Selasa, 29 Juni 2010


Aksi buruh

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 05.10






Aksi Reformasi dan Kebangkitan nasional di DPR RI

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 04.51





Aksi Solidaritas Palestina

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 04.41



Foto-foto aksi hari buruh Mei 2010

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 04.37


Senin, 28 Juni 2010

Sistem Multipartai dan Koalisi

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.23
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti*

MERAJUTdemokrasi di Indonesia dengan sistem kepartaian yang mendukung terciptanya stabilitas politik sekaligus menghasilkan kesejahteraan rakyat masih merupakan impian bagi Indonesia.

Daniel Dhakidae dalam buku suntingan William Liddle,Crafting Indonesian Democracy(Bandung: Mizan,2000), menyebutnya ibarat lagu The Beatles,“ The Long and Winding Road” (Jalan Panjang yang Berliku), penuh kendala politik. Daniel menggambarkan secara singkat bagaimana pengalaman Indonesia dengan tiga bentuk demokrasi sebelumnya yang kesemuanya gagal. Demokrasi parlementer/ demokrasi liberal/demokrasi konstitusional antara 1950– 1959 dengan sistem multipartai telah menyebabkan Konstituante gagal membuat konstitusi negara yang baru dan lebih lengkap dibandingkan dengan UUD 1945. Persoalan pokoknya antara lain pada pertentangan mengenai ideologi negara yang akan dianut Indonesia, Pancasila atau Islam?

Selain itu, seringnya terjadi mosi tidak percaya di parlemen juga menjadi penyebab sulitnya tercipta stabilitas politik saat itu. Ada dua pandangan mengenai gagal tidaknya demokrasi parlementer. Pertama,dianut kaum realis atau politisi yang mendasarkan pandangannya pada kekuatan (power) politik. Menurut pandangan mereka, demokrasi parlementer tidak gagal, melainkan dimatikan oleh permainan dua kekuatan politik yang menyatu, yaitu Presiden Soekarno dan TNI AD, sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan DPR.

Kedua, kaum idealis saat itu memang mengakui bahwa demokrasi parlementer gagal karena tiga hal, yaitu kurangnya tingkat pendidikan rakyat, kurangnya budaya demokrasi yang dianut para elite politik walau mereka mendasari dirinya dengan konstitusi negara UUDS 1950, dan kurangnya basis ekonomi sebagai penunjang demokrasi. Hingga kini masih terdapat anggapan, jika demokrasi ingin berjalan baik, rakyat harus mendapatkan pendidikan yang memadai, kultur demokrasi juga harus terinternalisasi di hati dan pikiran para politikus, serta tingkat kesejahteraan rakyat sudah memungkinkan mereka tidak terombang- ambing oleh godaan uang atau rakyat sudah dapat bertanggung jawab dan dewasa dalam menentukan pilihan politiknya.

Demokrasi terpimpin (1959– 1965) yang dijalankan Presiden Soekarno melalui pendekatan planned and systemic democracy(demokrasi yang terencana dan sistemik) atau guided democracy (demokrasi terpimpin) atau democracy with leadership (demokrasi dengan kepemimpinan), dengan mengurangi proses politik dan menekankan tujuan akhir pada masyarakat yang adil dan makmur, juga gagal menciptakan sistem politik yang stabil dan sistem ekonomi yang baik. Apa yang terjadi justru terjadi pengambilalihan kekuasaan pada dini hari 1 Oktober 1965 sebagai akibat dari perseteruan politik yang amat akut antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan TNI AD.

Bangunan segitiga hubungan kekuasaan antara Soekarno di puncak piramida,TNI AD di kanan bawah, dan PKI di kiri bawah hancur berantakan.Pada pertarungan kekuasaan itu Soekarno dan PKI runtuh, TNI AD memenangi pertarungan politik saat itu.Namun, satu hal yang patut dibanggakan saat itu,Presiden Soekarno sempat melakukan nation and character building dan menjaga agar sumber daya alam kita tidak dijarah habis oleh para penanam modal asing, khususnya dari Amerika Serikat. Demokrasi Pancasila yang awalnya diterapkan secara demokratis oleh Letjen Soeharto dengan tujuan membentuk tatanan politik baru (Orde Baru) menggantikan tatanan atau Orde Lama yang katanya busuk, korup, otoriter dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia,pada perjalanan berikutnya justru tidak berbeda dengan sistem politik demokrasi terpimpin.

Meski sembilan partai politik dan satu Golongan Karya (Golkar) kemudian diperas menjadi dua parpol (Partai Persatuan Pembangunan serta Partai Demokrasi Indonesia) dan Golkar, ternyata hal itu hanya menciptakan stabilitas politik yang semu karena segalanya dihasilkan melalui politik represif yang dijalankan ABRI dan bukan melalui proses politik yang demokratis. Gaya pemerintahan Presiden Soeharto bahkan lebih menekankan kepemimpinan ketimbang demokrasi.

ABRI sebagai penopang rezim saat itu dibalut dengan kemasan sebagai stabilisator dan dinamisator politik Indonesia, juga tidak mencapai tujuan politiknya, yaitu menyejahterakan rakyat.Tiga bentuk legitimasi politik yang dibangun––stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan–– hancur luluh lantak setelah terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada 1997–1998, disusul dengan demonstrasi mahasiswa, rapuhnya koalisi rezim yang berakhir dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Ke mana Arah Politik Kita

Kini, 12 tahun sudah kita mengenyam era Reformasi dengan kebebasan politik yang begitu terjamin. Upaya kita untuk menciptakan sistem kepartaian yang memungkinkan terciptanya stabilitas pemerintahan serta mencapai masyarakat yang adil dan makmur, belum sampai pada saat yang menggembirakan. Upaya kita untuk menyederhanakan sistem kepartaian secara alamiah,bukan fusi partai paksaan seperti pada 1973,dengan menerapkan electoral treshold dan parliamentary treshold, belum juga dicapai hasil karena pada setiap pemilihan umum,selalu ada saja ada partai baru atau partai lama yang berganti nama demi bisa ikut pemilu.

Penulis ingat ajaran guru saya, Arbi Sanit,bahwa sistem multipartai mungkin saja lebih demokratis karena rakyat dapat terwakili aspirasi politiknya melalui partaipartai itu.Namun,pada saat bersamaan, sistem multipartai sederhana seperti yang kita anut sekarang, sulit mencapai konsensus politik, termasuk di dalam pemerintahan koalisinya sendiri. Sebaliknya, sistem dua atau tiga partai dominan bukan berarti tidak demokratis, karena di dalam sistem itu rakyat juga dapat terwakili. Konsensus politik juga mudah dicapai. Persoalannya,kalau kita menganut sistem dua atau tiga partai,secara sosiologis, dari pengalaman sejarah, juga sulit.

Apakah kita akan membagi partai-partai politik atas dasar partai nasionalis sekuler dan partai nasionalis agama? Persoalan lain yang kita alami, tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia partai-partai nasionalis hanya akan berkoalisi politik dengan partai yang memiliki ideologi yang mirip atau partai Islam hanya berkoalisi dengan partai Islam saja. Lihat betapa Masyumi pecah menjelang Pemilu 1955. Lihat betapa sulitnya partai yang beraliran Islam modernis bergabung dengan Islam tradisionalis. Bahkan kini, PPP sebagai representasi partai Islam di era Orde Baru, pecah berantakan dan kini bahkan sedang menghadapi persoalan akan keluarnya Parmusi dari PPP.

Mungkinkah pula antara partaipartai nasionalis tengah berkoalisi dengan partai Islam kanan secara permanen, sementara koalisi satunya juga merupakan koalisi permanen antara partai nasionalis kanan dengan partai Islam tengah? Gagasan semacam ini pun sulit diejawantahkan karena koalisi pemerintahan lebih didasari kepentingan politik sesaat (ad hoc) untuk tokoh politik yang maju menjadi calon presiden, ketimbang didasari kepentingan politik permanen untuk meraih, menjalankan, mempertahankan kekuasaan demi menciptakan masyarakat adil dan makmur.

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Tulisan ini dimuat dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/334528/38/

Subsidi Listrik dan Kenaikan Tarif Dasar listrik

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 22.48
Listrik merupakan salah satu energy yang sangat dibutuhkan dan menjadi tumpuan banyak jenis usaha di masyarakat. Apabila ada kenaikan terhadap biaya listrik, maka akan disikapi oleh pemakai listrik dengan berbagai macam cara. Pengurangan penggunaan sebagai bentuk penghematan listrik menjadi salah satunya. Aka tetapi industry akan sulit mengurangi besarnya penghematan. Kesulitan tersebut dapat dikarenakan pertumbuhan produksi akan memerlukan daya listrik yang sangat besar.


Seberapa besar peta kelistrikan di Negara kita ini?. Pada saat ini kondisi ketenagalistrikan kita sedang mengalami deficit karena tahun 2009 besarnya produksi listrik lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan dimasyarakat. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dari pemerintah untuk meningkatkan daya dari PLN agar dapat mencukupi kebutuhan akan listrik. Padahal masih banyak daerah di wilayah Indonesia yang belum dapat penerangan listrik dari PLN. Pada gambar dibawah ini terlihat bahwa kedepan apabila deficit daya masih terjadi dimungkinkan adanya pemadaman bergilir.


Kelistrikan di Indonesia


Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan industry yang menyebabkan permintaan akan listrik meningkat. Permintaan untuk rumah tangga dan industry merupakan dominan dari permintaan listrik di Indonesia. Pertumbuhan perumahan yang memerlukan listrik untuk penerangan mau tidak mau harus dipenuhi. Sector industry yang sedang mengalami perkembangan juga memerlukan supplay energy yang tidak sedikit.

Pada gambar 1 menunjukan bahwa dari tahun 2002-2008 besarnya produksi listrik masih diatas konsumsi. Namun pada tahun 2009 sudah mulai berubah dari konsumsi berada lebih besar dibandingkan dengan produksinya. Sementara produksi listrik di Indonesia sebagain besar berbahan bakar solar, batubara dan gas. Sehingga apabila terjadi kenaikan harga bahan bakar akan terjadi peningkatan harga produksi.


Gambar 1 perkembangan Produksi dan Konsumsi Listrik Di Indonesia



Kita juga perlu mengetahui seberapa besar subsidi untuk listrik oleh pemerintah. Pada gambar dibawah ini menunjukan perkembangan subsidi dari tahun ke tahun. Besarnya anggran yang digunakan untuk subsidi dari pemerintah kepada sector kelistrikan mengalami tren naik sampai tahu 2008 karena harga minyak mentah tinggi. Mulai tahun 2009 terjadi penurunan subsidi untuk listrik dan subsidi tahun 2010 melebihi tahun 2009 setelah mengalami perubahan.


Gambar 2 Perkembangan subsidi listrik oleh pemerintah



Pada APBN-P 2010 terjadi perubahan anggaran terkait juga dengan subsidi. Salah satu sumber perubahan pada Belanja Negara adalah pada Subsidi Energi yaitu Subsidi BBM, LPG dan BBN menjadi Rp88,9 triliun dari sebelumnya di APBN 2010 hanya Rp68,7 triliun. Subsidi Energi lainnya yaitu Subsidi Listrik, di APBN-P 2010 menjadi Rp55,1 triliun atau naik dibanding APBN 2010 yang hanya Rp37,8 triliun. Untuk Subsidi Non-energi, di APBN-P 2010 sebesar Rp57,3 triliun atau naik dibanding APBN 2010 yang hanya Rp51,3 triliun. Kenaikan Subsidi Non-energi tersebut antara lain disebabkan adanya kenaikan Subsidi Pangan, Subsidi Pupuk dan Subsidi Benih. Subsidi Pangan menjadi Rp14,0 triliun dari sebelumnya di APBN 2010 hanya Rp11,4 triliun. Subsidi Pupuk menjadi Rp18,4 di APBN-P 2010 naik dibanding APBN 2010 yang hanya 14,8 triliun. Subsidi Benih juga mengalami kenaikan menjadi Rp2,3 triliun dibanding APBN 2010 hanya sebesar Rp`1,6 triliun.


Dari hasil perubahan anggaran pemerintah, semua subsidi mengalami peningkatan apabila dibandingkan dari sebelumnya. Subsidi untuk BBM, LPG dan BBN merupakan paling besar pada tahun 2010 setelah mengalami perubahan sebesar 44 % dari total subsidi. Sedangkan subsidi untuk listrik sebesar 27 %, lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya 24%. Subsidi yanglainl adalah untuk sector non energy hanya 29 %. Dapat lebih jelas dapat dilihat pada gambar 3 dan 4.


Gambar 3 Perubahan besaran subsidi tahun 2010



Gambar 4 Persentase Subsidi Pada APBN-P 2010



Kenaikan Subsidi listrik dan Kenaikan Tarif dasar listrik


Ironis memang kalau besarnya subsidi naik, akan tetapi justru tarif listrik dinaikan. Hitung hitungan dari dari pemerintah bukan menjadi dasar yang tepat. Hal ini karena kanaikan listrik yang akan diberlakukan akan berpengaruh terhadap sektor yang tidak selalu tercatat, sehingga kebijakan akan menjadi bias apabila data yang digunakan sebagai acuan kurang akurat. Selain inflasi yang akan terjadi akiba adanya kenaikan tarif dasar listrik. Ada beberapa hal yang akan terpengaruh.


Pertama adalah mengenai dampak bagi sektor usaha kecil dan menengah. Apabila untuk jenis pelanggan 450-900 volt tidak dinaikan belum tentu sektor usaha kecil tidak terpengaruh. Hal ini karena beberapa sektor usaha kecil mempunyai ketergantungan dengan usaha menengah terkait dengan bahan baku. Kenaikan harga barang-barang hasil produksi pasti akan terjadi dan yang menanggung adalah konsumen. Kenaikan harga produksi dapat membebani perusahaan dan sangat memungkinkan adanya rasionalisasi karyawan untuk mengurangi biaya. Sehingga pengangguran dapat meningkat.


Kedua, perdagangan bebas sudah diberlakukan terutama dengan cina. Kenaikan listrik akan mengurangi daya saing kompetitif harga di pasaran. Padahal dengan kondisi normal saja industri nasional mengalami banyak kesulitan. Sehingga dalam jangka pendek industri akan terpukul dan sektor industri dapat mengalami kelesuan dan penurunan.


Ketiga, hak masyarakat untuk mendapat fasilitas lisrik belum dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Mengingat masih banyak daerah yang belum dilayani oleh listrik. Sehingga pembangunan tidak akan dapat merata ke seluruh wilayah indonesia.


Kebijakan Pemerintah dalam kelistrikan untuk pembangunan


Pemerintah terkesan sangat membela kaum miskin dan masyarakat bawah. Padahal banyak kebijakan yang merugikan masyarakat bawah. Subsidi dinegara manapun selalu ada, termasuk di Negara yang sangat kapitalis seperti Amerika serikat. Bahkan subsidi menjadi acuan bagi keberlangsungan sebuah pemerintahan. Dijepang dan AS, subsidi terhadap produk pertanian cukup besar dan dari decade ke decade tidak berani untuk dilakukan perubahan. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang berusaha untuk mencabut semua subsidi jikalau memungkinkan.


Sector kelistrikan dan energy serta non energy yang dalam anggaran pemerintah terdapat komponen subsidi lambat laun berusaha dikurangi karena dianggap membebani dan salah sasaran. Dengan belum efisienya PLN dan persediaan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar yang efisien belum dilakukan. Pola yang sudah ada menjadi sebuah aktivitas yang berbiaya tinggi dan akibatnya apabila ditanggung oleh masyarakat akan keberatan.


Kemandirian energy seharusnya menjadi prioritas pemerintah yang akan menjadi modal dalam pembangunan ekonomi bangsa. Listrik menjadi sangat vital bagi pertumbuhan industry dan produksi nasional. Maka perlu untuk dikelola dengan seefisien mungkin tanpa harus membebani kepada masyarakat. Dalam hal ini terobosan energy untuk listrik dapat dilakukan termasuk penggunaan energy nuklir untuk pembangkit energy listrik.


Kesimpulan dan Rekomendasi


Subsidi merupakan hal yang wajar bagi sebuah Negara. Terlepas dari subsidi tidak medidik kemandirian, akan tetapi kondisi bangsa Indonesia yang masih banyak mengalami kemiskinan, sehingga memerlukan subsidi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengurangan subsidi akan berdampak langsung kepada masyarakat kecil dan bukan pada masyarakat menengah atas. Karena memang subsidi diperuntukan bagi masyarakat yang membutuhkan.


Listrik merupakan kebutuhan yang vital masyarakat. Dengan kenaikan listrik akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat kalangan bawah. Sektor usaha kecil dan menengah yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia akan terkena imbasnya. Sehingga kemungkinan terjadinya peningkatan pengangguran dimasyarakat. Padahal pemerintah berusaha untuk mengurangi pengangguran dengan pertumbuhan industri.


Pemerintah tidak perlu untuk mengurangi subsidi untuk listrik apabila pengusahaan listrik dilakukan dengan benar dan efisien. Sehingga yang perlu untuk di benahi adalah system penyediaan energi terutama listrik. Pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak bagi pembangkit harus segera dilakukan.



Penulis: Warijan (Ketua Komisi Ekonomi PB HMI)


http://hminews.com/

Minggu, 27 Juni 2010

HMI Dalam Dialektika Sejarah Gerakan

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 21.03

pbhmiNET, Opini- HMI adalah sebuah organisasi gerakan mahasiswa Islam yang sudah sangat tua, didirikan oleh mahasiswa Islam di Yogyakarta tepat pada tanggal 5 Februari 1947. Salah satu pendiri yang terkemuka adalah Lafran Pane, seorang mahasiswa pertama di Sekolah Tinggi Islam sekarang bernama UII. Didirikanya HMI adalah untuk ikut serta mempertahankan NKRI (kebangsaan) dari ancaman penjajahan asing dan melestarikan dan mengamankan ajaran-ajaran Islam. Sehingga bisa dikatakan HMI adalah organisasi yang berwawasan Islam kebangsaan[1] atau nasionalis agamis.


Perjalanan HMI pada awal kemerdekaan banyak terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajah asing (Belanda) yang melancarkan Aksi Militer II pada 19 Desember 1949. Ini sebagai suatu dukungan kepada pemerintahan Sukarno untuk untuk melawan neokolonialisme dan imperialisme (neokolim) yang menggurita di Negara Indonesia.


HMI sebagai gerakan mahasiswa punya independensi yang kuat untuk ikut berperan serta dalam menyelesaikan problematika kebangsaan. Meskipun pada waktu itu banyak ormas dan partai yang berideologi Islam, namun tidak berpengaruh terhadap konsistensi HMI dalam memutuskan sutau hal yang berkaitan dengan politik bangsa. Bahkan pada pemilu 1955, HMI tidak mendukung partai politik Islam tertentu apapun dengan membiarkan anggota-anggotanya memilih sesuai dengan hati nuraninya masing-masing. Pada hal waktu itu HMI diharapkan bisa mendukung Masyumi karena punya kesamaan wawasan keagamaan yang baru.[2]


Terjadinya resistensi antar ideologi masyarakat Indonesia lewat pertarungan elit parlemen[3] berakibat terjadinya instabilitas politik pemerintahan dan perpecahan dikalangan tokoh-tokoh bangsa. Sehingga membawa polarisasi dikalangan masyarakat, yang mengancam persatuan rakyat Indonesia untuk melawan kolonial asing. Untuk menghindari perpecahan dan membawa kepada semangat Revolusi Proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno mengganti sistem demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin dengan gagasan menyatukan nasionalis, agama, dan komunis (nasakom).


Namun demokrasi terpimpin yang dibuatnya banyak ditentang oleh beberapa tokoh bangsa terutama Hatta yang notabene teman dekatnya sendiri. Sukarno dianggap pemimpin yang otoriter dan diktatur, menyingkirkan lawan-lawanya yang berseberangan dan kontra revolusi. Seperti pembubaran Masyumi karena dianggap ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), dan lain-lain.


Perpecahan akibat pertentangan ideologi-ideologi politik masyarakat membuat pemerintahan Sukarno menjadi goyah, Sukarno tidak bisa mengatasi pertarungan elit politik antara kelompok agama dan komunis, dan tidak bisa menyelesaikan krisis ekonomi sehingga harga kebutuhan pokok masyarakat melambung tinggi. Pertarungan ideologi-ideologi politik mempengaruhi peta gerakan mahasiwa, sehingga terjadi suatu polarisasi dan perebutan pengaruh dilingkungan kampus antara CGMI (Underbow Partai komunis), dan HMI. Bahkan di Jawa Timur terjadi pemasungan terhadap aktifitas HMI dikampus akibat sikap resisten Dr. Ernst Utrecht Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berhaluan kiri dengan mengeluarkan pengumuman yang melarang HMI ikut serta didalam kegiatan apapun.


Keadaan Negara yang tidak stabil baik itu diwilayah politik maupun ekonomi, membuat HMI mempelopori pertentangan terahadap pemerintah Sukarno dengan mengkonsolidasikan seluruh elemen-elemen gerakan mahasiswa dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa). Mereka menuntut penurunan harga, retoling kabinet dan pembubaran PKI. Tuntutan ini juga disebut dengan tiga tuntutan rakyat (TRITURA) sampai akhirnya Sukarno tumbang oleh gerakan mahasiswa (HMI), dan Militer.


Relasi Kekuasaan


Perjuangan HMI untuk menjadi gerakan yang independen di uji pada era pemerintahan Suharto yang menggantikan Sukarno. Pada era ini banyak diantara stoke holder HMI membangun relasi dengan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tarik menarik terhadap hegemoni Negara. HMI yang selama ini sebagai sahabat militer sewaktu menjatuhkan Sukarno harus menghadapi pergulatan yang pelik ketika pemerintahan militer Suharto tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Sukarno bahkan lebih tiran dan otoriter.


Devolepmentalisme yang menjadi ideologi Negara pada waktu itu telah menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Demi memuluskan pembangunan ekonomi lima tahunan (repelita), Suharto melakukan pembersihan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap kritis dan mengancam stabilitas politik, karena kelompok-kelompok itu bisa merusak rencana pembangunan ekonominya. Maka untuk menjaga stabilitas politik pemerintahan, Suharto mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan dengan maksud mefusikan kelompok-kelompok masyarakat dibawah satu payung yaitu Pancasilaisme.[4]


Keluarnya UU keormasan ini berimplikasi besar terhadap perubahan asas keorganisasian masyarakat, agama dan mahasiswa. Seperti Muhammadiyah dan NU merubah asasnya dari Islam menjadi pancasila. Sedangkan ditubuh internal HMI terjadi perpecahan mensikapi UU ini, menjadi dua kelompok.[5]


Kelompok pertama bersikap pragmatis-realistis-opurtunis untuk menerima UU pemerintah; yang kedua menolak dengan segala idealisme yang dipegangnya karena mereka menganggap Negara tidak berhak untuk mengatur dan mengintervensi rumah tangga organisasi apapun. Akhirnya perpecahan tidak bisa dihindari, kelompok yang menerima asas pancasila dan mengidentikan dirinya dengan nama HMI Diponegoro, sedangkan yang menolak mengidentikan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).


Lahirnya Anak Muda Anti Hegemoni Negara


Setelah keputusan menolak intervensi negara untuk merubah asas Islam menjadi pancasila, mejadikan HMI MPO sebagai gerakan mahasiswa penentang rezim pemerintahan Suharto. Pada awal-awal perpecahan anak muda HMI MPO harus berjuang dengan sembunyi-sembunyi untuk menghindari penangkapan aparat pemerintah yang tidak segan bertindak represif.


Pancasilaisme yang diterapkan oleh orde baru menjadi senjata bagi Suharto untuk memberikan stigma subversive kepada organisasi-organisasi yang menolak asas Pancasila. Pancasila telah dikebiri dan dimanipulasi dari semangatnya oleh Suharto menjadi alat legitimasi untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya.


Gerakan menentang kebijakan pemerintah orde baru sudah muncul ketika gerakan mahasiswa 1974an[6] menolak produl-produk asing (Jepang) yang masuk besar-besaran di Indonesia. Mereka menganggap ini sebagai kebijakan yang pro asing yang membuat harga produk-produk lokal akan terpinggirkan. Masuknya produk-produk asing ke Indonesia merupakan bagian dari agenda monopoli ekonomi Indonesia oleh kapitalis internasional yang berkonspirasi dengan kapitalisme lokal.


Dari sejak awal berkuasa, pemerintahan orde baru ingin membangun ekonomi Indonesia dengan faham kapitalistik, pintu masuknya dimulai dengan dikeluarkanya UU. No. 1 Tahun 1967[7] tentang investasi asing. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah orde baru sejak menggantikan pemerintahan Sukarno. Kalau pada masa pemerintahan Sukarno sangat protektif dengan masuknya modal asing. Masa Suharto sangat terbuka dengan membiarkan perusahaan asing untuk berinvestasi dan mengeksplorasi kekayaan alam, energi dan minyak dengan alasan sebagai sumber devisa dan memajukan pembangunan ekonomi bangsa. Kebijakan yang kapitalistik ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi pemilik modal asing tetapi juga Suharto dan kroni-kroninya untuk menumpuk kekayaan demii kepentingan pribadi, dan kelompoknya.


Setelah peristiwa Malari tahun 1974, orde baru melalui menteri pendidikan Daoed Jusuf yang kemudian dikembangkan oleh Nugroho Notosusanto menerapkan kebijakan NKK/BKK 1977/1978. Organisasi kemahasiswaan yang lama dihapus dan diganti dengan organisasi yang baru yang membatasi kegiatan politik mahasiswa, mereka dilarang berpolitik dikampus, bila mahasiswa berpolitik harus menyalurkan lewat partai. Pengebirian terhadap kegiatan politik kampus merupakan intimidasi terhadap demokratisasi kampus. Kampus dianggap hanya sebagai tempat belajar dan mendalami keilmuan belaka. Pada masa itu banyak rektor-rektor kampus menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk menindak tegas mahasiswa yang ketahuan melakukan kegiatan-kegiatan politik.[8]


Perlawanan anak muda HMI MPO terhadap hegemoni rezim orde baru banyak dilakukan dengan underground sebagai bagian dari pertimbangan keselamatan jiwa mereka. Untuk bisa eksis, banyak dari anak-anak muda HMI MPO membuat kantong-kantong gerakan. Di Jakarta HMI MPO membuat Forum Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ), di Yogyakarta ada Liga Mahassiwa Muslim Yogyakarta (LMMY), di Makasar ada Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makassar (FKMIM). Selain itu aktifis HMI MPO juga banyak berjuang lewat lembaga-lembaga kampus seperti DEMA, BEM, dan lain sebagainya. Dengan kantong-kantong gerakan dan lembaga kampus, HMI MPO banyak memberikan tranformasi dengan ide-ide perlawanan terhadap hegemoni negara keseluruh unsur masyarakat dan mahasiswa. Tranformasi ini bisa menggerakan mahasiwa untuk menentang dan melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat otoriter.


Pemerintahan Suharto yang otoriter dan diktator membawa gejolak dan gelombang perlawanan dimana-mana. Sudah terlalu banyak kebijakan-kebijakan Suharto yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Pemerintahan yang mengagung-agungkan pembangunan ekonomi diatas prinsip kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) ini banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan, seperti pelanggaran HAM di Aceh dengan penerapan DOM (Daerah Operasi Militer), Papua, Tanjung Periok, penangkapan terhadap aktifis-aktifis pro demokrasi.


Dengan kebijakan yang sewenang-wenang, menambah banyak deretan musuh bagi orde baru. Dimana-mana banyak yang menentang orde baru sampai akhirnya gerakan mahasiswa menemukan isu bersama (common enemy) yaitu turunkan Suharto. Seperti badai yang siap menerjang dan melumat apapun yang dihadapannya. Gelombang perlawanan mahasiswa semakin hari semakin membesar, menuntut penurunan Suharto dari singgasana kekuasaannya.


Suara tuntutan mundur diseluruh wilayah Indonesia semakin menguat, menggema dikalangan mahasiswa, elit politik, dan masyarakat. Suharto tidak bergeming sedikitpun, ia perintahkan militer untuk menghabisi siapa saja yang menentang kekuasaanya. Pemerintah melalui militer melakukan tindakan represif terhadap gerakan pro demokrasi, sehingga banyak dari mereka diculik, ditembak dan dibunuh. Cara represif ini tidak membuat gelombang gerakan mahasiswa semakin surut tetapi semakin besar sehingga pada puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 Suharto terjungkal dari kekuasaan oleh gerakan mahasiswa dan gerakan massa. Inilah kemenangan rakyat Indonesia. Kemenangan mahasiswa dan kemenangan gerakan HMI MPO yang sejak awal menentang hegemoni Negara.


Reformasi yang Tercuri dan Dikhianati


Pasca jatuhnya Suharto dan digantikan oleh Habibie, Sinergisitas gerakan mahasiswa mulai memudar akibat terjadi perbedaan pemahaman dan penilaian terhadap kepemimpinan Habibie. Kelompok pertama mendukung kepemimpinan Habibie karena dianggap sah secara konstitusional; Kelompok kedua menolak kepemimpinan Habibie karena Habibie sama saja dengan Suharto, ia adalah kroni Suharto. Suharto dan Habibie adalah satu paket kekuasaan. Oleh karena itu, kalau Suharto mundur, maka Habibie juga harus mundur, demikian juga dengan seluruh anggota kabinet yang dibentuk Suharto.


Sentimen anti Suharto merambat kepada siapa saja yang secara langsung mempunyai hubungan denganya, dan Habibie termasuk didalamnya. Selama masa kekuasan Suharto, Habibie ditunjuk menjadi menteri riset dan teknologi dan tidak kurang dari dua puluh lima jabatan lainya, seperti kapala BPPT, BPIS, PINDAD, IPTN, PT.PAL, Ketua Otoritas BATAM, Kepala Pengembangan Kawasan Indonesia Timur dan lain sebagainya.


Dukungan dan penolakan terhadap kepemimpinan Habibie membuat perpecahan ditubuh gerakan mahasiswa yang seharusnya masih punya kewajiban untuk menuntaskan agenda reformasi secara total. Gerakan mahasiswa terlalu hanyut dalam eforia reformasi. Seperti bendungan air yang lama tidak pernah dibuka, ketika jebol mengalirkan segala kebebasan dimana-mana. Masa transisi yang sangat mengkhawatirkan bagi perjuangan cita-cita demokrasi yang luhur. Gerakan mahasiswa sibuk dengan pertentangan-pertentangan dan konflik organ, mereka tidak sadar kekuatan Suharto cepat mengkonsolidasikan diri dengan bentuk yang berbeda-beda, disisi lain ada yang mendeklarasikan diri sebagai bapak reformasi dengan dilegetimasi oleh oknum mahasiswa.


Seakan mengulangi sejarah dari sebuah sejarah perubahan, yang dibalik perubahan ada yang menganggap paling pioneer dan meniadakan komponen dari agent perubahan itu sendiri. Seperti revolusi Rusia yang melahirkan Lenin dan menegasikan Tolstoy, revolusi Cina dengan melahirkan Mao Zedong dan menegasikan rakyat Cina, revolusi Iran dengan melahirkan kaum Mullah yang menegasikan perjuangan seluruh komponen masyarakat Iran.


Reformasi ternyata hanya milik segelintir tokoh atau kelompok tertentu, tak urung hilangnya nyawa ratusan mahasiswa hilang ditelan oleh hiruk pikuk tepukan dari kelompok mahasiswa yang mendaulat kepada segelintir orang sebagai tokoh reformasi. Reformasi hanya sebagai kesempatan bagi yang haus kekuasaan, bagi yang berlomba-lomba menginginkan jabatan, dimana-mana mereka berbicara perubahan, dimana-mana mereka melakukan sesuatu yang tidak identik dengan perilaku rezim orde baru, namun perilaku, sifat dan pikirannya sama bejatnya dengan orde baru. Reformasi telah tercuri oleh segelintir elit politik, tercuri dari akar kesejarahanya.


HMI MPO di Tengah Gerakan Mahasiswa


Ditengah-tengah hilangnya idealisme dan keindependenan gerakan pada masa transisi-reformasi, HMI MPO sebagai gerakan mahasiswa tetap konsisten dengan keindependenannya, tidak terikat oleh apapun dan siapapun, tetapi terikat oleh cita-cita perjuangan menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur yang diridlhai oleh Allah SWT. Sehingga ketika mahasiswa terjebak kepada fanatisme tokoh dan golongan, aktifis HMI MPO telah membuang penyakit-penyakit itu. Tidak heran ketika gerakan mahasiswa terpecah dalam persoalan menolak dan mendukung diberhentikannya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan,[9] HMI MPO mendeklarasikan turunkan empat tokoh sekaligus dari kekuasaan. Yaitu: Amin Rais, Akbar Tandjung, Megawati, dan Abdurrahman Wahid.


Polarisasi gerakan mahasiswa (GEMA) sebagai fakta yang harus diamini, ada gerakan Islam, nasionalis, ada komunis (sosialis). Ini menimbulkan gesekan dan perebutan pengaruh dimasyarakat maupun di kampus. Pertarungan dan perebutan pengaruh antar GEMA sebagai dinamika gerakan yang positif untuk berlomba-lomba memberikan kontribusi kepada Negara. Namun ini juga punya peluang besar terjadinya konflik yang tidak sehat, sehingga GEMA sibuk dengan konflik antar mereka. Sehingga melupakan tanggung jawab yang lebih besar yaitu menyelamatkan Negara dari cengkraman kapitalisme internasional berkolaborasi dengan borjuis nasional pro kapitalis yang masih mengakar kuat di bumi Indonesia.


Salah satu cara yang harus dilakukan oleh HMI MPO untuk membangun gerakan mahasiswa yang massif adalah menjadikan kampus sebagai ruang konsolidasi strategis antar gerakan mahasiswa untuk mendiskusikan isu lokal, nasional dan internasional. Sehingga terjalin kesamaan frame berfikir dalam mensikapi realitas yang ada.


Peran HMI MPO sebagai pengawal perubahan bagi bangsa ini perlu dipertahankan dengan selalu menjadi pelopor gerakan (avandt garde) ditengah-tengah GEMA lain. Wawasan kebangsaan dan keIslaman (nasionalis agamis) harus menjadi cara pandang untuk melihat segala masalah pada bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini. Penjajahan asing baik melalui penggelontoran hutang-hutang luar negeri, Multi National Corporation (MNC), dan borjuis nasional pro kapitalis yang merugikan masyarakat, menjadi musuh bagi bangsa dan HMI. Maka HMI harus membawa GEMA pada arah dan tujuan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan bangsa (NKRI) dan menjaga kerukunan antar masyarakat beragama, berkepercayaan dan berkebangsaan.



By: mche ridwan


Ketua Komisi Politik PB HMI



Note


[1] Wawasan islam kebangsaan ini banyak di tuangkan dalam pemikiran-pemikran tokoh-tokoh hmi seperti Nurcholis Madjid, Dawan Rahardjo, Ahmad Wahib dan Johan Effendy


[2]
Victor Tanja, hlm 85

[3] Dalam sejarah pemerintahan Soekarno banyak persaingan-persaingan ditingkatan elit parlemen untuk saling mendominasi, seperti MASYUMI, NU, PNI, dan PKI. Dan empat partai ini mempunyai basis masa sendiri-sendiri dan pemahaman yang berbeda-beda. Mayumi yang dikuasai pemahaman islam reformis/puritan, punya basis masyarakat islam di jawa dan luar jawa, NU dengan pemahaman islam yang dipadukan dengan adat istiadat dan kepercayaan jawa, punya basis masyarakat islam dijawa, PNI dengan paham nasionalis kebangsaan dapat dukungan dari pegawai pemongpraja (pegawai pemerintah), PKI dengan paham komunis anti kapitalis punya basis buruh, termasuk buruh tani didaerah jawa. Lihat Rode dkk, pengantar ilmu politik, hlm 483


[4]
Setelah keluarnya UU keormasan Orde baru banyak menertibkan organiaasi-organisasi sosial dan mahasiswa seperti para petani dikelompokan dalam organisasi HKTI (Himpunan Kelompok Tani Indonesia), para nelayan dikelompokan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), para buruh/pekerja dikelompokan dalam SPSI (Serikat pekerja seluruh Indonesia), para pemuda/mahasiswa dikelompokan dalam KNPI (Komite nasional pemuda Indonesia), pengelompokan-pengelompokan ini dimaksudkan oleh pemerintah orde baru untuk mudah melakukan pengawasan. Lihat Rodee dkk dalam buku pengantar ilmu politik terbitan raja grafindo persada, 2002, hlm. 490

[5] Perpecahan ditubuh HMI ini selain timbul karena adanya intervensi negara yang ingin memaksakan kepentingan homogenisai ditubuh organisasi-otganisasi mahasiswa dan masyarakat melalui pancasilaisme. Juga karena perbedaaan pemahaman dan sikap poltik, ada yang menginginkan HMI tampil sebagai organisasi yang ada dalam garis perjuangan keagamaan dan ada yang menginginkan sebagai orgnauisaisi poltik yang lebih pragmatis atau lebih kompormis dengan kepntingan negara pada waktu itu. Lihat pendapat Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Paradigma Islam Interprestasi untuk Aksi. Bandung:Mizan, 1996. Hlm. 200

[6] Peristiwa penentangan terhadap masuknya produk asing ini banyak memakan korban dikalangan mahasiswa yang pada waktu itu dipimpin oleh Hariman Siregar, dan banyak aktifis-aktifis pada waktu itu ditahan, peristiwa ini terkenal sebagai peristiwa malari (lima belas januari) 1974. Lihat buku karangan Harima Siregar tentang gerakan mahasiswa terbitan Teplok Press.

[7] Dengan keluarnya UU No. 1 tahun 1967, sebagai ikhwal dari pertama kali masuknya koorporasi asing PT Freeport (amerika) ke papua, untuk mengeksplorasi migas dan energi disana. Dalam perjalananya pengelolaan itu tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat papua, tetapi hanya menguntungkan Pt Freepot dan kaum elit kekuasaan. Sehingga pada waktu itu memunculkan keinginan dari masyarakat Papua untuk merdeka. Keinginan merdeka ini, sebagai rasa kekecewaan terhadap pemerintahan orde baru, cita-cita kesejahteraan yang pernah dijanjikan oleh Soekarno, Hatta, dan M Yamin kepada mereka pupus sudah dengan pemerintahan Soeharto. Dan perlu diingat bergabungnya Papua barat tidak terlepas dari bujukan ketiga tokoh tadi dengan program demokratik mereka

[8] Intervensi Negara terhadap kampus, tidak hanya berdampak kepada peranan Negara untuk mengurusi kurikulum pendidikan, tetapi juga sebagai penataan terhadap kehidupan mahasiswa dikampus, ini skenario orde baru untuk mengisolasi kampus dari konsolidasi gerakan mahasiswa yang kritis terhadap kekuasaan.

[9] Isu penurunan Gus Dur berawal dari parlemen yang diprakarsai oleh poros tengah, golkar dan PDIP yang banyak mempengaruhi sikap dan penilaian gerakan-gerakan mahasiswa terhadap posisi gusdur sebagai presiden dan sikap dan penilaian itu membawa terpecahnya gerakan menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang mendukung diberhentikanya gusdur adalah HMI, KAMMI dan IMM, sedangkan kelompok kedua yang menolak diberhentikan adalah PMII, FORKOT, Famred, PRD. Sedangkan kelompok ketiga adalah HMI MPO yang mensuarakan turunkan empat tokoh sekaligus yaitu; Gus Dur, Amin Rais, Akbar Tandjung dan Megawati. lihat juga tulisanya Nur Khalik Ridwan dalam bukunya Islam Borjuis dan Islam Proletar. Hlm. 143

Sabtu, 19 Juni 2010

HMI Bukan Anas, Anas Bukan Lagi Anggota HMI

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.25


Jakarta, pbhmiNET (18/6) - Bagai petir di siang bolong, tiba-tiba terdengar berita tentang HMI connection dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat periode 2010-2015. Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai ketua partai demokrat dalam kongres di Bandung beberapa waktu lalu bukan merupakan kemenangan HMI. HMI adalah organisasi perkaderan sekaligus organisasi perjuangan, di organisasi ini senantiasa diungkapkan bahwa addinul haq merupakan satu-satunya tolok ukur dimana kebenaran dipertaruhkan dan prinsip di pertahankan.

Merebaknya isu tentang HMI connection dalam kemenangan dan susunan kepengurusan Partai Demokrat periode 2010-2015 dibawah komando Anas Urbaningrum, seperti di katakan Heru Dharsono dari Jaringan Nusantara di Jakarta, tidak benar. Jauh sebelum Partai Demokrat ada, HMI sudah ada. PB HMI menilai pendapat tersebut sangat keliru kalau di kaitkan dengan HMI.

PB HMI tidak pernah terlibat dalam perpolitikan partai demokrat apa lagi mencampuri kepengurusan partai Demokrat. "Kami menolak dengan tegas kalau kepengurusan partai demokrat di kaitkan dengan HMI", demikian ditegaskan Ketua Umum PB HMI M. Chozin Amirullah di Jakarta. Anas bukan lagi anggota HMI tapi Alumni HMI , sebagaimana tertuang dalam konstitusi HMI, hal ini harus bisa dibedakan. "Kalau alumni HMI wadahnya KAHMI". Jadi HMI bukan Anas, Anas bukan lagi anggota HMI.


sumber ; www.pbhmi.net

Jumat, 18 Juni 2010

Mengutuk Barbarisme Israel

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.06

Menyikapi penyerangan tentara Israel terhadap Kapal Mavi Marmara yang membawa misi bantuan kemanusiaan internasional “Freedom Flotilla” ke Jalur Gaza, Palestina, pada 31 Mei 2010, maka PB HMI (MPO) melalui situs resminya www.pbhmi.net menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mengutuk keras tindakan Israel yang brutal dan sewenang-wenang sebagai bentuk tindakan pelanggaran dan kejahatan terhadap misi kemanusiaan. Kejahatan itu membuktikan bahwa Israel adalah bangsa barbar. Misi Freedom Flotilla adalah misi kemanusiaan yang membawa bantuan bagi warga Gaza yang telah bertahun-tahun terkena blokade ekonomi dari pemerintah zalim Israel.

2. Meminta pemerintah Indonesia untuk menggunakan jalur diplomatik yang dimiliki untuk menggalang kekuatan terutama dari dunia Islam guna menyeret pemerintah Israel ke Mahkamah Internasional atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dan melakukan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan WNI yang ikut dalam misi kemanusiaan tersebut.

3. Menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk menggelar aksi damai untuk memprotes tindakan Israel yang sewenang-wenang dan berkabung atas meninggalnya aktifis kemanusiaan.

Awas BHP Dengan Baju Baru!

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.04

Pakar Pendidikan Professor H.A.R. Tilaar mengingatkan masyarakat untuk mengawasi perancangan peraturan baru pengganti Undang-Undang No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) agar tidak sekedar bersalin nama saja namun isinya tetap mendorong komersialisasi pendidikan.

“Jangan sampai isinya tetap BHP tetapi dengan baju baru,” tegas Tilaar dalam diskusi publik bertajuk “Nasib Pendidikan Indonesia Pasca Pencabutan UU BHP” di kampus Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Selasa.

Tilaar mewanti-wanti jangan sampai peraturan yang dirancang oleh pemerintah akan cenderung mengarahkan lembaga pendidikan tinggi menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang memiliki ciri komersialisasi pendidikan.

“Bila pendidikan tinggi menjadi BLU maka ciri bisnis akan tetap melekat dalam pendidikan karena sesuai Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, maka pendidikan akan dilihat sebagai praktik bisnis,” papar Tilaar yang mengaku mendapat bocoran rancangan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) tentang penyelenggaran dan tata kelola pendidikan tinggi.

Pada 31 Maret lalu, Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Negara karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Tilaar, rancangan peraturan baru itu nanti hendaknya dijiwai sepenuhnya oleh konstitusi.

“Dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 negara diwajibkan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk sebagian rakyat,” kata Tilaar yang menjadi nara sumber dalam diskusi yang diadakan oleh Komite Bersama Aksi Rakyat (KOBAR) bekerjasama dengan Senat Mahasiswa Paramadina itu.

“Oleh karena itu lembaga pendidikan tidak bisa disamakan dengan lembaga bisnis yang mencari keuntungan,” tegas Tilaar

Akan tetapi Direktur Kelembagaan Pendidikan Tinggi, Hendarman, yang juga hadir dalam diskusi tersebut mewakili pemerintah mengungkapkan bahwa rancangan peraturan tentang pendidikan tinggi itu masih dalam tahap pembahasan dan akan lebih cenderung berbentuk peraturan pemerintah (PP), bukan Perpu.

“Situasinya tidak genting, karenanya secara hukum tidak pantas jadi perpu,” pungkas Hendarman.

Listrik untuk Rakyat Perlu Dipertanyakan

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.03

M. Chozin Amirullah
Ketua Umum PB HMI


Tanpa meninggalkan semangat kekritisan kita, secara ide, keinginan Dirut PLN Dahlan Iskan untuk menggratiskan listrik bagi rakyat (konsumsi dibawah 450 watt) adalah sebuah terobosan menarik. Dalam perhitungan Dahlan (detik.com, 12/6/10), dengan asumsi konsumen miskin sebanyak 20 juta orang dan konsumen menengah ke atas sebanyak 40 juta, maka PLN akan kehilangan dana sebesar Rp 1,5 triliun , tetapi pada saat yang bersamaan akan mendapat pemasukan sekitar Rp 30 triliun dari pelanggan menengah ke atas.

Gagasan tersebut dimungkinkan untuk diterapkan mengingat negara tetangga kita, Malaysia juga sudah menerapkannya. Di negara bagian Selangor, dimana industri Malaysia berkonsentrasi, listrik untuk orang berpenghasilan rendah juga digratiskan. Tentu hal ini hanya bisa dicapai dengan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) bagi kelas menengah ke atas tersebut.
Namun demikian ada hal-hal yang perlu ditanyakan untuk menguji keseriusan gagasan tersebut. Pertanyaan yang patut diajukan adalah, jika gagasan tersebut benar-benar diimplementasikan, adakah jaminan perhitungan di atas akan benar-benar terwujud? Siapkah PLN untuk bukan hanya mendata, akan tetapi juga memverifikasi data para pelanggannya mana-mana yang termasuk pelanggan kelas miskin dan mana yang termasuk kelas menengah ke atas. PLN harus menyiapkan perangkat yang lengkap untuk melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan ini mulai dari penentuan kriteria konsumen miskin dan kaya.
Kontrol terhadap kriteria konsumen ini tidak mungkin hanya mengandalkan meteran penunjuk tegangan saja, akan tetapi juga mendeteksi penyelewengan-penyelewengan yang nantinya akan dilakukan baik oleh pelanggan itu sendiri ataupun bahkan oleh pegawai internal PLN. Saya meyakini, jika nanti ide tersebut benar-benar diimplementasikan, tiab-tiba akan banyak sekali rumah tangga-rumah tangga yang mengaku miskin, dengan tujuan agar digratiskan listriknya.
Hal lain yang membuat saya tidak yakin dengan kesuksesan ide tersebut adalah masih banyaknya pencurian tegangan listrik yang dilakukan mulai dari rumah tangga, industry kecil bahkan industri besar. Ini adalah hal klasik di PLN yang mustinya perlu mendapat prioritas untuk diselesaikan. Sudah menjadi maklum bagi kita semua, suatu rumah tangga bisa dengan mudah mencuri tegangan hanya dengan memasang kabel tambahan yang diparalelkan dengan kabel listrik yang melewati meteran pengukur . Jadi satu kabel melewati meteran, dan satu lagi tidak, maka konsumi yang dihtung hanya separuhnya saja.
Demikian juga dengan industri-industri, baik kecil maupun besar. Tengoklah aktivitas industri seperti konveksi, bengkel, dan sebagainya, sebagian diantara mereka masih banyak yang melakukan pencurian tegangan untuk mengurangi beban biaya produksi. Belum lagi perusahan-perusahaan besar yang menggunakan gedung-gedung dengan konsumsi listrik super boros. Parahnya lagi, tidak sedikit di antara mereka yang melakukan kerja sama dengan pegawai PLN sehingga pencurian-pencurian tersebut tidak dilaporkan ke manajemen PLN. Lalu, kenapa bukan perbaikan manajemen internal PLN yang diproritaskan? Bukankah sejak dari dulu buruknya manajemen ini menjadikan PLN berkontribusi 90-95 persen terhadap kerugian di BUMN?
Menelisik dari latar belakang Dahlan Iskan punya background di dunia media, jangan lontaran gagasan menggratiskan listrik untuk orang miskin ini hanya dijadikan sebagai isu bombastis untuk mencari popularitas saja. Jangan sampai pula, isu listrik untuk orang miskin tersebut hanya isapan jempol belaka yang hanya dijadikan alat untuk menutupi borok-borok di internal PLN. Listrik untuk rakyat miskin perlu didukung, tetapi reformasi PLN juga perlu lebih ditekankan.

M. Chozin Amirullah
Ketua Umum PB HMI

Uang Sumbangan di RSBI, Titipan??

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 22.54


PURWOKERTO - Sejumlah sekolah berlabel RSBI di Banyumas yang telah menarik sumbangan dari orangtua calon siswa menganggap uang itu sebagai uang titipan. Sumbangan tetap yang pasti menunggu rapat akhir komite dengan orang tua siswa dan pihak sekolah untuk menyusun RAPBS.

Uang titipan itu dipakai untuk membantu keperluan operasional sekolah lebih dulu selama dua bulan, Juli-Agustus. Alasannya, pihak sekolah dan komite belum menggelar rapat untuk memutuskan RAPBS.
Hal itu dilakukan oleh hampir semua sekolah RSBI, sekolah yang membuka kelas akselerasi, maupun yang menerima siswa melalui jalur penelusuran minat, prestasi dan bakat (PMPB).

Pihak sekolah mengaku penarikan dilakukan setelah ada pengumuman. Untuk SMP sudah berlangsung beberapa waktu lalu, yakni SMPN 1 dan SMPN 2 Purwokerto.

Sedangkan SMK yang sudah mengumumkan 7 Mei lalu yakni SMKN 1 Purwokerto. Sedangkan SMKN 3 dan SMK Telkom akan mengumumkan hasil seleksi PPD serentak pada 10 Juni bersama SMA 1, 2, SMA Sumpiuh dan SMA Ajibarang.

Kepala SMA I Maryono mengungkapkan, untuk jalur PMPB sudah ada ketentuannya. Di sekolahnya, dari jalur ini diterima 30 anak, dan mereka sudah menitipkan sumbangan rata-rata Rp 2,5 juta. ''Namun, jumlah riilnya tetap menunggu rapat Agustus nanti,'' katanya, kemarin.

Mahasiswa, Wisuda, dan Pengangguran

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 22.40
Oleh : Wildani Hefni


DALAM
prosesi wisuda sering dinyanyikan bermacam-macam lagu, dari “Indonesia Raya”, mars dan himne universitas, lagu nasional, hingga pop kontemporer sebagai suplemen.

Mahasiswa pun terhanyut karena bangga dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi (PT) di tengah kemerebakan komersialisasi pendidikan. Muncul pula keangkuhan karena menganggap dengan gelar S1 bakal gampang meraih segalanya. Mereka beranggapan, ijazah adalah ikon penghasil kehidupan.

Muncul angan-angan melampaui tarajji dan tamanni di hati seluruh sivitas akademika. Pihak kampus pun terlena dengan pesta besar dunia kampus.

Lebih ironis, andai jajaran rektorat berpikir ikut-ikutan dalam labirin “akad” S1. Padahal, saya membayangkan saat wisuda, paduan suara mahasiswa sebaiknya menyanyikan lagu “Sarjana Muda” karya Iwan Fals. Itu penting. Mengapa?

Tujuannya, agar mahasiswa merenung sejenak: selanjutnya hendak berlayar ke mana? Jajaran dan segenap sivitas akademika pun semsetinya bersikap realistis; tak terlena dalam euforia mahasiswa yang hendak diwisuda.

Sarjana yang diceritakan Iwan Fals dalam lagu “Sarjana Muda” merupakan renungan mendalam dan bermakna. Namun agaknya lagu hit yang dirilis tahun 1981 dalam album Sarjana Muda itu tergolong najis mughalladzah dinyanyikan saat wisuda karena liriknya berisi paradoks dan ironi.

Lumrahnya, sarjana yang pintar (diukur dengan IPK tinggi, lulus cepat atau tepat waktu) cepat pula terserap di dunia kerja.

Namun “Sarjana Muda” menggambarkan betapa sarjana pintar justru sulit memperoleh pekerjaan. Padahal, dia sudah berjalan gontai tak tentu arah, sambil menatap awan berarak dengan wajah murung. Jaket pun lusuh bercampur keringat dan debu jalanan.

Sang sarjana putus asa dan berkata, “Maaf, Ibu.” Sebab, dia merasa gagal membahagiakan sang ibu yang menyekolahkan bertahun-tahun (Iwan Fals, 1981).
Lirik itu jelas berbanding arah dengan suasana dalam prosesi wisuda.

Rektor dengan percaya diri maju ke podium, memberikan sambutan, pengarahan, lantas memimpin pengucapan ikrar alumni untuk selalu menjaga nama baik almamater.

Semua dikondisikan serbasempurna, seolah-olah setelah wisuda, para winisuda bisa langsung berkiprah di dunia praksis yang (konon) merupakan pengabdian pada bangsa dan negara.

Faktanya tidak demikian. Seusai diwisuda, mayoritas sarjana menambah angka penganggur terdidik dengan grafik berfluktuasi setiap tahun. Berdasar data Direktorat Pendidikan Tinggi 22 Maret 2010, sarjana (SI) yang menganggur Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Tahun 2008 bertambah jadi 626.200 orang.

Jika setiap tahun kenaikan rata-rata 216.300, Februari 2012 ada lebih dari sejuta penganggur terdidik. Itu belum ditambah lulusan diploma yang menganggur. Dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan 519.900 orang atau naik sekitar 57%.

Pragmatis

Itu semua erat berkait dengan kampus. Tentu perguruan tinggi menginginkan lulusan berkualitas, tak latah pada sisi jumlah. Namun, selain ketidaktahuan tentang sistem pendidikan selama ini asimetris dengan paradigma dunia kerja, kampus juga setengah hati memfasilitasi alumnus. Setelah mengobral, memperoleh untung, berkuranglah tanggung jawab PT.

Beberapa kampus memang membentuk study advisory centre (SAC), semacam badan yang mengurusi dunia kerja dan membuka jaringan antara perusahaan, kampus, dan alumnus. Namun kebanyakan fasilitas itu sekadar formalitas.

Kondisi itu membuat kampus berkesan “lepas tangan” atas nasib alumnus.

F Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas (2005), mengutip sastrawan Bulgaria pemenang Nobel tahun 1981, Elias Canetti, mengajukan deskripsi untuk memahami makna ketakbermaknaan feses (kotoran manusia).

Kita tak ingin melihat benda yang pernah jadi bagian dari diri kita itu. Relasi antara sarjana yang tak beruntung dan PT layaknya manusia dan feses. Pada awal penerimaan mahasiswa baru, banyak PT bersemangat mempromosikan diri agar diminati calon mahasiswa.

Jika jalur penerimaan resmi (SNMPTN, PMDK) ditutup, mereka pun berinovasi untuk merekrut mahasiswa baru, dari seleksi lokal tahap I, II, III, atau bahkan IV. PT bernafsu menerima sebanyak mungkin mahasiswa.

Kemunculan berbagai cara yang mengarah ke pelanggaran etika akademik untuk memenangi persaingan itu menunjukkan, pendidikan kini cenderung jadi ajang bisnis. Akibat terlalu gampang menerapkan sistem input, proses “metabolisme” di PT berjalan tak sempurna. Dan, akhirnya banyak yang terbuang.

Karena itu, ucapan Iwan Fals, “Engkau sarjana muda, lelah mencari kerja/Sia-sia ijazahmu/Empat tahun lamanya bergelut dengan bukuÖ”, tak ubahnya kotoran dari industri pendidikan yang tak hendak lagi dilihat oleh PT yang meluluskan karena dianggap tak berguna.

Padahal “sekotor” apa pun, sarjana tak beruntung itu pernah jadi bagian dalam proses “metabolisme” di perut industri pendidikan tinggi. Bagaimana, kelak, nasib sarjana? (51)

- Wildani Hefni, mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang

*artikel ini dimuat di http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=113641

Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 22.23
oleh:
Azyumardi Azra
Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 dan juga Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI sejak Mei 2007.




Gagasan saya tentang rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen wawasan kebangsaan dan identitas nasional negara-bangsa Indonesia mendapat pengayaan penting dari berbagai kalangan publik, khususnya melalui Tajuk Rencana Kompas maupun artikel Prof. Musa Asy’arie (lihat Kompas 9, 11, 12 Juni 2004). Saya sendiri telah meresponi tanggapan publik tersebut dalam Harian Kompas 17 Juni 2004.

Makalah ini merupakan elaborasi lebih lanjut tentang relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang dihadapi negara-bangsa Indonesia dan kepemimpinan nasional di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Dan tidak kurang pentingnya, makalah ini juga melihat Pancasila dalam kaitan dengan tantangan krisis identitas budaya, dan akhirnya mencoba menawarkan penguatan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika melalui perspektif multikulturalisme dan pendidikan multikultural.

Rejuvenasi Pancasila
Apakah “ideologi ? semacam Pancasila masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas dewasa ini? Dalam hiruk-pikuk politik yang masih berlangsung hingga kini, pertanyaan seperti ini mungkin terlalu akademis untuk diajukan kepada para politisi; namun pertanyaan itu sering diajukan audiens kepada saya dalam berbagai diskusi dan seminar tentang posisi dan relevansi Pancasila dalam Indonesia yang lebih demokratis; Indonesia yang lebih bebas dalam berbagai segi kehidupan.

Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada akhir 1060an telah berbicara tentang “the end of ideology ?. Tetapi perang dingin yang terus meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme dengan Blok Timur dengan ideologi sosialisme-komunisme menunjukkan bahwa ideologi tetapi relevan dalam kancah politik, ekonomi dan lain-lain.

Gelombang demokrasi (democratic wave) yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai “the end of history ?, masa “akhir sejarah ? di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi—baik universal maupun lokal—tetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai penyebab “Balkanisasi ?, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis, common platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi.

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya.

Kecenderungan bahwa posisi Pancasila semakin sulit, hemat saya, cukup alarming, lampu kuning bagi masa depan Indonesia yang tetap terintegrasi. Dalam pandangan saya, Pancasila—meski menghadapi ketiga masalah tadi—tetap merupakan kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh sebagai common platform bagi negara-bangsa Indonesia. Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya, utamanya birokrasi kepemerintahan Indonesia, telah mengalami kemerosotan signifikan. Liberalisasi politik yang menghasilkan fragmentasi elit politik, menghalangi kemunculan kepemimpinan nasional pemersatu; corak kepemimpinan solidarity maker yang dapat mencegah disintegrasi tetap belum tampil.

Saya percaya tidak ada yang salah dengan Pancasila as such. Yang keliru adalah membuat pemaknaan tunggal atas Pancasila yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah dengan Pancasila itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada tempatnya mengesampingkan Pancasila atas dasar perlakuan pemerintah Orde Baru.

Lebih jauh, hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagai common platform ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang. Sampai saat ini—dan juga di masa depan—saya belum melihat alternatif common platform ideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi bangsa, tetapi juga viable dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya.

Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, saya melihat urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.

Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai public discourse, wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan nasional. Tiga kepemimpinan nasional pasca Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, sampai Presiden Megawati Soekarnoputri gagal membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Gejala ini juga terlihat dalam kepemimpinan nasional sekarang: baik Presiden SBY maupun Wapres MJK jarang sekali berbicara tentang pentingnya Pancasila dan urgensi untuk melakukan rejuvenasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Ada kesan traumatik untuk kembali membicarakan Pancasila. Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarang—Presiden SBY dan Wapres MJK dan pejabat-pejabat publik lainnya—memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi negara-bangsa Indonesia.

Peradaban Indonesia dan Krisis Identitas
Peradaban Indonesia merupakan subyek yang rumit, yang kelihatan masih menjadi perdebatan di tanahair. Pertanyaan yang sering menjadi titik perdebatan adalah; apakah ada “peradaban Indonesia ? itu? Kalau ada, bagaimana bentuk dan sosoknya? Bahkan pada tingkat yang lebih “rendah ? terjadi juga perdebatan mengenai “(ke)budaya(an) Indonesia ? (Indonesian culture) atau “kebudayaan nasional ?; apakah ada “(ke)budaya(an) Indonesia ?, bagaimana bentuk “(ke)budaya(an) Indonesia ? itu, dan apa hubungan antara “(ke)budaya(an) Indonesia ? tersebut dengan “(ke)budaya(an) lokal ?, “(ke)budaya(an) etnis, dan bahkan dengan (ke)budaya(an) global.

Perdebatan tentang subyek-subyek ini bisa kita ulangi kembali dalam seminar ini untuk mendapatkan perspektif yang lebih jernih. Terlepas dari itu, terdapat kecenderungan pendapat umum, bahwa peradaban (civilization) lebih daripada kebudayaan (culture); peradaban mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, sejak dari pandangan hidup, tata nilai, sosial-budaya, politik, kesenian, ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan banyak lagi, yang bisa kita bahas dan rumuskan secara lebih jelas dalam konteks Indonesia pada seminar ini. Makalah ini memusatkan perhatian hanya pada salah satu aspek peradaban tersebut, yakni sosial-budaya, yang pada gilirannya perlu kita akselerasikan menuju masyarakat multikultural, yang berprinsip pada pandangan dunia multikulturalisme.

Masa sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya—yang kemudian sering disebut sebagai “era reformasi ? sekarang ini, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, juga mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-cabik akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, semakin sulitnya lapangan kerja dan lain-lain.

Krisis sosial budaya itu dapat disaksikan muncul dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya, disintegrasi sosial-politik yang antara lain juga disebabkan euforia kebebasan yang hampir kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; pecahnya konflik dan kekerasan yang bersumber—atau sedikitnya bernuansa etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah tertentu Kalimantan, Maluku dan Sulawesi.

Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya umumnya di kalangan masyarakat kita semakin bertambah dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat—khususnya Amerika—sebagai akibat proses globalisasi yang hampir tidak terbendung. Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya “alien ? (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup ? baru yang tidak selalu positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-Roubaie 2002). Hal ini misalnya, bisa dilihat dari semakin merebaknya budaya “McDonald ?, makanan instan dan dengan demikian, budaya serba instan; meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan hedonisme; mewabahnya MTVisasi, “Valentine’s Day ?, dan kini juga “prom’s night ? di kalangan remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain daripada “cultural imperialism ? baru, menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam “Orientalisme ?.

Dari berbagai kecenderungan ini, maka orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid di Indonesia dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budaya hybrid nampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi pada segi lain, budaya hybrid—apalagi yang bersumber dari dan didominasi budaya luar, karena dominasi dan hegemoni politik, ekonomi dan informasi mereka—dapat mengakibatkan krisis budaya nasional dan lokal lebih jauh. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal; padahal identitas nasional dan lokal tersebut sangat krusial bagi integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa.

Multi-Kulturalisme: Bhinneka Tunggal Ika
Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura, seperti dikemukakan Hefner (2001:4) sangat mencolok; terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah ini—khususnya Indonesia—dipandang sebagai “lokus klasik ? bagi konsep “masyarakat majemuk/plural ? (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnival (1944, 1948).

Menurut Furnivall, “masyarakat plural ? adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446). Teori Furnivall ini banyak berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif “homogen ?, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama dan gender. Berdasarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944:468-9).

Meski demikian, berbeda dengan “doomed scenario ? Furnivall, masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhirnya setelah Perang Dunia II dapat menyatu dalam satu kesatuan unit politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan realitas pluralitas sosial-budaya yang bukannya tidak sangat divisif, khususnya jika negara-bangsa baru seperti Indonesia gagal menemukan “common platform ? yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu. Padahal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai negara-negara baru ini mendorong bangkitnya sentimen etno-relijius yang dapat sangat ekplosif, karena didorong semangat yang bernyala-nyala untuk mengontrol kekuasaan (Geertz 1973).

Berhadapan dengan tantangan untuk tidak hanya mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga eksistensi negara-bangsa (nation building) yang mengandung keragaman tersebut, para penguasa negara-negara baru ini memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik “keseragaman budaya ? (monokulturalisme). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan—khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno—dan masa Orde Baru Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme.

Secara restrospektif, politik monokulturalisme Orde Baru atas nama stabilitas untuk developmentalism telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi “pela gandong ? di Ambon, “republik nagari ? di Sumatera Barat dan lain-lain. Padahal, sistem atau tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai bukan hanya bagi masyarakatnya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain. Lebih jauh lagi, local geniuses juga berfungsi sebagai defense mechanism dan sekaligus early warning system yang dapat memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik mono-kulturalisme yang telah menghancurkan local genius ini, pada gilirannya mengakibatkan kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal. Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak di beberapa daerah sejak 1996 tidak terlepas dari hancurnya local geniuses tersebut.

Tetapi penting dicatat, dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan Orde Baru yang memaksakan “monokulturalisme ?, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala “provinsialisme ? yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas ?. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik.

Sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural ?. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural ? tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekontruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia ? yang dapat menjadi “integrating force ? yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Pandangan dunia “multikultural ? secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika ? mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan.

Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan, dan bahkan perlu percepatan (akselerasi). Salah satu strategi penting dalam mengakselerasikannya adalah pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas.

Kebutuhan, urgensi, dan akselerasi pendidikan multikultural telah cukup lama dirasakan cukup mendesak bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris, Amerika Serikat dan lain-lain, yang sejak usainya Perang Dunia II semakin “multikultural ? karena proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut (cf Hefner, 2001:2-3), pendidikan multikultural menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, setelah sebelumnya di AS misalnya dikembangkan “pendidikan interkultural ?. Berhadapan dengan meningkatnya “multikulturalisme ? di negara-negara tersebut, maka paradigma, konsep dan praktek pendidikan “multikultural ? semakin relevan dan timely.

Pada pihak lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan sesuatu hal baru di Indonesia. Meski belakangan ini sudah mulai muncul suara-suara yang mengusulkan pendidikan multikultural tersebut di tanah air, tidak berkembang wacana publik tentang subyek ini. Pembahasan dan literatur mengenai subyek ini sangat terbatas. Padahal, realitas kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik, dan budaya bangsa, khususnya sejak “era reformasi ? yang penuh dengan gejolak sosial-politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat, membuat pendidikan multikultural terasa semakin dibutuhkan.

Multikulturalisme; Basis Kewargaan
Keragaman, atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.

Tetapi, penting dicatat, keragaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Dan, lebih jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-masyarakat dan negara-bangsa tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada setiap komunitas, masyarakat dan kelompok etnis dan rasial. Sebab, pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat berbagai simbol, nilai, struktur dan lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tadi.

Semuanya ini, dan lebih khusus lagi, lembaga-lembaga, struktur-struktur, dan bahkan pola tingkah laku (patterns of behavior) memiliki fokus tertentu terhadap kolaborasi, kerjasama, mediasi dan negosiasi untuk menyelesaikan berbagai perbedaan. Dengan demikian, mereka potensial untuk menyelesaikan konflik yang dapat muncul dan berkembang sewaktu-waktu. Semua simbol, nilai, struktur dan lembaga tersebut juga sangat menekankan kehidupan bersama, saling mendukung dan menghormati satu sama lain dalam berbagai hak dan kewajiban personal maupun komunal, dan lebih jauh lagi masyarakat nasional.

Pada tahap ini, komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya dengan eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi lebih jauh lagi dengan kemanusiaan (humanness). Semua ini juga mencakup komitmen dan kohesi kemanusiaan melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal. Manusia, ketika berhadapan dengan berbagai simbol, doktrin, prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan—baik secara personal maupun komunal—dan kebudayaan yang dihasilkannya.

Dalam konteks ini, multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai “kepercayaan ? kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan.

Multikulturalisme sebagai landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangan democratic civility, maka civil society (CS) dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental.

Terdapat persepsi dalam masyarakat untuk secara taken for granted menerima bahwa CS selalu mendorong keadaban dan demokrasi. Padahal, terdapat kecenderungan, bahwa CS terorganisasi berdasarkan distingsi sosial, budaya, etnis, dan agama—sehingga cenderung eksklusif dan merasa paling benar sendiri; akibatnya dapat kontra-produktif tidak hanya terhadap multi-kulturalisme, tetapi juga bahkan terhadap demokrasi. Karena itu, dalam hal CS seperti ini, perlu pengembangan sikap inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas. Pada saat yang sama, juga harus dikembangkan CS yang mengatasi berbagai garis demarkasi tersebut, menjadi organisasi yang melintasi batas-batas etnis, agama dan sosial, sehingga pada gilirannya dapat menjadi “social and cultural capital ? yang esensial bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban (cf. Hefner 2001:9-10).

Dalam konteks pengembangan CS yang benar-benar merupakan “social and cultural capital ? bagi keadaban dan demokrasi, pendidikan merupakan salah satu—jika tidak satu-satunya—sarana terpenting. Tidak perlu uraian panjang lebar, “social and cultural capital ? sangat krusial dan instrumental bagi terwujudnya social and cultural cohesiveness dan, pada gilirannya, integrasi negara-bangsa. Sebaliknya, negara-bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi jika tidak memiliki social and cultural capital. Dalam kerangka pengembangan social and cultural capital, diperlukan tidak hanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai nilai sosial-budaya, tetapi juga pengejawantahan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa-bernegara. Di sinilah terletak peran instrumental pendidikan.

Untuk penumbuhan dan pengembangan “social and cultural capital ? melalui pendidikan, pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara trial and error atau diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui Civic Education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban (Azra 2002).

Pendidikan Multikultural
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan ?. Agar definisi ini bermanfaat, perlu mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan “budaya ? dan “kebudayaan ?. Upaya perumusan ini jelas tidak mudah, karena perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam kebudayaan itu sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat.

Menurut Tilaar (2002:495-7), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “inter-kulturalisme ? seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme ? ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan “interkultural ? dan “interkelompok ? (intercultural and intergroup education). Pada dasarnya pendidikan interkultural merupakan cross-cultural education yang bertujuan mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda (cf. La Belle 1994:21-27).

Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu agar tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain.

Tetapi, harus diakui, pada prakteknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala luas terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural.

Karena itu, seperti dikemukakan Tilaar (2002:498), dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya dapat membuat orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.

Pendidikan interkultural seperti ini pada akhirnya memunculkan tidak hanya sikap tidak peduli (indifference) terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi bahkan cenderung melestarikan prasangka-prasangka sosial dan kultural yang rasis dan diskriminatif. Dan dari kerangka inilah, maka pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli ? dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition ?, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas (Cf Taylor et al 1994).

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference ? dan “non-recognition ? berakar tidak hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.

Paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies ?, untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang semua subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.

Istilah “pendidikan multikultural ? (multicultural education) dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isyu-isyu dan masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek seperti; toleransi; tema-tema tentang perbedaan etno-kultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal, dan subyek-subyek lain yang relevan.

Perumusan dan implementasi pendidikan multikultural di Indonesia—hemat saya—masih memerlukan pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk matapelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya “terpadu ? atau terintegrasi (integrated). Terlepas dari berbagai isyu dan masalah ini, yang jelas—menurut saya—perkembangan Indonesia sekarang kelihatannya membutuhkan pendidikan multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan “keikaan ? di tengah “kebhinnekaan ? yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon.
HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU