Kamis, 10 September 2009

Anatomi Kasus Bank Century

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.05
Oleh: Djony Edward

Senin, 31 Agustus 2009 10:59 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan uring-uringan dengan Menteri Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI), meski di bulan Ramadhan. Apa pasal? Tak lain tak bukan menyangkut bail out Bank Century sebesar Rp6,76 triliun dari yang direstui DPR sebesar Rp1,09 triliun.


Bisa difahami mengapa DPR marah, karena memang apa yang direstui dan realisasinya jauh panggang dari api. Apalagi LPS sebagai eksekutor pengucuran dana talangan tak memberi tahu kalau kebutuhan dana melonjak hingga sebesar Rp5,67 triliun. Apalagi saat LPS minta restu DPR untuk mengucurkan dana ke Bank Century sebesar Rp1,3 triliun pada Februari 2009, sesungguhnya akhir Desember 2008 sudah mengalir sebesar Rp5,67 triliun. Sehingga DPR merasa dibohongi oleh LPS, BI maupun Depkeu.

Tapi sebenarnya langkah LPS yang diorder BI dan Depkeu juga masuk akal, karena adanya kebutuhan pencairan dana deposan besar hingga mencapai Rp5,67 triliun.
Seperti diketahui, pada November dan Desember 2008 tiga deposan besar: Keluarga Sampoerna, PT Jamsostek dan PT Timah menarik depositonya di Bank Century sebesar Rp5,67 triliun. Jadi memang ada dasar hukum dan dasar emosional yang melatarbelakanginya.

Inilah pangkal persoalan yang memicu kemarahan serta kecurigaan DPR sehingga langsung memerintahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi atas rekapitalisasi bank hasil merger dari Bank CIC, Bank Pikko, dan Bank Danpac itu.

Kalah Kliring
Kasus Bank Century sebenarnya berawal dari penyakit bawaan bank yang namanya “kalah kliring”. Kontan saja para petinggi negeri ini bereaksi, namun pola komunikasi dan upaya klarifikasi yang dilakukan tidak simetris, ditambah lagi ada pihak yang memancing di air keruh, sehingga justru kontra produktif terhadap upaya menenangkan nasabah.

“Kalah kliring”, sebuah istilah yang membingungkan nasabah. Lantaran itu BI sebagai otoritas moneter melakukan “stop kliring” atas bank yang lebih pantas disebut money changer tersebut.
Padahal yang esensial dari pola komunikasi mengenai apa yang terjadi pada Bank Century adalah magnitude kalah kliring dan berapa lama stop kliring itu dilakukan. Tapi karena penjelasannya ngalor-ngidul nggak karuan dan tidak membatasi pada apa yang sesungguhnya terjadi pada Bank Century, yang ditangkap publik justru lebih besar dari persoalan yang sesungguhnya.

Celakanya, ada yang memancing di air keruh, menebar rumor, dan mengambil untung di tengah kekacauan. Ujung-ujungnya, BI malah mengancam akan menangkap si pembuat rumor. Pertanyaannya, apakah pejabat BI tidak pantas ditangkap jika dikemudian hari ada bank yang harus tumbang tergerus krisis keuangan global ini? Mestinya ini suatu level playing field yang sama, kalau penyebar rumor saja disa ditangkap karena ulahnya menggelisahkan publik, maka pejabat BI juga bisa ditangkap karena gagal menyelamatkan perbankan.
Tapi sudahlah, daripada ancam mengancam, adalah lebih bijak fokus pada pola komunikasi yang produktif, mudah dimengerti, dan yang terpenting sesuai dengan kadar persoalan yang ada.

Gara-gara 5 Miliar
Apa yang terjadi pada Bank Century, paling tidak menurut pengakuan manajemennya, hanya semacam keterlambatan mengalokasikan dana untuk prefund sebesar Rp5 miliar yang memang harus tepat waktu. Hermanus H. Muslim, dirut Bank Century, mengatakan pihak manajemen baru sempat menyetor 15 menit lebih lambat dari waktu yang seharusnya dilakukan pada pukul 08:00 WIB. Jadi penyebabnya bersifat teknikal sekali.

Oleh karena sistem kliring di BI begitu ketat, sehingga kendati telat satu menit saja, maka bank yang telat menyetor dana prefund tidak boleh mengikuti transaksi antarbank pada hari itu. Hanya saja bank itu masih boleh melakukan transaksi lewat Real Time Gross Settlement (RTGS).

Karena dana prefund telah disetorkan, maka pada hari berikutnya (Jumat, 14 November 2008), Bank Century sudah kembali mengikuti transaksi kliring secara normal.
Tapi karena pada hari dimana Bank Century mengalami stop kliring, membuat penarikan dana nasabah terganggu. Puluhan, bahkan ratusan nasabah antre untuk dapat menarik dananya di bank itu. Suasana ini seperti mengingatkan publik pada peristiwa rush yang terjadi di PT Bank Central Asia Tbk pada pada 1997, walaupun strukturnya jauh berbeda.

Oleh karena ini masalah teknis yang biasa sehingga tidak menimbulkan gejolak di pasar uang. Tingkat bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) satu hari hanya naik tipis dari 9,686% menjadi 9,766%. Sehari sebelumnya BI memproyeksikan kebutuhan likuiditas pada hari itu sebesar Rp70,3 triliun, sementara ketersediaan likuiditas di pasar mencapai Rp71,6 triliun. Jadi memang likuiditas perbankan saat itu sebenarnya dalam batas aman.

Tetap heboh
Tapi mengapa menjadi heboh? Jawabnya sudah bisa ditebak. Arus informasi yang berseliweran dengan nada dan irama yang tidak meneduhkan, malah membingungkan, membuat nasabah resah.

Pada saat yang sama, krisis global yang melanda sektor keuangan dunia, dampaknya sulit dihindarkan lembaga keuangan nasional. Cerita stop kliring Bank Century diasosiasikan nasabah sebagai multiplier effect dari krisis keuangan global.

Sementara trauma rush yang melanda BCA pada 1997 hingga kini belum hilang benar. Pada saat yang sama media yang mengkafer isu tersebut sering mengandalkan rumor, informasi lapis kedua, ketiga dan seterusnya, ketimbang mengandalkan informasi A-1. Sehingga yang ada di-back mind publik adalah perbankan pernah kolaps karena rush, dan itu sewaktu-waktu dapat muncul kembali.

Sedangkan Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan penghentian sementara perdagangan saham Bank Century akibat gagal kliring tersebut. Sehingga yang tergambar dibenak publik, akan ada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) jilid II. Bank-bank yang kolaps akan diberikan fasilitas saldo debet, fasilitas diskonto (Fasdis) I dan II, fasilitas surat berharga pasar uang khusus (FSBPUK), new fasdis, fasilitas saldo debet, hingga dana talangan valas dan dana talangan rupiah.

Itulah kekhawatiran publik. Tapi kekhawatiran itu tanpa bimbingan sehingga semakin besar, padahal sejak 2008 tidak ada program penjaminan 100%, yang ada adalah program penjaminan maksimum Rp100 juta per rekening nasabah. Itupun melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang esensinya sebenarnya uang bank itu sendiri yang dijaminkan melalui surat berharga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimiliki bank bersangkutan di BI. Pendek kata, BLBI dengan kondisi seperti sekarang ini tidak dimungkinkan lagi, tapi penjelasan itu tidak memadai bahkan tidak ada. Wajar jika kemudian nasabah berbondong-bondong ke Bank Century.

Untung saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara dengan mengatakan perbankan nasonal aman. Gubernur BI Boediono (akhir 2008) menyampaikan bahwa rumor yang beredar di perbankan membingungkan. Menneg BUMN/Plt Menkeu Sofyan Djalil menegaskan likuiditas perbankan aman. Demikian pula Deputi Gubernur Senior BI (saat itu) Miranda Swaray Goeltom menjamin bahwa likuiditas perbankan dalam tahap yang normal.

Pihak Bank Century sendiri mempersiapkan dana cadangan untuk meningkatnya penarikan dana nasabah. Sambil menjelaskan secara teknis apa yang sesungguhnya terjadi.
BI secara proaktif mengajak wartawan melihat dari dekat bagaimana proses kliring di bank sentral. Sehingga wartawan ketika menulis informasi seputar kliring mendapat gambaran yang jelas baik mengenai kliring, proses kliring dan bagaimana settlement kliring dilakukan.
Walaupun sempat membuat resah gelisah, klarifikasi-klarifikasi yang disampaikan akhirnya dapat meneduhkan suasana kembali.

Tindak
Lepas dari kekakahan kliring yang diderita Bank Century, sebenarnya pemilik bank itu juga melakukan tindak kriminial, sebagaimana bankir-bankir dimasa lalu. Lewat PT Antaboga Delta Sekuritas, Robert Tantular selaku pemegang saham kendali bank itu menggangsir dana nasabah hingga Rp2,6 triliun.

Ini mirip dengan kasus-kasus kejahatan perbankan sebelumnya, dimana teori kejahatan mengatakan 90% kejahatan perbankan dilakukan oleh orang dalam.
Gejala ini tidak seharusnya terjadi jika tim pengawas Bank Indonesia dan Bapepam mengendus sejak awal soal transaksi pat gulipat tersebut. Apalagi Bank Century adalah bank hasil merger dari Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac yang track record-nya ada pada BI.

Tapi itulah nasib perbankan nasional selalu memberi ruang yang longgar bagi pelaku tindak kejahatan perbankan tersebut. Seolah-olah BI dan Bapepam tutup mata, sehingga muncullah kasus yang memalukan industri perbankan itu untuk yang kesekian kalinya.
Karena itu perlu disidik siapa pejabat BI yang mengawasi langsung Bank Century, siapa pihak imigrasi yang meloloskan atau membantu meloloskan Robert Tantular ke luar negeri.

Problem Sistematik?
Ada informasi yang asimetris dalam penyelamatan Bank Century ini. Pada masa-masa awal krisis ditahun 2008, pejabat BI selalu meneduhkan nasabah dengan mengatakan kasus bank itu bukanlah tipe kasus sistemik. Oleh karenanya risiko keuangan yang harus ditanggungpun tidak akan sebesar yang terjadi saat ini.

Tapi belakangan pejabat BI yang lain menegaskan bahwa kasus itu merupakan kasus sistemik. Oleh karena itu diperlukan Perpu No. 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Walaupun harus diakui bahwa mempersoalkan Perpu sangat tidak tepat benar, karena esensinya adalah bagaimana memperlancar pencairan dana jika dalam satu kurun perbankan mengalami collapse. Karena Perpu tersebut hanya berjalan di forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menetapkan apakah Bank Century dalam keadaan sistemik atau tidak.

Sementara proses penyelamatan yang dilakukan oleh LPS sepenuhnya tunduk pada UU LPS.

Sehingga mendasari latar belakang tersebut, maka yang jadi masalah adalah, apakah memang Bank Century bisa dikatakan dalam keadaan sistemik? Tentu tak seorangpun mampu menjawab apakah itu sistemik atau tidak pada saat ini. Karena mungkin saja seseorang menggunaka parameter yang berlaku saat ini dengan menjangkau masa lampau.

Sebaliknya, jika terjadi keadaan bank seperti yang dahulu dialami Bank Century pada saat ini, maka bank itu sudah selayaknya ditutup karena memang ada unsur kriminal di dalamnya. Artinya, persoalan sistemik yang terjadi pada Bank Century memang sarat dipengaruhi oleh krisis ekonomi global yang terjadi saat itu. Ketika krisis itu sudah berlalu, kita sering mencerca seolah-olah suasana yang terjadi pada detik ini adalah suasana yang sama dan identik dengan suasana pada detik keputusan itu diambil. Karena itu, masalah Bank Century adalah bukan masalah legal dispute, tapi masalah politik. Artinya, semakin pemerintah memberi jawaban, sejujur apapun jawaban itu, semakin panas situasinya.

Adapun persoalan kriminal yang dilakukan oleh Robert Tantular dkk. itulah yang juga harus dikejar mulai dari sistem pengawasan hingga jebolnya dana nasabah lewat instrumen perusahaan sekuritas yang dimilikinya, yakni Antaboga. Saya yakin bahwa pengawas BI yang diutus di Bank Century sudah mencium gelagat buruk di bank itu. Persoalannya mencium adalah satu hal dan menindak adalah hal lain. Itu sebabnya siapa saja tim pengawas Bank Century di bank sentral, harus diperiksa guna mempertanggungjawabkan kinerjanya.

Dana Perbankan Vs Dana Rakyat
Hal lain yang tak kalah seru adalah soal dana talangan ke Bank Century yang mencapai Rp6,76 triliun. Apakah dana itu dana rakyat atau dana perbankan. Untuk menjawab masalah ini kita harus bongkar jeroan dana LPS dan sistem yang berlaku dilembaga penjaminan itu.

Seperti diketahui, sejak berdirinya LPS pada 2005 pemerintah menyuntikkan dana awal untuk operasional sebesar Rp4 triliun. Berdasarkan UU No. 24/2994 tentang LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.

Dalam perjalanannya, LPS selain menetapkan besaran bunga penjaminan yang kemudian diacu perbankan nasional, lembaga itu juga berjalan dengan prinsip asuransi. LPS menetapkan satu premi tertentu kepada bank yang ingin menjaminkan dana nasabahnya, sehingga jika terjadi apa-apa pada bank tersebut maka LPS lah yang mengkafer dana tersebut.

Hanya saja risiko yang ditanggung adalah risiko keuangan, dalam industri asuransi risiko keuangan sebenarnya termasuk yang dihindarkan karena risikonya tanpa batas. Sejak berdiri tahun 2005 hingga 2009, LPS sudah berhasil mengumpulkan premi dan dana awal dari pemeritah sebesar Rp14 triliun.

Sejauh ini memang dalam kasus Bank Century yang memiliki skala persoalan Rp6,76 triliun masih terkafer oleh dana LPS. Tapi pertanyaannya, apakah LPS sanggup mengkafer jika ada dua tiga bank seperti Bank Century, atau bahkan lebih besar? Tentu saja likuiditas LPS akan tergerus dengan sendirinya. Lantas kalau dana LPS sudah habis jaminan perbankan akan dicabut? Tentu ini akan berdampak pada kepercayaan nasabah. Tapi kalau tidak dicabut, itu artinya dana nasabah harus dibebankan ke APBN.

Pendek kata sejauh kasus Bank Century memang dana yang digunakan untuk menalangi krisis keuangan bank itu benar-benar dana murni dari sistem perbankan. Premi-premi perbankan yang dibayar ke LPS digunakan untuk menutup kerugian bank itu, artinya LPS memang tidak ada hubungannya dengan APBN.

Hubungan itu akan terbuka lagi jika LPS tidak sanggup menanggung risiko collapse-nya bank-bank berikutnya. Artinya preseden BLBI mungkin saja dapat terulang dikemudian hari. Tapi untuk saat ini sama sekali masih murni dikafer oleh dana LPS.

Bank Valas
Lepas dari plus minus penanganan isu gagal kliring, core business Bank Century yang memang di bidang jual beli valuta asing ini, sekarang sudah aman. Ini adalah peninggalan dari Bank CIC yang menjadi anchor bank (bank jangkar) dari merger dengan Bank Pikko dan Bank Danpac pada 2004.

Saat merger Bank Century memilki 64 kantor cabang dengan modal dasar Rp4,2 triliun dan modal disetor Rp1,7 triliun. Selain itu, Century memiliki total aset Rp8,11 triliun dana pihak ketiga sebesar Rp6,19 triliun. Adapun rasio cukupnya modal (CAR) sebesar 12,82% dengan kredit bermasalah (NPL net) 1,7% dan loan to deposit ratio (LDR) 35,03%.

Kepemilikan Bank Century terdiri dari Chinkara Capital Limited sebesar 27,70%, Claas Consultant 12,93%, Outlook Invesment 5,42%. Selain itu, Century juga dimiliki oleh UOB Kay Hian sebesar 5,41%, CFGL FCC 4,28% dan masyarakat sebesar 45,26%.

Berdasarkan laporan keuangan Bank Century per 30 September 2008, tercatat rasio kredit terhadap simpanan atau LDR-nya naik menjadi 47,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu 33,18%. Artinya, bank ini terus menggenjot fungsi dana pihak ketiga dalam bentuk pelemparan kredit.

Mayoritas dana pihak ketiga, persisnya sebesar 80% berasal dari dana mahal atau deposito, sementara sisanya berasal dari tabungan dan giro. Manajemen berusaha agar komposisi dana mahal dan murah bisa seimbang 50% berbanding 50%.

Direktur Utama Bank Century (ketika itu) Hermanus M. Muslim menjelaskan bisnis valuta asing perseroan tidak terganggu signifikan terkait volatilitas rupiah beberapa waktu lalu. Bisnis bank notes merupakan kontributor terbesar perolehan fee base income Bank Century. Tahun ini pendapatan dari bisnis itu ditargetkan mengkontribusi 20% dari total pendapatan perseroan.
Ke depan, otoritas fiskal maupun moneter, terutama para pengelola negeri ini, harus lebih sensitif terhadap segala kemungkinan. Apalagi dampak krisis global tidak hanya menghantam AS, tapi juga sudah masuk ke wilayah Eropa, jazirah Arab, dan mungkin saja hanya masalah waktu sampai ke Asia, khususnya Indonesia.

Penjelasan yang utuh, terkoordinasi, dan jujur menjadi kata kunci bagi ketenangan berbisnis perbankan. Sudah saatnya semua pihak terus berkoordinasi dan berkomunikasi agar dapat menyampaikan permasalahan dengan benar, dan yang lebih penting agar dapat mengatasi persoalan dengan tepat.

Beberapa Pertanyaan
Terkait dengan kucuran dana rekapitalisasi Bank Century yang mencapai Rp6,76 triliun memang mengundang sejumlah pertanyaan. Pertama, apakah lonjakan dana rekapitalisasi itu tidak harus sepengetahuan DPR, karena biar bagaimana DPR adalah perwakilan rakyat, artinya, setiap sen uang rakyat yang digunakan harus seizing, atau paling tidak sepengatuan DPR. Walau kemudian Menkeu Sri Mulyani Indrawati berkelit bahwa dana LPS bukanlah dana APBN, sehingga tak ada kewajiban minta izin DPR.

Kedua, katakanlah UU No. 24/2004 tentang LPS mengatur kebolehan lembaga itu mengeksekusi setiap kebutuhan dana rekapitalisasi bank yang kolaps, tapi etika kontrol tetap ada di DPR dan sudah selayaknya dihormati. Lantas mengapa penggelontoran dana LPS mengalir begitu saja tanpa diketahui DPR.

Ketiga, bukankah dana penjaminan setiap nasabah maksimum Rp100 juta sebagaimana ketetapan Pasal 11 UU LPS dari sebelumnya secara bertahap diturunkan: seluruh simpanan, maksimal simpanan Rp5 miliar, maksimal simpanan Rp1 miliar, hingga akhirnya maksimal simpanan Rp100 juta. Lalu mengapa para pemroses pencairan dana tiga deposan besar itu pasrah bongkokan mengucurkan penuh uang yang mereka rush sebesar Rp5,67 triliun.

Murnikah penarikan itu?

Keempat, mengapa nasib Depkeu, BI, dan LPS harus mengulangi nasibnya pada tahun 1998 dimana setiap ada bank run selalu memposisikan diri sebagai bandar yang siap merugi? Bukankah bersikap memaksimalkan penutupan kerugian risiko bank kepada pemilik jauh lebih masuk akal ketimbang terus terusan membebani uang rakyat.

Kelima, berapa besar kekuatan dana LPS sehingga untuk satu Bank Century saja sudah menggerogoti kas lembaga penjaminan itu hingga Rp6,76 triliun lewat empat kali suntikan? Konon di belakang Bank Century ada 23 bank yang juga tengah ‘batuk-batuk’ sementara total aktiva LPS kurang lebih hanya Rp14 triliun.

Keenam, kalau krisis perbankan benar-benar bersifat sistemik sehingga menghabiskan aktiva LPS, siapa yang harus menanggung kekurangannya? Mengingat total kewajiban penjaminan pada tahun 2008 mencapai antara Rp400 triliun hingga Rp500 triliun.

Ketujuh, dalam kasus Bank Century sebenarnya dipicu keterlambatan manajemen lama melakukan kliring hanya sebesar Rp5 miliar dan tingkat ketelatan 15 menit. Tapi beban dana talangan melonjak hingga Rp6,76 triliun. Siapa yang bertanggung jawab atas kelalaian ini sehingga beban kliring melambung sebegitu besar?

Kedelapan, tingkat kebocoran yang tinggi di Bank Century mencerminkan lemahnya pengawasan BI dan pemerintah. Lantas dimana tanggung jawab otoritas moneter dan otoritas fiskal tersebut dalam kasus Bank Century?

Kesembilan, melihat lemahnya pengawasan dan penanganan pada kasus Bank Century, apakah tidak ada jaminan bank lain akan menggerogoti dana LPS, hingga akhirnya menggerogoti dana pemerintah c.q. dana rakyat? Contoh kasus merebaknya penggerogotan dana nasabah di Bank Century (Sri Gayatri dkk) lewat PT Antaboga Delta Sekuritas hingga mencapai Rp2,6 triliun, ternyata perusahaan sekuritas ini milik pribadi Robert Tantular yang nota bene juga pemegang saham pengendali Bank Century. Penggangsiran uang nasabah oleh Antaboga mengapa bisa lolos dari pengawasan BI dan Bapepam?

Kesepuluh, saat krisis global seperti sekarang ini membuat LPS Amerika (Federal Deposit Insurance Corporation-FDIC) harus merogoh kocek hingga US$66,9 triliun untuk mengatasi 416 bank bermasalah. Bagaimana dengan Indonesia? Mengapa adem ayem seolah tidak ada masalah, tapi tahu-tahu ada kabar mengejutkan seperti Bank Century?

Akankah otoritas moneter dan otoritas fiskal kembali menampilkan drama mengejutkan dikemudian hari, sebagaimana terjadi dimasa lalu? Kita tunggu saja kelanjutannya…!


* artikel ini diambil dari http://hminews.com/jurnal/anatomi-kasus-bank-century/

No Response to "Anatomi Kasus Bank Century"

HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU