1

Banyak negara di barat yang lebih mengutamakan pencapaian pembangunan, tetapi mengabaikan keadilan, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak dasar masyarakat, walaupun memperoleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Dari penjelasan contoh tersebut, setidaknya dapat membuka wawasan kita bahwa Asia memiliki nilai-nilai yang tidak kalah bahkan jauh lebih unggul dari nilai yang dianut kalangan barat. Walaupun terdapat kesamaan nilai seperti pentingnya kebebasan, persamaan hak, keadilan, namun dalam proses pelaksanaan dan pencapaiannya sangatlah berbeda. Ada hal-hal yang bisa dikembangkan dari nilai-nilai Asia. Inilah hal yang dapat dijadikan aset bangsa Asia dalam berkompetisi dengan negara lain khususnya Barat yang dianggap lebih unggul dan superior dalam era globalisasi saat ini. Karena saat ini dituntut sebuah persamaan dalam kompetisi di era global. Tidak ada lagi pembedaan atau stereotyipe antara Barat dan Timur (Asia), semua memiliki kedudukan yang sama dalam mengambil peran.


1 Argumen ini dijelaskan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford: 1999 Dia membandingkan proses pembangunan dan pencapaiannya di beberapa Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Gabon, Sri Lanka, Brazil, Nagara Bagian Kerala, Namibia, Afrika Selatan, seta beberapa segara Eropa

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.00
RANTAI BAIT TENTANG KONGRES XXVII

Friday, June 12, 2009 at 4:40pm
-- mungkin di tulisan ini ada goresan-goresan kisah yang tak sempat terexpose media, ada tiga bagian disini : tentang Kongres, tentang Pemilihan fomatur, tentang Penutupan kongres, dan tentang sebuah karya--
" Pada akhirnya segala lelah, marah, sedih, kecewa, terlupakan oleh bait asa....mari bangkit!"

Tentang Kongres dua puluh tujuh...
Ini kongres pertamaku. Bagi pengurus cabang Purwokerto, sebagian besar juga merupakan pengalaman pertama. Kata orang cinta pertama itu tak mudah dilupa. Benar, kongres ini juga menumbuhkan cinta pada alat prjuangan ini. Sebagai sebuah gelaran dwitahunan, yang memiliki hierarkri paling atas dalam struktur kekuasaan di HMI. tak berlebihan rasanya jika kita mengharap sebuah perubahan dalam paradigma gerakan yang lebih baik. HMI yang lebih baik...itu bukan sekedar harapan namun keHARUSan.

Tulisan ini saya tulis dengan segala kisah kecil yang mungkin tak terekspoxe oleh media.Ratusan kader, ratusan harap, itu idealnya. Ratusan ide brilian siap berkumpul dan sinergis untuk memantapkan gerakan.Sidang pendahuluan menjadi peluit panjang dimulainya pertempuran itu. Namanya orang mo olahraga..harus pemanasan dulu. Kalo berenang gak pemanasan dulu, ntar kram di tengah kolam. Kalo mo sprint gak pemanasan terlebih dulu ntar bisa cedera juga. Harapannya juga seperti itu. Waktu itu di benak saya adalah teman-teman seluruh Indonesia telah menyiapkan konsep perubahan HMI. Makanya saya juga pernah menyinggung "pernak-pernik" HMI yang belum diterima oleh cabang-cabang. Hal ini sangat riskan karena akhirnya di meja sidang, kita semua hanya bermain emosi dan egoisme saja. Lebih banyak menuntut daripada menyampaikan sebuah pemikiran.

LPJ PB..dalam sessi tanya jawab yang lebih banyak bergulir dan ramai hanyalah seputar hal-hal teknis seperti : telpon, email, dll. Ditambah lagi jawaban PB yang lebih bersifat apologi. Ketika saya menanyakan SK, sbrnnya itu sederhana saja, kapan teman-teman PB siap untuk memberikan dokumen resmi Sk para cabang. Kalau malam itu bisa, tinggal ketik, print, dan tandatangan, saya rasa itu menjadi bentuk rasa tanggungjawab PB.
BUkan berapologi dengan sejuta alasan apalagi dengan alasan komputer kena virus. Suer, kalo kisah ini diexpose akan sangat memalukan. Saat ini hampir sebagian besar cabang, tidak memiliki dokumen resmi SK kepengurusan. Ini sangat-sangat fatal. Ini bukan persoalan teknis, tapi persoalan tanggungjawab akan kinerja masing-masing. Walaupun kongres sudah usai, saya berharap tanggungjawab ini bisa diselesaikan dengan secepatnya.

Sessi tanya jawab yang bergulir lebih kepada penggugatan secara teknis yang itu diakibatkan oleh miscommunication saja. Masalah pemecatan Itho Murtadha, dana diknas, dan lain-lain. Hampir lebih dari separuh waktu di sessi tanya jawab itu, dipenuhi oleh emosi dan egoisme cabang-cabang tertentu saja. Kebetulan waktu itu yang bersuara lebih banyak adalah teman-teman cabang timur dan utara. Bukan saya mendiskreditkan teman-teman di intra dan intim, namun kenyataan yang terjadi di arena kongres adalah, teman-teman lebih banyak berputar di wilayah teknis dan memainkan emosi. Mungkin ini juga menjadi salah satu akibat dari tidak optimalnya pembagian draft kongres pada sleuruh cabang. Pada akhirnya, draft kongres dari TPK tidak digunakan dan ditolak. Ketika tidak ada draft, masalah yang muncul ternyata ada tiga versi konstitusi dari Semarang, Jogja, Makasar. Padahal draft dr TPK itu telah disusun lebih dari dua bulan dan mengakomidir perbedaan2 konstitusi tersebut. Lagi-lagi permasalahannya pada komunikasi antara Roni HIdayat (Koord.TPK) dengan Bang Madjid Bati (MSO). MSO merasa tidak pernah menerima permohonan amandemen, padahal TPK telah melakukan itu secara prosedurial, dihibungi melalui telpon, dikirm melalui email, dll. Lagi-lagi yang jadi alasan adalah, email yang eror dan tidak ada data draft kongres yang diterima. Miris !!!!!!!!!!!

Pembahasan konstitusi, sebenarnya merupakan sessi penting dalam perjalanan sebuah organisasi. Dari jauh-jauh hari sebelumnya, di benak saya tergambar bahwa teman-teman kader HMI selruh Indonesia telah mempersiapkan ide-ide briliant-nya mengenai paradigma gerakan organisasi ini. Mungkin masih ingat mengenai ide rekonsiliasi yang pernah saya getol tulis? Itu bukan sekedar isu sesaat, namun coba saya kaji dari berbagai segi, historis, filosofis, sosiologis, politis,dan teknis. Saya tambah bersemangat lagi ketika tau ada ide ganti nama yang akan coba digulirkan. Bagi saya, semua ide itu sungguh-sungguh. Jujur saja, saya sudah mempersiapkan uraian kenapa kita jangan ganti nama dan harus rekonsiliasi, dengan segala alasan yang dapat diuji secara keilmuan (ada power point-nya.. dibuat sampe nglembur di sekre Mafaza ..he3). Sebenarnya hal ini harusnya disampaikan pada sebuah lokakarya, karena kongres hanya bersifat memutuskan saja. Tapi karena lokakarya tak pernah kunjung ada, ya maka kucoba persiapkan untuk kongres.

Tapi, semua tinggal kisah belaka. Karena ternyata teman-teman cabang lain tidak pernah mencoba membuat sebuah inovasi gerakan untuk disampaikan di kongres. Bahkan saya sempat berfikiran ini adalah sebuah kesengajaan untuk meminimalisir perdebatan mengenai konsep, sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah berputar-putar pada hal redaksional yang bersifat teknis.

Jujur aja, hari kedua, pembahsan AD membuat bete banget! Bertambah bete, karena melihat kenyataan bahwa ternyata sebagian besar peserta kongres justru meninggalkan ruang sidang hanya untuk konsolidasi suksesi calon ketum. Hati saya begitu marah saat itu!!! Segala umpatan berkecamuk dalam batin! Apa-apaan ini???? Forum kongres yang membahsa hal-hal mendasar malah ditinggalkan untuk sebuah suksesi. Lucu lagi, ketika salah satu kawan bilang : " Bagi kita, AD ART dan yang lainnya tidak perlu dibahas, tidak ada yang salah, yang penting..siapa nanti yang akan jadi ketum, siapa nanti pemimpinnya" .

Weleh..weleh. .. ini nieh efek dari generasi "Idol". Di kongres ini kita menghimpun mimpi, ide, dan segala potensi untuk memperkuat pondasi gerakan. Mimpi kita saja sudah tak punya, pondasi kita sudah bobrok, dipimpin oleh siapapun , akan ttap hancur. Akhirnya semua menjadi ekspresi syahwat kekuasaan belaka.

Tentang Pemilihan Formatur...

Siapapun tak bisa menampik, secara kapabilitas, Mas Chozin sangat pantas menjadi ketum PB HMI. Jangankan menjadi ketum PB, jadi presiden Indonesia pun mas chozin pantas. Dengan segala potensi yang dia miliki, saya rasa Mas Chozin adalah salah satu kader yang dapat kita banggakan di HMI.

Namun, HMI adalah sebuah organisasi perkaderan dan perjuangan. Kaderisasi adalah pondasi organisasi berlambang perisai hijau hitam ini. HMI bukan organisasi jaringan atau profesional, walaupun karya-karya kita harus disalurkan dengan kemampuan jaringan dan profesionalitas.

Maka, yang menjadi pertanyan, apakah kita yang memang sudah lelah dengan perkaderan di HMI ini, atau mas Chozin yang sudah mati orientasi kekaryaan beliau sehingga masih melihat posisi ketum PB sebagai pijakan???!. Tapi hal itu biar menjadi pertanyaan di hati kita masing-masing.

Munculnya nama mas chozin sebagai calon ketum bukan sebuah hal yang baru. Kalau tidak terexpose, mungkin itu sengaja. Dukungan teman-teman indonesia timur dan utara menjadi kekuatan utama dari naiknya mas choz di pentas kongres kemarin. Secara psikologis, wajar kalo teman-teman intim dan intra menaruh harap pada sosok yang juga menjadi moderator di milis HMI ini.

Selain teman-teman intra dan intim, bagbar juga menjadi sayap yang sangat mendukung naiknya sang alumnus Ohio- USA ini. Kondisi psikologis teman2 intra dan intim yang masih kecewa dengan kepengurusn PB kemarin dilengkapi dengan kultur pragamtisme dalam politiknya teman-teman inbagbar. Saya rasa ini gk bisa dielakan oleh siapapun. Sialahkan membela diri tapi kenyataan berkata demikian, pragmatisme adalah kultur yang sudah melekat di sebagian besar teman-teman bagian barat. Fitnah dan gosip murahan kadang dijadikan alat untuk mencapai keinginan. Entah fitnah apa saja yang sudah diberikan kepada calon ketum lain selain chozin.

Kalau memang tidak begitu, coba saja tanya, apakah mereka punya konsep untuk membangun HMI ini lebih baik. Nonsens! Mereka hanya punya strategi politik. Konseptual yang dibangun hanya berputar pada wacana. Sebenarnya potensi politik mereka baik jika dapat dikembangkan dan tetap diarah yang benar. BUkan dengan menghalalkan segala cara. Karena HMI juga bukan organisasi politik.

Inbagteng yang kuat dengan intelektualnya juga harus mengakui ketidaksolidan- nya. Dari dulu mungkin orang2 tengah yang terlalu polos dengan politik. Keilmuan dan keIslaman itulah yang kemudian menjadi pilar gerakan di bagian ini. Kemarin sebenarnya cukup kuat ketika dalam dukungan ke Azwar, walaupun agak terlambat mengkonsolidasikan gerakan. Bagian tengah juga dianggap yang "menggembosi" kinerja PB dua tahun yang lalu. Astaghfirrulah, masih ada yang tega menganggap seperti itu. Padahal kalau kita tengok, siapa saja yang kemudian berperan membangun pondasi kinerja PB selama dua tahun kemarin. Dari mulai pleno I, II, III, event2 yang ada di PB, melakukan fungsi-fungsi komisi dengan baik, kebanyakan juga teman-teman tengah. Mas Azwar, mas uud, mas trisno, sampai mbah Muhyidin, semua menjadi martir dalam perjuangan kemarin walaupun pada akhirnya semua tertutup oleh pola komunikasi yang buruk oleh Ketum. Namun, bang Syahrul juga bukan tak berusaha sebaik mungkin. Di kesempatan kali ini, (walau sudah saya sampaikan di kongres kemarin juga), saya menyatakan terimakasih dan sangat salut , apresiasi yang sangat tinggi untuk kinerja teman2 tengah yang ada di PB. Kalau kemarin ada penolakan LPJ itu murni sebagai sebuah pembelajaran untuk berusaha ke yang lebih baik. Kalau kita menerima,juga atas dasar yang kuat, bukan semata-mata karena ada orang2 bagian kita yang ada disana.

Dukungan kita bukan sebatas pada penerimaan dan penolakan LPJ, tapi perhatian kita yang penuh.Ups, agak ngelantur ya. Kembali tentang calon ketum PB. Sebenarnya saya udah speechless. Mo bilang apa? Semua terjadi karena emosional saja.

Mas Chozin secara konstitusi tidak sah untuk maju menjadi calon formatur. Beliau LK I pada tahun 1997, Sudah hitungan tahun ke-12 menjadi kader..dan itu berarti sudah alumni. Hal ini sudah disampaikan di kongres. Mengenai ayat kedua di konstitusi ttg peraturan masa keanggotaan, mas Chozin saat ini tidak menjabat apa-apa dalam kepengurusan di HMI. Kalau ada di HMINews, beliau adalah direksi PT.Kapisentra, bukan bagian dari HMI." Kenapa nggak ngomong di kongres kemarin shin?"

Ya, itu dia yang saya sesalkan hingga saat ini. Bukan saya nggak berani ngomong, tapi memang suasana saat itu sudah diliputi emosi. Adzan Shubuh sudah memaksa semuanya untuk menyudahi perdebatan. Ketika saya kembali dari sholat shubuh, ternyata semua sudah berkahir. Keterlambatan ini sangat saya sesalkan hingga pulang ke Purwokerto. Secara tidak langsung, saya dan konstituent kongres telah mengkhianati konstitusi kita sendiri. Padahal baru semalam kita mengesahkan konstitusi, berdebat mengenai contents yang ada dalam pedoman perkaderan, keanggotaan, dll.

Di kongres pertama ini, saya baru merasakan kesungguhan dan kecintaan yang penuh pada HMI. Saya rasa semua kader akan merasa sedih dan kecewa atas adanya inskonstitusional ini, jika mereka memang bersungguh-sungguh membangun pondasi gerakan ini.

Saya pun masih yakin mas chozin dan cabang Sleman tak pernah punya niat untuk mematikan perkaderan. Kalau katanya ada kabar untuk mematikan hegemoni sebuah golongan tertentu di kampus UGM, ya semoga mereka menganggap bahwa cara menaikkan mas Chozin di ketum PB menjadi cara yang terbaik. Walaupun dulu di awal saya bilang, " Tanpa menjadi ketum PB, mas Chozin dapat berkontribusi banyak di HMI".

Mungkin Agak lebai kalau tau , ada air mata yang sempat menetes di beberapa kader yang menyesalkan pemilihan formatur ini. Menangis karena matinya perkaderan, dan menangis karena tak dapat berbuat banyak. Namun karena perkaderan pula, kita harus bangkit.

Kemenangan mas Chozin juga tidak mutlak. Bahkan selisih dengan mas Azwar hanya sedikit (tiga suara). Lucunya lagi, ada sms tak dikenal kepada saya dengan mengatakan "tiga suara itu?" . Saya paham maksudnya, terserah mau berasumsi apa. Yang pasti, bagi saya dan juga teman-teman Purwokerto, perkaderan adalah pondasi dari organisasi ini. Dengan selisih suara yang sedikit itu, menjadi PR besar bagi ketum PB saat ini, bahwa selain dukungan besar, saat ini juga ada kekecewaan yang besar. Bahkan beberapa sempat berkata " Ah..sudahlah. .kalau kayak gini..saya outsider saja". Masih tanda tanya, apakah para personil MSO itu mau untuk menerima tawaran itu. Atau teman-teman yang seharusnya bisa masuk di PB. Beberapa selentingan juga ada yang enggan untuk membantu di PB.

Tapi, saya rasa...lepas dari itu semua. Kecelakaan perkaderan ini kita ikhlaskan saja. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Toh pada akhirnya, kecewa, sedih, lelah, dan marah, harus terhapuskan oleh sebuah asa akan sebuah cita. Di HMI itu cuma belajar ikhlas..mengikhlask an segalanya. Termasuk mengikhlaskan sebuah kematian kader. Yang terpenting adalah berkarya.

Justru kita berterimakasih pada mas Chozin yang masih mau untuk turun langsung di kancah perjuangan ini. Saya rasa itu perlu pemikiran yang sangat dalam, untuk mau terjun langsung.

Toh, PB bukanlah segalanya. Saya sebagai pengurus cabang juga menyadari bahwa ternyata kongres itu hanyalah sebagai sebuah bentuk politisasi saja. Cabang Purwokerto masih menantikan sejuta ide dan karya. PB bukanlah segalanya, ujung tombak gerakan ini ada di komisariat dan cabang. Satu pesan sms dari salah seorang kandidat ketum " ...bahwa teman-teman di cabang nggak boleh patah semangat! Pejuang itu tak boleh sedih dan kecewa. Jadikan semua momentum untuk bangkit...."

Sekali lagi air mata ini mengalir, tapi bukan sedih...melainkan sebuah semangat, bahwa asa itu harus tetap ada. Bahwa ini justru awal perjuangan kita semua.

Tentang Penutupan Kongres XXVII......

Miris. Nggak sebanding dengan pemberitaan media, sebenarnya upacara penutupan kongres kemarin adalah memperalat untuk kampanye JK saja.
Saya tidak tahu apa yang bisa disebut dengan kebanggaan pada acara penutupan kemarin? Apakah kita yang terlalu katro dengan segala kemewahan dan publisitas itu?

Saya yang memilih duduk di belakang, melihat ke-katro-an itu semua. Kita dengan seenaknya diatur-atur untuk sebuah protokoler kenegaraan saja. Hal-hal kecil, misal pakaian bang Syahrul yang kurang formal, atau tata duduk teman-teman peserta. Semua diatur-atur. Yang pake celana jeans atau kurang sopan jangan duduk disamping, nggak sopan! Saya hanya terkekeh dalam hati. Perasaan saya pernah mengikuti beberapa event yang dihadiri oleh pejabat penting nggak seekstrim itu. Waktu festival sastra internasional di Batavia Hotel, tak ada aturan2 seperti itu. Tau sendiri kan gimana penampilan para sastrawan?? Tapi..itu semua dibiarkan karena kita punya karya untuk diapresiasi. Sastrawan-sastrawan itu memang dihargai ,punya karya, jadi nggak bisa seenaknya diatur-atur protokolernya. Tapi kalau di penutupan kongres kemarin, JK yang dihargai, bukan JK yang menghargai. Kesannya memang seperti JK yang menghargai HMI karena sudi hadir. Tapi sebenarnya HMI lah yang menghargai JK karena dibela2in menutup acara hanya karena pada jam itulah JK sempat untuk mampir. Padahal, acara penutupan itu juga inkonstitusional. Masih ada dua sidang lagi yang belum terselesaikan. Berdasarkan pedoman keprotokoleran, acara penutupan kemarin itu ya nggak bener. Sekali lagi, kita sudah mengkhianati konstitusi kita sendiri. Itu padahal baru beberapa menit lho disahkan dalam kongres, Bagaimana kdepannya???Semoga bisa menjadi pelajaran...

Tentang Sebuah Karya....... .

Dari segala potret buram di kongres kemarin, sebentuk mimpi, asa dan cita-cita masih terus akan bergulir...dan itu sempat terangkum dalam sebuah buku kecil berjudul : "HMI : Keabadian dan Inovasi Gerakan". Tersusun atas empat bagian, : HMI dan Pemikiran KeIslaman ; HMI dan MOdernitas; Kohati dan Rekayasa Sosial; Dinamika Politik Kontemporer. Di dalamnya termuat ide-ide yang bukan hanya menjadi sebuah "keabadian" namun juga merupakan bentuk inovasi gerakan yang merupakan bait asa dan cita kader. LIma belas kader yang turut rembug menulis dalam buku ini yaitu : Zubaeri; Maksun (Cak Sun); Shofa Sadulur; Ahmad Nuralam; Angga Yudhiansyah; Ahmad Sahide; Darwin; M.Syamsul HIdayat; Ade al-Ghazaki; Dusrinah, SH; Shinta arDjahrie (^_^) ; Novi Kurnia; Kusuma Dewi Subakhir; Lukman Hakim,Moh.Syafe' i; dan Zulkarnain Patwa.

Sebenarnya kalo diliat-liat. .penulisnya itu orang-orang dari cabang Jogja, atau diistilahkan sebagai sebuah bentukan karankajen. Kecuali saya tentunya. Karena ke sekre Karangkajen aja baru satu kali...he3. Tapi, lepas dari itu semua, ini adalah sebuah bentuk pemikiran yang coba diabadikan melalui tulisan. Dengan editing yang handal oleh Ahmad Nuralam dan Ahmad Sahide, buku ini dikemas apik dan patut mendapatkan rekomendasi bagus untuk konsumsi para kader. Untuk teman-teman yang berminat, bisa menghubungi teman-teman cabang JOgja, hanya Rp 20.000,00. Saya juga lampirkan scan cover dari buku tersebut. Bukan sekedar numpang promo, tapi lebih meyakinkan, bahwa kita masih dan akan terus punya asa untuk berkarya..baik itu melalui tulisan ataupun karya-karya lain.

Btw, saya ingat postingan bang Ferizal Ramli di milis brapa waktu lalu tentang pengembangan IT opensource. Mungkin bisa disampaikan idenya mas, karena di PKN (Program Kerja Nasional) PB HMI, kemarin di kongres sempat disahkan adanya sebuah program untuk pengembangan rekayasa teknologi informasi. Apalagi kalo kita liat tingkat kegaptekan temen2 kader sangat memprihatinkan. Terlihat dari permasalahan yang menjadi peredebatan di LPJ PB maupun LPT MSO,adalah masalah komunikasi lewat phone or email. Memalukan memang..tapi saat ini bukan saatnya untuk malu...tapi untuk bangkit.

Yup..sementara hanya sampai ini mungkin rantai bait kongres XXVII ini saya posting. Kongres yang menumbuhkan cinta mendalam, bahwa HMI ini hanyalah sebuah alat tapi tak dapat digantikan oleh alat apapun.Yakin Usaha Sampai!!!

*ditulis oleh Shinta arDjahrie
tulisan ini diambil dari --www.ntacaholic.co.cc dan pernah ditulis di facebook

Kamis, 21 Mei 2009

Carut Marut Dunia Pendidikan

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 01.44
Kurikulum pendidikan Indonesia selalu mengalami revisi dan revisi. Kendati demikian masih banyak terjadi kekacauan. Paling tidak kekacauan ini dapat dilihat dari orientasi pembangunan pemerintah yang masuk dalam kurikulum. Orientasi pembangunanisme, yaitu sebuah ideologi kopian dari kapitalisme yang dihadapi negara untuk kepentingan pertumbuhan dan tidak memperhatikan masyarakat.

Bicara masalah pembangunan di indonesia, pembangunan telah diorientasikan sebagai media produksi untuk menopang industrialisasi pembangunanisme di indonesia. Dalam bahasa Wardiman (link and match). Dari asumsi itu kemudian lahir sebuah pandangan yang sangat materialistik. Keberhasilan pembangunan ditentukan dari seberapa banyak lulusan yang mampu menempati dunia kerja. Hal ini berarti pendidikan telah dicerabuti esensinya. Esensi pendidikan untuk mencerdaskan dan menciptakan manusia yang hakiki telah dieksploitasi dan direduksi habis menjadi sedemikian instant. Proses pendidikan hanya untuk mempelajari hal-hal teknis. Menyiapkan kognisi dan psikomotorik untuk siap di dunia kerja.

Apabila dibedah mengenai bahan ajar yang diajarkan di sekolah dasar tampak terlihat pendidikan selalu dimuarakan pada kepentingan negara. Masyarakat pun tanpa sadar telah menerima kognisi tersebut. Masyarakat mulai memiliki logika sama bahwa keberhasilan pembangunan ujung-ujungnya adalah kapital. Keadaan ini tidaklah masalah manakala diikuti dengan pertimbangan sisi afeksi. Namun kenyataannya sekolah sekarang ini menjadi semacam rezim pengetahuan yang sangat kaku dan mendikte perkembangan kognisi anak didik. Jadi, anak didik dipaksa seragam dalam memahami sesuatu termasuk didalamnya memahami apa itu pembangunanisme dan bagaimana berperan disana. Masyarakat yang diproses dan diproduk dari pendidikan semacam ini tanpa sengaja (karena proses ini sangat hegemoni) memilki pola pikir yang seragam dalam mempersepsi setiap persoalan. Hal ini praktis kesalahan besar karena kesergaman adalah suatu kemandulan.

Apabila mengamati proses belajar mengajar di kampus, praktis kampus tidak mencerminkan perubahan apa-apa bagi kekuasaan wacana pendidikan di Indonesia. Kampus menjadi bangunan kekuasaan yang mendominasi pemikiran. Kampus menerapkan program kuliah yang begitu ketat ditambah lagi orientasinya yang tidak berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah. Hal yang lebih parah lagi, mahasiswa belajar bukannya untuk mengukir prestasi keilmuan tetapi dijejali persoalan-persoalan yang jauh dari realita. Bukankah ini sebuah malapetaka besar tatkala mahasiswa mengaku dirinya sebagai pelaku golongan menengah intelektual di Indonesia?

Praktis di ruang kuliah mahasiswa tidak mendapatkan persoalan-persoalan riil untuk dijawab bersama. Keadaan ini bercampur dengan orientasi instant developmentalisme dimana keberhasilan kuliah ditentukan setelah lulus mahasiswa disalurkan kemana. Jadi, orientasi keilmuan dipangkas habis-habisan. Dengan kondisi semacam ini masihkah kampus memiliki orientasi keilmuan? Bukannya kampus telah melakukan rutinitas belajar dengan sistem pembelajaran yang standart dan sudah dipatenkan, tidak ada daya tawar. Mahasiswa dituntut mampu berpikir sangat instant yang kemuadian mahasiswa kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Mahasiswa, sebagai kelompok sosial yang teralinasi dalam lingkungannya. Lihat betapa banyak mahasiswa yang tidak berani kembali ke desa dan tidak berani menghadapi persoalan riil di masyarakat. Mungkin bisa juga dilihat dari berapa banyak pengangguran intelektual di indonesia. Kondisi yang parah ini memang kampus diciptakan untuk merepresentasi kepentingan negara dan tidak digunakan untuk merepresentasi perkembangan pengetahuan. Karena digunakan untuk merepresentasi kepentingan negara maka kekuasaan yang diadaptasi di kampus sangat mirip dengan negara. Sangat kaku dan berorientasi pada develop-develop.

Bukankah ini telah mencerabuti esensi-esensi belajar, mencerabuti esensi pengetahuan. Jika memang orientasinya link & match, maka perlu adanya semacam hubungan yang intens antara lembaga pendidikan dan industri. Kemudian muncul problem ada mata kuliah. Teori-teori yang diajarkan umumnya sudah kadaluarsa sehingga untuk bersaing di dunia kerja, mahasiswa perlu belajar lagi.

Sebenarnya esensi pendidikan itu adalah mengembangkan potensi kemanusiaan secara utuh dengan tetap memperhatikan kognisi, afeksi dan psikomotorik. Kognisi tergarap tapi tidak tuntas. Pengembangan kognisi di kampus hanya sebatas kulit dan tidak mencoba menggali persoalan yang lebih mendalam. Psikomotorik, ada pendidikan yang telah memiliki psikomotor murni tapi betapa banyak perguruan tinggi yang pengembangan psikomotornya masih lemah.

Sebenarnya pendidikan itu tidak ada hubungannya dengan ideologi developmentalisme negara. Negara juga harus tahu diri dan tidak bermain di ranah pendidikan hanya untuk kepentingan pembangunan prakondisi yang stabil. Efek pendidikan yang ruwet ini merupakan pengaruh kekuatan negara yang tidak dapat dibendung oelh kekuatan apapaun di masyarakat termasuk di dalamnya pendidikan. Agama pun habis dihadapan negara. Agama dijadikan objek kekuasaan yang hanya mengusung simbol sementara membuang rohnya. Begitu juga dalam pendidikan dimana kepentingan negara terlalu kuat. Kurikulum diciptakan sedemikian rupa untuk menciptakan keseragaman pola pikir. Kondisi ini menguntungkan negara karena semakin rendah resistensi masyarakat pada negara, negara semakin membabi buta dalam mendikte masyarakat untuk menuntaskan proyek-proyek negara termasuk developmentalisme.


CITRA BANCH SALDY

DIREKTUR LEMBAGA PERS MAHASISWA ISLAM (HMI-MPO) CABANG PURWOKERTO



HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU