Minggu, 27 Juni 2010

HMI Dalam Dialektika Sejarah Gerakan

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 21.03

pbhmiNET, Opini- HMI adalah sebuah organisasi gerakan mahasiswa Islam yang sudah sangat tua, didirikan oleh mahasiswa Islam di Yogyakarta tepat pada tanggal 5 Februari 1947. Salah satu pendiri yang terkemuka adalah Lafran Pane, seorang mahasiswa pertama di Sekolah Tinggi Islam sekarang bernama UII. Didirikanya HMI adalah untuk ikut serta mempertahankan NKRI (kebangsaan) dari ancaman penjajahan asing dan melestarikan dan mengamankan ajaran-ajaran Islam. Sehingga bisa dikatakan HMI adalah organisasi yang berwawasan Islam kebangsaan[1] atau nasionalis agamis.


Perjalanan HMI pada awal kemerdekaan banyak terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajah asing (Belanda) yang melancarkan Aksi Militer II pada 19 Desember 1949. Ini sebagai suatu dukungan kepada pemerintahan Sukarno untuk untuk melawan neokolonialisme dan imperialisme (neokolim) yang menggurita di Negara Indonesia.


HMI sebagai gerakan mahasiswa punya independensi yang kuat untuk ikut berperan serta dalam menyelesaikan problematika kebangsaan. Meskipun pada waktu itu banyak ormas dan partai yang berideologi Islam, namun tidak berpengaruh terhadap konsistensi HMI dalam memutuskan sutau hal yang berkaitan dengan politik bangsa. Bahkan pada pemilu 1955, HMI tidak mendukung partai politik Islam tertentu apapun dengan membiarkan anggota-anggotanya memilih sesuai dengan hati nuraninya masing-masing. Pada hal waktu itu HMI diharapkan bisa mendukung Masyumi karena punya kesamaan wawasan keagamaan yang baru.[2]


Terjadinya resistensi antar ideologi masyarakat Indonesia lewat pertarungan elit parlemen[3] berakibat terjadinya instabilitas politik pemerintahan dan perpecahan dikalangan tokoh-tokoh bangsa. Sehingga membawa polarisasi dikalangan masyarakat, yang mengancam persatuan rakyat Indonesia untuk melawan kolonial asing. Untuk menghindari perpecahan dan membawa kepada semangat Revolusi Proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno mengganti sistem demokrasi liberal dengan demokrasi terpimpin dengan gagasan menyatukan nasionalis, agama, dan komunis (nasakom).


Namun demokrasi terpimpin yang dibuatnya banyak ditentang oleh beberapa tokoh bangsa terutama Hatta yang notabene teman dekatnya sendiri. Sukarno dianggap pemimpin yang otoriter dan diktatur, menyingkirkan lawan-lawanya yang berseberangan dan kontra revolusi. Seperti pembubaran Masyumi karena dianggap ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), dan lain-lain.


Perpecahan akibat pertentangan ideologi-ideologi politik masyarakat membuat pemerintahan Sukarno menjadi goyah, Sukarno tidak bisa mengatasi pertarungan elit politik antara kelompok agama dan komunis, dan tidak bisa menyelesaikan krisis ekonomi sehingga harga kebutuhan pokok masyarakat melambung tinggi. Pertarungan ideologi-ideologi politik mempengaruhi peta gerakan mahasiwa, sehingga terjadi suatu polarisasi dan perebutan pengaruh dilingkungan kampus antara CGMI (Underbow Partai komunis), dan HMI. Bahkan di Jawa Timur terjadi pemasungan terhadap aktifitas HMI dikampus akibat sikap resisten Dr. Ernst Utrecht Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang berhaluan kiri dengan mengeluarkan pengumuman yang melarang HMI ikut serta didalam kegiatan apapun.


Keadaan Negara yang tidak stabil baik itu diwilayah politik maupun ekonomi, membuat HMI mempelopori pertentangan terahadap pemerintah Sukarno dengan mengkonsolidasikan seluruh elemen-elemen gerakan mahasiswa dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa). Mereka menuntut penurunan harga, retoling kabinet dan pembubaran PKI. Tuntutan ini juga disebut dengan tiga tuntutan rakyat (TRITURA) sampai akhirnya Sukarno tumbang oleh gerakan mahasiswa (HMI), dan Militer.


Relasi Kekuasaan


Perjuangan HMI untuk menjadi gerakan yang independen di uji pada era pemerintahan Suharto yang menggantikan Sukarno. Pada era ini banyak diantara stoke holder HMI membangun relasi dengan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tarik menarik terhadap hegemoni Negara. HMI yang selama ini sebagai sahabat militer sewaktu menjatuhkan Sukarno harus menghadapi pergulatan yang pelik ketika pemerintahan militer Suharto tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Sukarno bahkan lebih tiran dan otoriter.


Devolepmentalisme yang menjadi ideologi Negara pada waktu itu telah menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Demi memuluskan pembangunan ekonomi lima tahunan (repelita), Suharto melakukan pembersihan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap kritis dan mengancam stabilitas politik, karena kelompok-kelompok itu bisa merusak rencana pembangunan ekonominya. Maka untuk menjaga stabilitas politik pemerintahan, Suharto mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan dengan maksud mefusikan kelompok-kelompok masyarakat dibawah satu payung yaitu Pancasilaisme.[4]


Keluarnya UU keormasan ini berimplikasi besar terhadap perubahan asas keorganisasian masyarakat, agama dan mahasiswa. Seperti Muhammadiyah dan NU merubah asasnya dari Islam menjadi pancasila. Sedangkan ditubuh internal HMI terjadi perpecahan mensikapi UU ini, menjadi dua kelompok.[5]


Kelompok pertama bersikap pragmatis-realistis-opurtunis untuk menerima UU pemerintah; yang kedua menolak dengan segala idealisme yang dipegangnya karena mereka menganggap Negara tidak berhak untuk mengatur dan mengintervensi rumah tangga organisasi apapun. Akhirnya perpecahan tidak bisa dihindari, kelompok yang menerima asas pancasila dan mengidentikan dirinya dengan nama HMI Diponegoro, sedangkan yang menolak mengidentikan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).


Lahirnya Anak Muda Anti Hegemoni Negara


Setelah keputusan menolak intervensi negara untuk merubah asas Islam menjadi pancasila, mejadikan HMI MPO sebagai gerakan mahasiswa penentang rezim pemerintahan Suharto. Pada awal-awal perpecahan anak muda HMI MPO harus berjuang dengan sembunyi-sembunyi untuk menghindari penangkapan aparat pemerintah yang tidak segan bertindak represif.


Pancasilaisme yang diterapkan oleh orde baru menjadi senjata bagi Suharto untuk memberikan stigma subversive kepada organisasi-organisasi yang menolak asas Pancasila. Pancasila telah dikebiri dan dimanipulasi dari semangatnya oleh Suharto menjadi alat legitimasi untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya.


Gerakan menentang kebijakan pemerintah orde baru sudah muncul ketika gerakan mahasiswa 1974an[6] menolak produl-produk asing (Jepang) yang masuk besar-besaran di Indonesia. Mereka menganggap ini sebagai kebijakan yang pro asing yang membuat harga produk-produk lokal akan terpinggirkan. Masuknya produk-produk asing ke Indonesia merupakan bagian dari agenda monopoli ekonomi Indonesia oleh kapitalis internasional yang berkonspirasi dengan kapitalisme lokal.


Dari sejak awal berkuasa, pemerintahan orde baru ingin membangun ekonomi Indonesia dengan faham kapitalistik, pintu masuknya dimulai dengan dikeluarkanya UU. No. 1 Tahun 1967[7] tentang investasi asing. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah orde baru sejak menggantikan pemerintahan Sukarno. Kalau pada masa pemerintahan Sukarno sangat protektif dengan masuknya modal asing. Masa Suharto sangat terbuka dengan membiarkan perusahaan asing untuk berinvestasi dan mengeksplorasi kekayaan alam, energi dan minyak dengan alasan sebagai sumber devisa dan memajukan pembangunan ekonomi bangsa. Kebijakan yang kapitalistik ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi pemilik modal asing tetapi juga Suharto dan kroni-kroninya untuk menumpuk kekayaan demii kepentingan pribadi, dan kelompoknya.


Setelah peristiwa Malari tahun 1974, orde baru melalui menteri pendidikan Daoed Jusuf yang kemudian dikembangkan oleh Nugroho Notosusanto menerapkan kebijakan NKK/BKK 1977/1978. Organisasi kemahasiswaan yang lama dihapus dan diganti dengan organisasi yang baru yang membatasi kegiatan politik mahasiswa, mereka dilarang berpolitik dikampus, bila mahasiswa berpolitik harus menyalurkan lewat partai. Pengebirian terhadap kegiatan politik kampus merupakan intimidasi terhadap demokratisasi kampus. Kampus dianggap hanya sebagai tempat belajar dan mendalami keilmuan belaka. Pada masa itu banyak rektor-rektor kampus menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk menindak tegas mahasiswa yang ketahuan melakukan kegiatan-kegiatan politik.[8]


Perlawanan anak muda HMI MPO terhadap hegemoni rezim orde baru banyak dilakukan dengan underground sebagai bagian dari pertimbangan keselamatan jiwa mereka. Untuk bisa eksis, banyak dari anak-anak muda HMI MPO membuat kantong-kantong gerakan. Di Jakarta HMI MPO membuat Forum Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ), di Yogyakarta ada Liga Mahassiwa Muslim Yogyakarta (LMMY), di Makasar ada Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Makassar (FKMIM). Selain itu aktifis HMI MPO juga banyak berjuang lewat lembaga-lembaga kampus seperti DEMA, BEM, dan lain sebagainya. Dengan kantong-kantong gerakan dan lembaga kampus, HMI MPO banyak memberikan tranformasi dengan ide-ide perlawanan terhadap hegemoni negara keseluruh unsur masyarakat dan mahasiswa. Tranformasi ini bisa menggerakan mahasiwa untuk menentang dan melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat otoriter.


Pemerintahan Suharto yang otoriter dan diktator membawa gejolak dan gelombang perlawanan dimana-mana. Sudah terlalu banyak kebijakan-kebijakan Suharto yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Pemerintahan yang mengagung-agungkan pembangunan ekonomi diatas prinsip kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) ini banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan, seperti pelanggaran HAM di Aceh dengan penerapan DOM (Daerah Operasi Militer), Papua, Tanjung Periok, penangkapan terhadap aktifis-aktifis pro demokrasi.


Dengan kebijakan yang sewenang-wenang, menambah banyak deretan musuh bagi orde baru. Dimana-mana banyak yang menentang orde baru sampai akhirnya gerakan mahasiswa menemukan isu bersama (common enemy) yaitu turunkan Suharto. Seperti badai yang siap menerjang dan melumat apapun yang dihadapannya. Gelombang perlawanan mahasiswa semakin hari semakin membesar, menuntut penurunan Suharto dari singgasana kekuasaannya.


Suara tuntutan mundur diseluruh wilayah Indonesia semakin menguat, menggema dikalangan mahasiswa, elit politik, dan masyarakat. Suharto tidak bergeming sedikitpun, ia perintahkan militer untuk menghabisi siapa saja yang menentang kekuasaanya. Pemerintah melalui militer melakukan tindakan represif terhadap gerakan pro demokrasi, sehingga banyak dari mereka diculik, ditembak dan dibunuh. Cara represif ini tidak membuat gelombang gerakan mahasiswa semakin surut tetapi semakin besar sehingga pada puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 Suharto terjungkal dari kekuasaan oleh gerakan mahasiswa dan gerakan massa. Inilah kemenangan rakyat Indonesia. Kemenangan mahasiswa dan kemenangan gerakan HMI MPO yang sejak awal menentang hegemoni Negara.


Reformasi yang Tercuri dan Dikhianati


Pasca jatuhnya Suharto dan digantikan oleh Habibie, Sinergisitas gerakan mahasiswa mulai memudar akibat terjadi perbedaan pemahaman dan penilaian terhadap kepemimpinan Habibie. Kelompok pertama mendukung kepemimpinan Habibie karena dianggap sah secara konstitusional; Kelompok kedua menolak kepemimpinan Habibie karena Habibie sama saja dengan Suharto, ia adalah kroni Suharto. Suharto dan Habibie adalah satu paket kekuasaan. Oleh karena itu, kalau Suharto mundur, maka Habibie juga harus mundur, demikian juga dengan seluruh anggota kabinet yang dibentuk Suharto.


Sentimen anti Suharto merambat kepada siapa saja yang secara langsung mempunyai hubungan denganya, dan Habibie termasuk didalamnya. Selama masa kekuasan Suharto, Habibie ditunjuk menjadi menteri riset dan teknologi dan tidak kurang dari dua puluh lima jabatan lainya, seperti kapala BPPT, BPIS, PINDAD, IPTN, PT.PAL, Ketua Otoritas BATAM, Kepala Pengembangan Kawasan Indonesia Timur dan lain sebagainya.


Dukungan dan penolakan terhadap kepemimpinan Habibie membuat perpecahan ditubuh gerakan mahasiswa yang seharusnya masih punya kewajiban untuk menuntaskan agenda reformasi secara total. Gerakan mahasiswa terlalu hanyut dalam eforia reformasi. Seperti bendungan air yang lama tidak pernah dibuka, ketika jebol mengalirkan segala kebebasan dimana-mana. Masa transisi yang sangat mengkhawatirkan bagi perjuangan cita-cita demokrasi yang luhur. Gerakan mahasiswa sibuk dengan pertentangan-pertentangan dan konflik organ, mereka tidak sadar kekuatan Suharto cepat mengkonsolidasikan diri dengan bentuk yang berbeda-beda, disisi lain ada yang mendeklarasikan diri sebagai bapak reformasi dengan dilegetimasi oleh oknum mahasiswa.


Seakan mengulangi sejarah dari sebuah sejarah perubahan, yang dibalik perubahan ada yang menganggap paling pioneer dan meniadakan komponen dari agent perubahan itu sendiri. Seperti revolusi Rusia yang melahirkan Lenin dan menegasikan Tolstoy, revolusi Cina dengan melahirkan Mao Zedong dan menegasikan rakyat Cina, revolusi Iran dengan melahirkan kaum Mullah yang menegasikan perjuangan seluruh komponen masyarakat Iran.


Reformasi ternyata hanya milik segelintir tokoh atau kelompok tertentu, tak urung hilangnya nyawa ratusan mahasiswa hilang ditelan oleh hiruk pikuk tepukan dari kelompok mahasiswa yang mendaulat kepada segelintir orang sebagai tokoh reformasi. Reformasi hanya sebagai kesempatan bagi yang haus kekuasaan, bagi yang berlomba-lomba menginginkan jabatan, dimana-mana mereka berbicara perubahan, dimana-mana mereka melakukan sesuatu yang tidak identik dengan perilaku rezim orde baru, namun perilaku, sifat dan pikirannya sama bejatnya dengan orde baru. Reformasi telah tercuri oleh segelintir elit politik, tercuri dari akar kesejarahanya.


HMI MPO di Tengah Gerakan Mahasiswa


Ditengah-tengah hilangnya idealisme dan keindependenan gerakan pada masa transisi-reformasi, HMI MPO sebagai gerakan mahasiswa tetap konsisten dengan keindependenannya, tidak terikat oleh apapun dan siapapun, tetapi terikat oleh cita-cita perjuangan menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur yang diridlhai oleh Allah SWT. Sehingga ketika mahasiswa terjebak kepada fanatisme tokoh dan golongan, aktifis HMI MPO telah membuang penyakit-penyakit itu. Tidak heran ketika gerakan mahasiswa terpecah dalam persoalan menolak dan mendukung diberhentikannya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan,[9] HMI MPO mendeklarasikan turunkan empat tokoh sekaligus dari kekuasaan. Yaitu: Amin Rais, Akbar Tandjung, Megawati, dan Abdurrahman Wahid.


Polarisasi gerakan mahasiswa (GEMA) sebagai fakta yang harus diamini, ada gerakan Islam, nasionalis, ada komunis (sosialis). Ini menimbulkan gesekan dan perebutan pengaruh dimasyarakat maupun di kampus. Pertarungan dan perebutan pengaruh antar GEMA sebagai dinamika gerakan yang positif untuk berlomba-lomba memberikan kontribusi kepada Negara. Namun ini juga punya peluang besar terjadinya konflik yang tidak sehat, sehingga GEMA sibuk dengan konflik antar mereka. Sehingga melupakan tanggung jawab yang lebih besar yaitu menyelamatkan Negara dari cengkraman kapitalisme internasional berkolaborasi dengan borjuis nasional pro kapitalis yang masih mengakar kuat di bumi Indonesia.


Salah satu cara yang harus dilakukan oleh HMI MPO untuk membangun gerakan mahasiswa yang massif adalah menjadikan kampus sebagai ruang konsolidasi strategis antar gerakan mahasiswa untuk mendiskusikan isu lokal, nasional dan internasional. Sehingga terjalin kesamaan frame berfikir dalam mensikapi realitas yang ada.


Peran HMI MPO sebagai pengawal perubahan bagi bangsa ini perlu dipertahankan dengan selalu menjadi pelopor gerakan (avandt garde) ditengah-tengah GEMA lain. Wawasan kebangsaan dan keIslaman (nasionalis agamis) harus menjadi cara pandang untuk melihat segala masalah pada bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini. Penjajahan asing baik melalui penggelontoran hutang-hutang luar negeri, Multi National Corporation (MNC), dan borjuis nasional pro kapitalis yang merugikan masyarakat, menjadi musuh bagi bangsa dan HMI. Maka HMI harus membawa GEMA pada arah dan tujuan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan bangsa (NKRI) dan menjaga kerukunan antar masyarakat beragama, berkepercayaan dan berkebangsaan.



By: mche ridwan


Ketua Komisi Politik PB HMI



Note


[1] Wawasan islam kebangsaan ini banyak di tuangkan dalam pemikiran-pemikran tokoh-tokoh hmi seperti Nurcholis Madjid, Dawan Rahardjo, Ahmad Wahib dan Johan Effendy


[2]
Victor Tanja, hlm 85

[3] Dalam sejarah pemerintahan Soekarno banyak persaingan-persaingan ditingkatan elit parlemen untuk saling mendominasi, seperti MASYUMI, NU, PNI, dan PKI. Dan empat partai ini mempunyai basis masa sendiri-sendiri dan pemahaman yang berbeda-beda. Mayumi yang dikuasai pemahaman islam reformis/puritan, punya basis masyarakat islam di jawa dan luar jawa, NU dengan pemahaman islam yang dipadukan dengan adat istiadat dan kepercayaan jawa, punya basis masyarakat islam dijawa, PNI dengan paham nasionalis kebangsaan dapat dukungan dari pegawai pemongpraja (pegawai pemerintah), PKI dengan paham komunis anti kapitalis punya basis buruh, termasuk buruh tani didaerah jawa. Lihat Rode dkk, pengantar ilmu politik, hlm 483


[4]
Setelah keluarnya UU keormasan Orde baru banyak menertibkan organiaasi-organisasi sosial dan mahasiswa seperti para petani dikelompokan dalam organisasi HKTI (Himpunan Kelompok Tani Indonesia), para nelayan dikelompokan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), para buruh/pekerja dikelompokan dalam SPSI (Serikat pekerja seluruh Indonesia), para pemuda/mahasiswa dikelompokan dalam KNPI (Komite nasional pemuda Indonesia), pengelompokan-pengelompokan ini dimaksudkan oleh pemerintah orde baru untuk mudah melakukan pengawasan. Lihat Rodee dkk dalam buku pengantar ilmu politik terbitan raja grafindo persada, 2002, hlm. 490

[5] Perpecahan ditubuh HMI ini selain timbul karena adanya intervensi negara yang ingin memaksakan kepentingan homogenisai ditubuh organisasi-otganisasi mahasiswa dan masyarakat melalui pancasilaisme. Juga karena perbedaaan pemahaman dan sikap poltik, ada yang menginginkan HMI tampil sebagai organisasi yang ada dalam garis perjuangan keagamaan dan ada yang menginginkan sebagai orgnauisaisi poltik yang lebih pragmatis atau lebih kompormis dengan kepntingan negara pada waktu itu. Lihat pendapat Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Paradigma Islam Interprestasi untuk Aksi. Bandung:Mizan, 1996. Hlm. 200

[6] Peristiwa penentangan terhadap masuknya produk asing ini banyak memakan korban dikalangan mahasiswa yang pada waktu itu dipimpin oleh Hariman Siregar, dan banyak aktifis-aktifis pada waktu itu ditahan, peristiwa ini terkenal sebagai peristiwa malari (lima belas januari) 1974. Lihat buku karangan Harima Siregar tentang gerakan mahasiswa terbitan Teplok Press.

[7] Dengan keluarnya UU No. 1 tahun 1967, sebagai ikhwal dari pertama kali masuknya koorporasi asing PT Freeport (amerika) ke papua, untuk mengeksplorasi migas dan energi disana. Dalam perjalananya pengelolaan itu tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat papua, tetapi hanya menguntungkan Pt Freepot dan kaum elit kekuasaan. Sehingga pada waktu itu memunculkan keinginan dari masyarakat Papua untuk merdeka. Keinginan merdeka ini, sebagai rasa kekecewaan terhadap pemerintahan orde baru, cita-cita kesejahteraan yang pernah dijanjikan oleh Soekarno, Hatta, dan M Yamin kepada mereka pupus sudah dengan pemerintahan Soeharto. Dan perlu diingat bergabungnya Papua barat tidak terlepas dari bujukan ketiga tokoh tadi dengan program demokratik mereka

[8] Intervensi Negara terhadap kampus, tidak hanya berdampak kepada peranan Negara untuk mengurusi kurikulum pendidikan, tetapi juga sebagai penataan terhadap kehidupan mahasiswa dikampus, ini skenario orde baru untuk mengisolasi kampus dari konsolidasi gerakan mahasiswa yang kritis terhadap kekuasaan.

[9] Isu penurunan Gus Dur berawal dari parlemen yang diprakarsai oleh poros tengah, golkar dan PDIP yang banyak mempengaruhi sikap dan penilaian gerakan-gerakan mahasiswa terhadap posisi gusdur sebagai presiden dan sikap dan penilaian itu membawa terpecahnya gerakan menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang mendukung diberhentikanya gusdur adalah HMI, KAMMI dan IMM, sedangkan kelompok kedua yang menolak diberhentikan adalah PMII, FORKOT, Famred, PRD. Sedangkan kelompok ketiga adalah HMI MPO yang mensuarakan turunkan empat tokoh sekaligus yaitu; Gus Dur, Amin Rais, Akbar Tandjung dan Megawati. lihat juga tulisanya Nur Khalik Ridwan dalam bukunya Islam Borjuis dan Islam Proletar. Hlm. 143

No Response to "HMI Dalam Dialektika Sejarah Gerakan"

HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU