Minggu, 03 Mei 2009

Ujian Nasional dan Pembodohan Bangsa

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 18.27
Ujian Nasional dan Pembodohan Bangsa
oleh: Bambang Wibiono*


Minggu yang lalu kita menyaksikan bahwa generasi penerus bangsa yang duduk di bangku SMA dan SMP melaksanakan ujian nasional atau disebut UN. Berbagai kekhawatiran dari pihak siswa, guru, bahkan orang tua mulai menyergap hati mereka. Mereka tidak pernah berhrap untuk tidak lulus ujian. Pihak orang tua berusaha memasukkan anaknya ke berbagai les privat atau bimbingan belajar. Begitu juga di sekolah, diadakan jam tambahan untuk pemantapan ujian nasional.

Mengapa kekhawatiran itu muncul? Penyebabnya adalah standar kelulusan meningkat menjadi 5,5. Sebuah angka yang fantastis dan sulit untuk dicapai. Dari kekhawatiran ini, berbagai strategi disiapkan agar tercapai kesuksesan Ujian Nasional. Tetapi bagaimanakah strategi yang dilancarkan oleh pihak sekolah agar Ujian Nasional itu sukses, dan anak didiknya dapat lulus 100%?

Suatu ketika saya mencoba ingin mengetahui bagaimana ujian nasional itu berlangsung. Minggu yang lalu saat saya berada di kampung halaman yang kebetulan lokasinya dekat dengan sekolah, saya mencoba mencari tahu mengenai "peristiwa" UN. Iseng-iseng saya menanyakan kepada salah satu pegawai di sebuah sekolah SMA (Madrasah Aliyah) di bawah naungan Departemen Agama.
"gimana pak, UN kemaren? sukses ga?", "kira-kira bisa lulus semua ga ?"
Dengan enteng dan nada kecewa beliau menjawab
"wah, kalo sistemnya kaya gini sih jangankan 5.5, standar lulus 9 atau sepuluh pun pasti bisa"
Dengan penuh pensaran saya balik bertanya,
"lho emang kenapa?"
"lha iya, gurunya ikut membantu memberi jawaban secara terang-terangan kepada siswa. bahkan jumlah jawabannya pun ga tanggung-tanggung, sampe mencapai angka lulus!!" kemudian lanjutnya, "gimana ga lulus semua, dengan jawaban yg didapat aja udah cukup untuk lulus. Kalo mau lebih, sisanya tinggal usaha siswa sendiri"
Dengan rasa tertarik, kemudian saya bertanya lagi, "gimana cara memberitahunya?kan ada pengawas??"
"halah, pengawas cuma bohong-bohongan, mereka pura-pura ga ngerti. Semua udah terencana secara terstruktur dari atasnya. Jadi walaupun pengawasnya dari sekolah lain, tapi karena punya kepentingan yang sama yaitu meluluskan siswanya, jadi mereka saling pengrtian..UN cuma pembodohan aja, percuma!!" jawabnya dengan agak kesal.

Dari informasi ini, saya mencoba bertanya pada siswa yang saya kenal dekat. Namun ternyata jawabannya membenarkan pernyataan tadi. Lantas lebih lanjut, saya mencoba mencari informasi pelaksanaan UN di tingkat SMP. Tanpa sengaja saya mendapat penjelasan dari siswa bahwa mereka diberi jawaban oleh gurunya melalui kertas yang diberikan pada salah satu siswa yang menjadi penanggungjawab dalam masing-masing ruangan ujian. Jumlah jawaban yang diberikan bervariasi, hingga mencapai jumlah 30 soal, tergantung jumlah seluruh soal tiap mata pelajaran. Dengan gembira mereka berkata:
"kalo gini sih, kita ga perlu takut engga lulus. terus juga engga perlu cape-cape belajar."

Melihat realitas ini, ternyata pendidikan kita semakin mengarah pada kehancuran. Generasi bangsa ini dididik untuk malas. Pendidikan dipahami bukan sebagai arena berproses untuk menggali potensi dan memahami serta menguasai ilmu. Hal ini dikarenakan institusi pendidikan atau sekolah hanya sebagai tempat mencari legalitas atau ijasah saja untuk keperluan melanjutkan atau bekerja.

Saya teringat ucapan mendiknas pada acara dialog yang diadakan di TV One. Beliau mengatakan jika dirinya menjadi menteri lagi akan menaikkan standar kelulusan menjadi 6 atau 6,5. Alasannya karena pendidikan Indonesia sudah ketinggalan jauh dengan negara lain. Beliau ingin mensejajarkan standar pendidikan dengan negara lain yang sudah lebih maju pendidikannya. Menurut saya, apalah arti sebuah angka yang tinggi untuk standar kelulusan tanpa memperbaiki mekanisme dan proses di dalamnya. Kemudian juga sudah memadaikah kualitas tenaga pendidiknya, sarana dan prasarana penunjangnya? Bagaimana juga dengan biaya untuk dapat mengenyam di suatu jenjang pendidikan? apakah sudah dapat dijangkau oleh semua kalangan?

Pendidikan seharusnya mampu memanusiakan manusia. Bukan mencetak orang-orang yang pragmatis dan egois. Pendidikan harus mampu memberikan sebuah pendidikan moral!! Selama ini sistem pendidikan kita melupakan satu hal penting, yaitu pendidikan moral! Moral para pelajar tidak pernah mendapatkan perhatian dan evaluasi. Bahkan yang lebih tragis, sekolah telah mengajarkan hal yang tak bermoral seperti kecurangan dalam Ujian Nasional. Ini sungguh sebuah pembodohan bangsa. Tidak dapat dibayangkan bangsa ini pada puluhan tahun yang akan datang, ketika generasi yang sekarang memimpin negeri ini.

Hari pendidikan nasional yang kemarin dilaksanakan seharusnya menjadi renungan bagi kita semua dan terutama para pemimpin di negeri ini. Jangan hanya atas dasar perolehan kesuksesan kinerja pemerintahannya, segala cara ditempuh. Jangan sampai standar kelulusan yang tinggi dan jumlah angka kelulusan yang sudah dicapai dijadikan parameter kesuksesan bidang pendidikan, karena itu semua adalah pembohongan publik!!


* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed dan kader HMI-MPO Cabang Purwokerto.






No Response to "Ujian Nasional dan Pembodohan Bangsa"

HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU