Sabtu, 27 Juni 2009

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 23.50
Bantahan Prediksi Kemenangan SBY-Budiono dan Kemungkinan Kemenangan Megawati-Prabowo dalam Putaran Kedua
oleh: Bambang Wibiono

Pasca pemilu legislatif yang dilaksanakan pada 9 April kemarin, perpolitikan di tanah air semakin memanas dikarenakan akan adanya pemilihan presiden secara langsung. Setelah melalui berbagai lobi-lobi dan komunikasi politik di antara partai-partai politik kontestan Pemilu 2009, muncul tiga pasang nama calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada Pilpres mendatang. Tiga pasangan calon itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono berdampingan dengan Budiono, Jusuf Kalla dengan Wiranto, serta Megawati dengan Prabowo.

Melihat kontestan pemilu presiden tersebut, mulai banyak kalangan yang mencoba memprediksi siapakah yang akan memenangkan pertarungan dalam pesta demokrasi ini. Kemenangan partai demokrat yang mencapai angka 20% mengungguli partai-partai besar lain yang sudah lama berkiprah di negeri ini seperti PDIP dan Partai Golkar, mengantarkan SBY dalam pertarungan merebutkan kursi presiden. Hal serupa pun dilakukan oleh rival besarnya, yaitu Partai Golkar dan PDIP, yang masing-masing mencalonkan presiden. Berdasarkan pertimbangan perolehan suara pada Pemilu legislatif sebelumnya, dua partai besar rival Demokrat ini ngotot untuk mencalonkan presiden, bukan calon wakil presiden. Kondisi ini terlihat pada lobi-lobi yang dilakukan PDIP dengan Gerindra hingga akhir batas pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung alot.

Melihat peta politik pasca penentuan capres-cawapres, koalisi yang terbentuk lebih didominasi oleh pasangan SBY-Budiono. Dengan kemenangan suara Partai Demokrat, didukung oleh PKS serta ditambah lagi dengan koalisi partai-partai kecil lainnya, dalam ukuran kuantitas suara, pasangan ini akan dapat memenangkan Pilpres mendatang. Penilaian ini jika dibandingkan dengan dukungan koalisi pasangan lainnya. Apakah kemenangan Demokrat pada Pemilu legislatif lalu serta dukungan koalisi mampu membawa kemenangan pasangan SBY-Budiono? Adakah peluang pasangan lain untuk menang?

Menurut penilaian saya, kemenangan Pemilu legislatif lalu oleh Partai Demokrat belum menjamin kemenangan Pilpres mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu pertama, kemenangan PDIP pada Pemilu 2004 saja yang mencapai angka lebih dari 30% tidak mampu membawa Megawati sebagai pemenang. Hal serupa juga dialami oleh Golkar, walaupun pada putaran kedua, suara Golkar dapat beralih pada SBY karena menggandeng Jusuf Kalla sebagai kader Golkar. Meski Partai Demokrat merupakan pemenang Pileg 2009, perolehan suaranya jauh daripada mayoritas absolute.

Kedua, munculnya kritik tajam dari berbagai pihak soal pasangan calon wakil presiden yang digandeng oleh SBY yaitu Budiono yang dinilai adalah “pesanan” dan pro terhadap neoliberalisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat mengenai penilaian terhadap pasangan SBY-Budiono, dan jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak pada menurunnya popularitas dan dukungan masyarakat padanya.

Ketiga, koalisi yang dilakukan oleh partai-partai kecil bukan koalisi yang kuat yang akan menambah jumlah perolehan suara. Hal ini dikarenakan partai-partai kecil berkoalisi hanya ingin mencari aman agar tidak tersingkir dari kancah politik Pilpres dan pembentukan kabinet nantinya. Menurut Azyumardi Azra, koalisi ini hanya semacam political expediency, atau situasi politik darurat.1

Selain itu juga koalisi yang dilakukan terdiri dari berbagai aliran ideologis, agama serta aliran keagamaan. Ini dapat menyulitkan dalam mempersatukan koalisi dalam bentuk program-program yang akan dilakukan kedepan. Misalnya saja Muhammadiyah melalui mantan pemimpin puncaknya, Ahmad Syafii Ma’arif telah mewartakan isyarat kepada semua warga agar memihak JK-WIN. Ketua Umum PP Muhammadiyah sendiri, Dien Syamsuddin, diperkirakan memiliki alasan lebih besar untuk bergabung mendukung JK-Win ketimbang dua pasangan lainnya2. Persoalan kondisi perpecahan beberapa kader partai mengenai perbedaan dukungan (misalnya beberapa tokoh PAN yang tidak mendukung pasangan SBY-Budiono) mengindikasikan tidak solidnya dukungan dalam koalisi. Jadi dukungan struktural partai belum tentu mencerminkan dukungan massa di tingkat bawah, dan hal ini menuai angka swing voter karena pilihan calon belum tentu didasarkan pada pilihan partai.

Keempat, walaupun pasangan ini berasal dari Jawa yang merupakan penduduk terbanyak yang memungkinkan mendapat dukungan besar, tetapi sikap memunculkan sentimen primordial yang berlebihan dalam beberapa iklan di media, malah akan menurunkan simpati terlebih lagi di kalangan luar Jawa. Hal ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia pada Bulan April 2006 yang menyebutkan di kalangan pemilih suku Jawa, sebanyak 63.5% menyatakan latar belakang suku kurang penting atau tidak penting sama sekali.

Kelima, adalah apatisme masyarakat yang apabila dibiarkan bisa begitu cepat menjurus sinisme kepada setiap hal yang berbau pemerintah (incumbent) atau yang secara umum patut diasosiasikan ke arah itu. Hal ini tidak saja berkembang di kalangan mahasiswa dan intelektual independen, tetapi juga masyarakat biasa. Penyebabnya ialah fenomena politik pasca Pemilu legislatif 2009.

Kelima alasan inilah yang menjadi landasan kecenderungan menurunnya perolehan suara pasangan SBY-Budiono dalam Pilpres 2009. Prediksi yang dilakukan melalui survei oleh Lembaga Survei Nasional (LSN) yang memprediksikan kemenangan SBY-Budiono dalam satu putaran mungkin akan meleset. Berdasarkan survei itu, responden yang memilih pasangan SBY_Budiono sebanyak 88%, dan hanya 10,9% yang menyatakan masih ada kemungkinan berpaling. Sedangkan yang akan memilih Megawati-Prabowo sebesar 76,6%, dan hanya 18,1% yang mengaku masih ada kemungkinan memilih pasangan lain. Sedangkan yang akan memilih JK-Wiranto hanya 56,9%, tetapi dengan catatan adalah bila Pilpres dilaksanakan pada saat itu.3 Artinya masih ada kemungkinan besar perubahan jika masing-masing pasangan tidak mampu menjaga wibawa dan menarik simpati massa.

Kemungkinan kemenangan MegaPro pada putaran kedua

Ada prediksi dari sejumlah pengamat bahwa Pilpres 2009 kemungkinan akan berlangsung dua putaran, karena terdapat tiga pasangan yang muncul untuk bersaing. Prediksi ini juga diungkapkan dalam Media Indonesia.com4. Jika ini terjadi, akan terbuka kemungkinan kemenangan untuk lawan politik SBY yang lolos pada putaran pertama. Ada kemungkinan yang akan lolos pada putaran pertama adalah pasangan SBY-Budiono dan Megawati-Prabowo. Karena melihat kekuatan suara melalui koalisi yang dibentuk masing-masing pasangan, pasangan JK-Wiranto berada pada urutan terendah. Ditambah lagi calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar ini bukan berasal dari etnis Jawa, sehingga kemungkinan pemilih yang sebagian besar dari Jawa ini akan cenderung memilih selain pasangan JK-Wiranto. Implikasinya adalah pasangan ini akan tersingkir pada putaran pertama. Selain itu, citra Jusuf Kalla selama memerintah sudah dinilai rendah oleh masyarakat dan lebih menilai keunggulan SBY dalam memerintah.

Jika pasangan JK-Wiranto tersingkir pada putaran pertama, ada peluang tambahan suara bagi pasangan Megawati-Prabowo yang berasal dari partai pendukung pasangan JK-Wiranto. Hal ini disebabkan kedua pasangan ini lebih memiliki kedekatan emosional. Sebab sejak awal Partai Golkar sudah memperlihatkan “permusuhannya” dengan Partai Demokrat sebab merasa dikhianati selama bermitra dengan SBY. Kedekatan tokoh-tokoh kedua partai besar pendukung JK-Wiranto pada kubu PDIP pasca Pemilu legislatif menjadi alasan merapatnya dukungan JK-Wiranto pada pasangan Megawati jika kalah pada putaran pertama. Begitu juga kedekatan ideologi partai pendukungnya seperti Hanura dan Golkar yang beraliran nasionalis menjadi pendukung kemenangan pasangan Megawati-Prabowo pada putaran kedua. Jika menelisik sejarah pendiri Partai Hanura dan Gerindra, mereka berasal dari satu partai yang sama yaitu Golkar, sehingga ini memungkinkan bergabungnya ketiga partai itu untuk mendukung Megawati jika lolos putaran pertama.

Semua yang diungkapkan di sini hanyalah sebuah prediksi semata. Hasilnya tergantung pada masing-masing pasangan calon dalam pencitraan dirinya melalui berbagai pendekatan, sosialisasi, pemaparan visi dan misi yang jelas yang dapat menarik simpati dan dukungan konstituen. Peran media dalam hal pencitraan ini sangat penting. Jangan sampai dalam pencitraan melalui media malah menjatuhkan pamor karena ada sentimen primordial seperti yang dilakukan oleh SBY. Oleh karena itu perlu juga netralitas media dalam menggiring opini publik ke salah satu pasangan calon.

***

Rabu, 17 Juni 2009

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.44
PB HMI : Penting Nggak Penting..,Penting Bangetzzz!!! (Siapa dan Bagaimana)
oleh; Shinta arDjahrie

Ibarat masa tenggang biz pemilu nieh... qta tentunya menunggu seperti apa sieh kepengurusan PB periode 2209-2011 besok??? Masalah mas chozin yang kepilih...itu udah keputusan palu sidang kongres...gak perlu digugat gugat lagi. Yang pasti Mas Chozin adalah ketua formatur saja, dan tentu bukan berarti semua beban PB HMI ada di pundak dia..Buset dah malang nian kalo nasibnya seperti itu, udah kawakan (kalo gk sopan dibilang tua), jomblo, kurus, kecil, he3..(piss mas!!! ^_^), masa disuruh nanggung beban itu semua???

Satu hal yang sempat saya ingat dari kata-kata sang beliau ketua PB kita adalah bahwa ketika mas Chozin maju yang terpenting adalah komitmen dari semua kader untuk membangun HMI ini lebih baek. Ibaratnya besok tuh yang akan muncul ya tetep generasi-generasi sekarang. Namanya juga orang tua...tugasnya adalah mengarahkan, menasehati, dan memfasilitasi, tul gak??? Satu hal yang bisa diambil hikmah dari terpilihnya mas chozin adalah... yang namanya orang tua biasanya nggak senafsu anak muda untuk urusan eksistensi. Buktinya...sampe sekarang mas chozin itu belum memberikan sepatah kata pun sambutan ataupun tanggapan semenjak dilantiknya beliau. Gak tw juga tuh upacara penutupan yang inkonstitusional tidak memberikan alokasi waktu untuk sambutan ketua formatur terpilih. Sepertinya itulah yang kemudian yang akan dibangun pada kepengurusan kedepan, mas Chozin akan diam dan kita yang bergerak.

Siapapun ketua umumnya, saya rasa sama aja ketika kita kemudian tidak mampu berbuat apa-apa. Kalo evaluasi dari yang kemaren tuh, hal-hal yang bisa menjadi permasalahan adalah : komunikasi . he3.. Sotoy banget ya??? Nggak juga sieh..permasalahan yang laen juga banyak. Komunikasi itu cakupannya luas, bukan sebatas interaksi keseharian melainkan juga bagaimana kemudian ide-ide kita bisa dikomunikasikan dengan baek kepada yang laen (belajar dari kasus Palembang). Saya pikir, HMI masih punya kekuatan di jutaan ide-idenya yang brilian.

Hemh...kalo diliat dari dukungan saat pemilihan formatur kemaren..Timur, Utara yang cukup banyak dan juga beberapa bagian barat, kalo mo itung2an imbalan politik, apa orang--orang dari sana yang akan masuk menduduki kursi PB??? Kalo denger2 ada deal2 kontrak politik..walaupun itu saya lihat sebatas isu penghias kongres, yang jadi pertanyaan ternyata posisi PB itu masih banyak juga yang memimpikannya. Nggak tw deh kenapa. Kalo saya yang dulu sempat aktiv di Pramuka, kyaknya lebih menggiurkan menjadi DKN (Dewan Kerja Nasional) deh daripada di PB.he3. Tapi yang pasti, kalo dihubungkan sama suara waktu kongres kemaren, PR berat buat mas choz dkk untuk membuat temen2 tengah yang notabene adalah GPA (Gerakan Pendukung Azwar) untuk bisa percaya bahwa kepengurusan Chozin yang mengusung tema : "HMI Berkarya dan Berprestasi" merupakan satu harapan baru yang lebih cerah untuk perjalanan HMI. So, buat qta percaya (halah...lebai deh!!!).

Apalagi kalo inget usia keanggotaan mas chozin yang lumayan udzur (aduh..dibahas lagi deh), kemungkinan besar tidak terlalu mengenal siapa aja sieh orang-orang di zaman sekarang..Nggak mungkin kan orang-orang zaman beliau yang kemudian dimasukkan ke PB lagi (nggak kebayang deh PB besok diiisi lagi sama mas Mudofir, mas Marta, mas Cahyo, dan teman-teman seangkatan mas chozin yang laen...Bukan jadi PB, tapi jadi ajang reuni. he3). Kita mungkin yakin bahwa maju-nya ma Chozin sudah penuh pertimbangan kedepannya mo gimana. Kalo program per semester sieh kyaknya udah ada. Tapi, kemudian siapa-siapa orang-orangnya??? Apakah teman-teman dari timur-utara akan berbondong-bondong ke Jakarta untuk memenuhi sekre PB? dulu sempet ada kabar-kabar orang-orang timur yang terlunta-lunta di ibukota. Pengalaman klasik yang kyak gini nieh yang jangan jadi tradisi.

Tapi, sebenarnya penting nggak sieh kalo semua jajaran PB itu harus orang yang domisili di ibukota??atau setidak-tidaknya dia mobile?? Hemh... sebenarnya kalo dipikir-pikir..di era kyak gini, kondisi geografis udah bukan jadi alesan untuk susah koordinasi. Harapannya juga besok udah nggak ada alesan2 teknis yang memalukan kayak "email eror", "hape nggak ada pulsa", yang menjadi penghambat koordinasi dan komunikasi baik antara internal PB maupun dengan cabang-cabang. PB itu kan kemudian bukan kyak cabang yang kalo rakor harus ngumpul di sekre semua. Pas LPJ kemaren sempet saya singgung optimalisasi potensi dari tiap komisi di PB (oya sekarang udah diganti lagi menjadi departemen jadi bentukya bukan komisi), bahwa sebenarnya tiap bidang itu dapat melakukan optimalisasi pemberdayaan kader berbasis keilmuan. Mungkin satu hal yang menjadi PR buat PB adalah "DATA". Yup, qta sangat lemah sekali di data, bahkan data tentang kader sendiri. Terbukti ketika kasus utusan kongres kemaren, di cabang juga nggak punya data, di badko sama, di PB lebih-lebih. Padahal pendataan itu kan berarti inventarisasi potensi kita, betul nggak??? Kalo emang memungkinkan pendataan biar lebih mudah juga bisa via internet, jadi kyak entry data di kampus. Saya rasa seterpencil apapun cabang HMI, pasti ada akses internet donk??? Apalagi sekarang kyaknya punya hape canggih-canggih semua deh. Kalo sebatas untuk akses info pemberitahuan entry data, itu nggak terlalu sulit kan?? Emang sieh nggak semudah itu juga, mungkin ntar mas chozin yang hobi travelling ke luar jawa, bisa lngsung turun untuk mendapatkan data yang ada di lapangan secara langsung, sebenarnya kader kita itu berapa sieh???punya potensi apa aja?? (jangan bilang kamu butuh intel, mas!!!he3). Apa benar kita punya lebih dari lima ratus kader?? Nah lo..jangan2 cuma klaim aja.

Dari data tersebut kemudian kita kan bisa punya sebaran potensi kader. Kita bisa liat tuh..kader mana sieh yang potensi-nya di politik, seni-budaya,olahraga, filsafat, teknologi, sains, atau mungkin ada yang potensinya facebook-an aja atau sekedar ngegosip!!he3.. Ada lho..jangan salah!! (yg ini off the record deh). Selama ini kyaknya cuma asumsi aja..ooh itu cabang-cabang barat potensinya di politik karena dekat dengan ibukota. Waduh..masa iya sieh???politik praktis dan pragmatis sieh mungkin iya...he3.

Nah, kyaknya yang mengenal potensi lebih detail itu cabang-cabang deh. Peran proaktif cabang untuk memahami potensi kader2 di cabangnya yang kemudian memberikan perwakilannya untuk membangun jaringan di tingkat pusat. Jadi di pusat itu lebih berperan untuk meneruskan potensi yang ada di kader-kader melalui jaringan yang dibangun di pusat. PB itu nggak usah cape2 bikin acara diskusi2 di cafe atau bikin syawalan (kalo ini kita taro aja di prokernya alumni...he3).

Selama ini di HMI mungkin yang terlihat adalah orang2 yang mahir politik atau wacana saja. Wah..padahal kader-kader kita itu potensinya banyak banget lho???kita punya kader yang atlit catur tingkat nasional, kita punya kader yang punya potensi di bidang seni budaya sampe di tingkat internasional, belum pada tahu kan selama ini??? Ya, karena selama ini HMI diarahkan kepada kecenderungan politik...lagi-lagi politik. Iya, kalo politiknya bener, klo cuma politik praktis. Mentok2nya jadi tim sukses. Waduh...!!! Padahal HMI itu bukan organisasi politik, segala potensi ada disana. Misalnya nieh...anak HMI banyak yang ahli sastra lho!! pernah aq ngliat kumpulan cerpen di komputer PB, atau puisi2..gila2 itu karya maestro abiz!!! Kita udah punya link ke penerbitan. Kita ada link ke komunitas-kmunitas seni budaya. Itu karya-karyanya anak HMI bisa jadi warna tersendiri di tengah dunia sastra yang semakin ngepop!!!! Mantap kan?? Karena ketika melakukan rekayasa sosial itu bukan cuma lewat politik, tapi lewat bidang apapun!!! Seandainya di PB kemaren ada tambahan komisi..mungkin yang ingin ditambahkan adalah Komisi Teknologi Informasi dan KOmisi Seni Budaya. Tapi selama ini HMI kurang mewadahi hal-hal yang kyak gitu. Padahal orang HMI yang anak teater bejibun...artis semua!!! Audisi Film KCB kemaren sebenarnya kalo anak2 HMI mo ikut, semua bisa kepilih. Tapi sayangnya nggak minat sama gitu2an...he3.

Ups, jadi agak ngelantur ya??? Jadi kalo ngliat judul diatas, PB??penting nggak sieh?? Penting tapi bukan segalanya. Penting bangetz karena biar potensi-potensi kita nggak mati. Masa kader2 HMI lulus kuliah pada berbondong-bondong jadi PNS. Nggak salah sieh... Tapi itu menunjukkan bahwa HMI ternyata kurang optimal untuk menjadi alat pengembangan potensi diri. Kalo emang banyak yang suka politik kenapa nggak dibikin aja Lembaga Khusus bidang politik . LPMI (Lembaga Politik Mahasiswa Islam), itu akan membuat HMI terhindar dari isu2 yang mengatakan tidak independen.

Yang pasti, berharapnya besok yang di PB bukan karena sekedar deal-deal politik ataupun kepentingan-kepentingan tertentu. Kalo kemaren pas pemilihan disinyalir banyak tangan gaib alumni yang ikut bermain... KIta potong saja tangan mereka.he3. Kalo emang kemaren mereka bermaen..ya cukuplah, biarkan kita generas-generasi sekarang lah yang bermain di pentas. Toh sebenarnya para senior juga udah diwadahi oleh lembaga MSO. Kenapa nggak maen2 disitu aja sieh??kan sesuai umur tuh..he3.

Yang pasti..saya dan juga teman--teman semua yang ada di cabang-cabang seluruh Indonesia pastinya berharap untuk HMI yang lebih baek. HMI yang Berkarya dan Berprestasi. Sudahilah legenda HMI sebagai alat politik, kalo kita emang mo berpolitik ya marilah dirikan bangunan-bangunan politik yang indah , bersih. HMI ini kan tempat kita semua belajar. Kalo pas belajar aja kita udah rusuh...apalagi nanti aplikasinya. Yakin Usaha Sampai

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.27
Adakah Pemerintah dan Negara itu?*
Oleh: Bambang Wibiono

Saat ini rakyat Indonesia kembali dilanda musibah yang besar. Di saat berjuta rakyat kita yang hidup dalam sebuah penderitaan—yang untuk dibayangkan saja kita tak sanggup—pemerintah SBY-JK kembali mengeluarkan kebijakan yang sangat menyakitkan hati rakyat, khususnya rakyat kecil. Belum sempat rakyat kita mampu menyesuaikan diri dengan keadaan mahal dan langkanya harga kebutuhan pokok, kini akan ditambah lagi dengan kenaikan harga BBM.

Ternyata kemerdekaan tidak menjamin bahwa keamanan dan ketentraman akan didapat. Ternyata reformasi tidak seperti yang diarapkan oleh kita semua. Ternyata kolonialisme dan imperialisme tidak hanya terjadi pada jaman tradisional, namun dia bisa datang menyesuaikan diri pada jaman modern saat ini. Bahkan wajah imperialisme ditutupi oleh ‘kebaikan’ yang dinamakan dengan pembangunan dan pertumbuhan.


Setiap detik kita dengar jerit tangis manusia-manusia tak berdosa yang tak kuat menahan cobaan hidup. Setiap hari selalu ada orang yang tak bisa makan karena tidak ada yang dimakan. Tiap hari pula kita melihat tidak kriminal akibat masalah makan. Setiap hari selalu ada orang yang mati akibat tidak adanya biaya untuk berobat dan tidak ada yang mau peduli. Cobaan yang demikian luar bisanya yang selalu menimpa mereka-mereka yang tidak pernah tahu apa salahnya. Mereka semua tidak pernah berharap dan tidak pernah mau mendapat cobaan yang demikian berat yang hanya untuk dibayangkan saja sudah tak sanggup. Tetapi di sisi lain negeri ini masih pula kita dengar suara terbahak orang yang sedang menikmati indahnya hidup, masih kita dengar dengkuran orang yang tidur akibat kekenyangan, masih pula kita dengan suara orang bersenandung dalam gemerlap pesta meriah.

Aubade penderitaan hidup inilah yang setiap detik, setiap jam, dan setiap hari kita dengar, dan kita lihat lewat media. Seakan hidup tak pernah adil dan berpihak pada mereka yang memang tak sanggup menghadapi hidup. Roda kehidupan seperti enggan untuk berputar meski hanya untuk sesaat untuk membalik semua keadaan, bahkan untuk sedikit condong saja pun tak mau. Apakah roda kehidupan ini telah lelah dimakan jaman sehingga tak mampu berputar? Atau roda kehidupan memang tak mampu menahan bebannya setiap saat untuk berputar? Entahlah…tetapi itulah kenyataannya. Kehidupan ini seperti berhenti pada satu titik. Masih adakah keadilan untuk mereka?

Setiap saat selalu didengungkan keadilan. Setiap saat selalu bicara kepentingan rakyat kecil. Setiap saat selalu bicara soal kemakmuran dan kesejahteraan. Semua celotehan yang tak berguna itu tak banyak membantu. Semua itu hanyalah layaknya nyanyian burung berkicau di pagi hari yang indah dan menyejukan bagi yang mendengar. Tetapi, ketika kita sadar akan kenyataan, kita akan mulai mual, muak, benci akan hidup. Hiburan sesaat itu tak banyak membantu.

Demokrasi yang dijanjikan akan membawa perubahan dan kemajuan bangsa dan negara, sampai saat ini hanya sebatas mitos yang biasa kita dengar lewat nenek moyang kita. Welfare state yang menjadi tujuan negara kita, hanya gombal. Semua itu bohong!!. Rakyat sudah benci pada pemerintah dan negara ini. Rakyat sudah bosan dengan pemerintah. Keberadaan pemerintah, pemerintahan, dan negara sudah tidak ada signifikansinya lagi. Dia hanya sebatas simbol bagi penderitaan rakyat kecil, yang hanya akan semakin menyakitkan jika menyebutnya.

Sejenak kita bangga akan kesuksesan kita menjalankan demokrasi yang paling demokratis sejak tumbangnya orde baru. Negara kita mendapat penghargaan karena menjalankan sistem pemilu yang demokratis lewat pilihan langsungnya. Semua negara di dunia mengacungkan jempol mereka atas prestasi itu. Tapi, pernahkah kita berpikir apa arti itu semua? Buat apa demokrasi, jika dia tak mampu menyampaikan keluhan. Buat apa demokrasi, jika masalah rakyat tak kunjung diatasi?. Buat apa rakyat bebas berteriak jika tak ditanggapi?. Semua itu hanya buang-buang energi saja! Persetan dengan demokrasi!!

Demokrasi kita telah disalah artikan oleh segelintir orang yang tak bertanggungjawab. Demokrasi kita hanya melahirkan kelompok-kelompok baru penindaas rakyat kecil atas nama demokrasi. Atas nama dukungan rakyat, mereka bertindak semaunya. Mereka memohon dukungan rakyat, tetapi setelahnya mereka mencampakan rakyat seperti mencampakan sampah yang tak berarti meski mereka meneteskan air mata darah sekalipun.

Masih ingatkah kawan-kawan sekalian, ketika pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM? Namun apa buktinya? SBY menyatakan bahwa ini adalah opsi terakhir untuk menyelamatkan APBN kita. Apakah kita tahu ke mana aliran dana APBN kita? Mungkin sebagian besar hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Malah lebih menyakitkan lagi SBY menyatakan bahwa sebenarnya ekonomi Indonesia mulai mebaik dan mengalami pertumbuhan. Bagaimana bisa di saat banyak rakyat miskin yang semakin menderita, bertambahnya pengangguran, dan semkin meningkatnya angka putus sekolah, ekonomi kita dianggap mengalami kemajuan/pertumbuhan.

Mempertanyakan eksistensi lembaga negara

Negara lahir karena adanya kebutuhan orang akan rasa aman, dan sejahtera. Rakyat membentuk sebuah negara atas dasar komitmen mereka untuk hidup bersama dalam naungan lembaga yang mengatur mereka semua demi terciptanya kesejatereaan yang merata. Tetapi apa yang terjadi pada negara Indonesia kita tercinta? Negara tak mampu mengakomodir keinginan rakyatnya—walau hanya sebatas rasa aman—apalagi kesejahteraan. Mereka seperti tertindas di negeri sendiri. Mereka dieksploitasi hanya untuk melanggengkan sistem yang ada dan untuk menyejahterakan kaum kapitalis asing.

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan BBM menjadi bukti ketidakberdayaan negara dalam memberikan rasa aman bagi rakyatnya. Bertapa tidak, setiap saat kita selalu dibayangi oleh ketakutan akan tidak mampunya kita untuk memenuhi kebutuhan yang paling primer. Meski peluh telah mengering, tulang telah remuk berkeping-keping, air mata telah habis, kulit telah hangus terbakar, tenaga telah menguap, namun tetap saja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Semua daya dan upaya telah dikerahkan demi bertahan hidup.

Ditengah kondisi seperti ini, pemerintah malah menganjurkan untuk hidup bersahaja alias berhemat. Sungguh lucu memang. Mereka tidak pernah tahu-menahu begitu bersahajanya rakyat kecil melalui hidupnya sehari-hari. Bahkan hidup rakyat kecil sudah melebihi batas kewajaran dalam bersahaja. Pernyataan pemerintah seperti itu lebih pantas ditujukan kepada para pejabat pemerintahan, konglomerat yang setiap harinya hanya menghambur-hamburkan uang.

Dimana rasa kemanusiaan mereka, ketika di sekitarnya masih ada jerit tangis kelaparan? Di mana moral mereka ketika masih ada yang sulit untuk tidur. Di mana hati mereka ketika ada yang membutuhkan pengobatan?? Lantas di manakah peran negara sebagai lembaga yang mengayomi rakyatnya, yang seharusnya memeberikan jaminan bagi rakyatnya untuk dapat merasakan hidup aman, tentram, dan sejahtera? Masih adakah negara itu di sini? Jika para pemimpin negeri ini tak sanggup memberikan apa yang diharapkan oleh rakyatnya, dia sudah tak pantas lagi memimpin negeri ini.

Sepertinya sistem di negara ini sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan rakyatnya. Bahkan mungkin lembaga pemerintahan atau negara sudah tidak dibutuhkan lagi bagi kelangsungan hidup. Mestikah kita membubarkan lembaga negara yang selama ini hanya menyisakan kepedihan bagi yang di dalamnya?. Jika memang mungkin itu terjadi, maka benarlah apa yang dikatakan oleh para filsuf dahulu bahwa negara itu akan dengan sendirinya hilang ketika rakyat sudah tidak membutuhkannya lagi. Sebab negara ada, atas dasar kepentingan bersama dan demi tercapainya tujuan besama. Itu artinya negara ada hanya ketika dibutuhkan. Apakah kondisi seperti ini yang akan terjadi pada Indonesia tercinta. Hanya waktu yang akan menjawabnya.

*tulisan ini diambil dari http://www.duniapolitiku.blogspot.com dan diposting pertama kali tanggal 5 Juni 2008

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.15
Menggugat Konstruksi Sosial Nilai Barat dan Timur
Bambang Wibiono

Selama ini, kita telah terjebak pada dikotomi antara barat dan timur। Dalam benak kita sebagai orang Timur atau Asia—atau mungkin dalam benak setiap orang—telah melekat stigma bahwa barat lebih baik dari Timur, negara barat lebih maju, orang barat lebih unggul, sedangkan kita sebagai orang Timur, khususnya orang Asia merasa lebih rendah dan terbelakang॥ stigama seperti ini sungguh sangat naif dalam kehidupan saat ini yang mengutamakan persamaan, dan hak asasi।।

Stereotyipe seperti ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang sudah tercipta sejak lama dan melalui proses yang sangat panjang, serta telah menjadi sebuah sistem dan struktur yang mapan. Dari anggapan seperti ini pula yang menyebabkan sebagian orang Asia sulit untuk maju dan berkembang. Karena mereka menganggap dirinya sebagai inferior. Anggapan atau penyudutan terhadap orang Asia oleh orang barat inilah yang hendak dipertanyakan dan dibongkar oleh Tommy T.B. Koh dalam tulisannya "Asian Values reconsidered". Apakah benar nilai-nilai Asia lebih rendah dari nilai-nilai yang dianut barat? Apakah benar Asia, dalam dirinya selalu melekat nilai-nilai negatif? Atas dasar apakah mereka (orang barat) menilai hal itu?. Atau jangan-jangan penyudutan ini hanya sebuah ekspresi kehkawatiran orang Barat akan bangkitnya Asia dan takut jika Asia akan mengungguli Barat.

Setidaknya ada dua pandangan mengenai nilai-nilai yang melekat pada individu maupun sosial. Pandangan pertama manyatakan bahwa pada dasarnya nilai-nilai bersifat universal dalam karakternya pada semua orang, bahkan tidak memendang batas antara barat dan timur. Pandangan kedua menyatakan bahwa nilai tidak tersusun dan terbagi pada semua orang, sehingga akan selalu ada perbedaan, begitu juga dengan nilai yang dianut oleh barat maupun Asia. Namun dari pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai jalan tengah bahwa terdapat nilai-nilai tertentu yang membedakan antar orang atau kelompok sosial, disamping itu juga diantara perbedaannya, mengandung di dalamnya sebuah persamaan konsep tentang penilaian sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa trdapat kesamaan baik nilai pribadi maupun sosial diantara orang-orang Asia. Semua nilai yang dianut oleh orang Asia, tidak sedikitpun yang mengarah pada hal negatif. Bahkan orang Asia lebih mengutamakan ketraturan, keharmonisan daripada mengutamakan pentingnya hak pribadi sebagaimana dianut oleh sebagian besar orang Amerika.

Nilai yang dianut oleh Asia terlihat lebih mengedepankan proses-proses yang harmonis dan dinamis daripada hasilnya. Namun, berbeda dengan konsep yang dianut oleh sebagian besar orang barat yang lebih menekankan pencapaian keberhasilan. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa nilai yang dianut barat akan lebih mudah terjebak pada konsep "menghalalkan segala cara" demi tercapainya tujuan.

Berdasarkan hasil penelitian, bahkan yang dilakukan oleh orang barat sendiri, tidak aada yang membuktikan bahwa Asia lebih inferior dan terbelakang daripada barat. Bahkan selama ini apa yang mereka tuduhkan adalah akibat dari kolonialisme dan imperialisme dunia barat. Disaat mereka mengedepankan hak-hak pribadi, namun disaat yang sama, mereka mengekang hak orang lain dengan penjajahan dan ekspolitasi.

Tuduhan mengenai penyebab krisis di Asia akibat nilai-nilai yang dianut, sangatlah tidak beralasan. Hal itu terbukti, beberapa negara di Asia khususnya Asia Timur telah dengan cepat bangkit dari keterpurukannya dan mampu mengimbangi kemajuan yang dicapai negara barat.

Dalam hal disiplin dan etos kerja misalnya, Jepang menjadi contoh keunggulan Asia.Dalam hal menangani pembangunan misalnya, kemerdekaan menjadi suatu landasan yang sangat penting. Pandangan tentang pembangunan sebagai tujuan dan sekaligus alat (yang sebagian besar dianut barat), akan terjebak pada pencapaian angka-angka statistik dari pertumbuhan ekonomi, yang sesungguhnya tidak menyentuh dunia riil. Ini akan mengakibatkan kesenjangan akibat penumpukan modal di tangan segelintir orang.

Sepeti apa yang dikatakan oleh Amartya Sen (1999), dalam melihat pembangunan sebagai suatu proses, harus mampu membuka seluas mungkin kemerdekaan bagi semua orang. Kemerdekaan harus dipandang sebagai tujuan utama sekaligus juga sebagai cara terpenting. Kemerdekaan di sini, harus mencakup pula kemampuan untuk mencegah terjadinya pengurangan hak dasar.

Ketika pandangan orang Barat tentang kebebasan individu menjadi sangat penting, ternyata Asia telah menerapkan hal tersebut, bahkan melampaui negara Barat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India (negara bagian Kerala)1

Banyak negara di barat yang lebih mengutamakan pencapaian pembangunan, tetapi mengabaikan keadilan, sehingga mengakibatkan terabaikannya hak-hak dasar masyarakat, walaupun memperoleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Dari penjelasan contoh tersebut, setidaknya dapat membuka wawasan kita bahwa Asia memiliki nilai-nilai yang tidak kalah bahkan jauh lebih unggul dari nilai yang dianut kalangan barat. Walaupun terdapat kesamaan nilai seperti pentingnya kebebasan, persamaan hak, keadilan, namun dalam proses pelaksanaan dan pencapaiannya sangatlah berbeda. Ada hal-hal yang bisa dikembangkan dari nilai-nilai Asia. Inilah hal yang dapat dijadikan aset bangsa Asia dalam berkompetisi dengan negara lain khususnya Barat yang dianggap lebih unggul dan superior dalam era globalisasi saat ini. Karena saat ini dituntut sebuah persamaan dalam kompetisi di era global. Tidak ada lagi pembedaan atau stereotyipe antara Barat dan Timur (Asia), semua memiliki kedudukan yang sama dalam mengambil peran.


1 Argumen ini dijelaskan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford: 1999 Dia membandingkan proses pembangunan dan pencapaiannya di beberapa Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Gabon, Sri Lanka, Brazil, Nagara Bagian Kerala, Namibia, Afrika Selatan, seta beberapa segara Eropa

LAPMI HMI-MPO PURWOKERTO @ 03.00
RANTAI BAIT TENTANG KONGRES XXVII

Friday, June 12, 2009 at 4:40pm
-- mungkin di tulisan ini ada goresan-goresan kisah yang tak sempat terexpose media, ada tiga bagian disini : tentang Kongres, tentang Pemilihan fomatur, tentang Penutupan kongres, dan tentang sebuah karya--
" Pada akhirnya segala lelah, marah, sedih, kecewa, terlupakan oleh bait asa....mari bangkit!"

Tentang Kongres dua puluh tujuh...
Ini kongres pertamaku. Bagi pengurus cabang Purwokerto, sebagian besar juga merupakan pengalaman pertama. Kata orang cinta pertama itu tak mudah dilupa. Benar, kongres ini juga menumbuhkan cinta pada alat prjuangan ini. Sebagai sebuah gelaran dwitahunan, yang memiliki hierarkri paling atas dalam struktur kekuasaan di HMI. tak berlebihan rasanya jika kita mengharap sebuah perubahan dalam paradigma gerakan yang lebih baik. HMI yang lebih baik...itu bukan sekedar harapan namun keHARUSan.

Tulisan ini saya tulis dengan segala kisah kecil yang mungkin tak terekspoxe oleh media.Ratusan kader, ratusan harap, itu idealnya. Ratusan ide brilian siap berkumpul dan sinergis untuk memantapkan gerakan.Sidang pendahuluan menjadi peluit panjang dimulainya pertempuran itu. Namanya orang mo olahraga..harus pemanasan dulu. Kalo berenang gak pemanasan dulu, ntar kram di tengah kolam. Kalo mo sprint gak pemanasan terlebih dulu ntar bisa cedera juga. Harapannya juga seperti itu. Waktu itu di benak saya adalah teman-teman seluruh Indonesia telah menyiapkan konsep perubahan HMI. Makanya saya juga pernah menyinggung "pernak-pernik" HMI yang belum diterima oleh cabang-cabang. Hal ini sangat riskan karena akhirnya di meja sidang, kita semua hanya bermain emosi dan egoisme saja. Lebih banyak menuntut daripada menyampaikan sebuah pemikiran.

LPJ PB..dalam sessi tanya jawab yang lebih banyak bergulir dan ramai hanyalah seputar hal-hal teknis seperti : telpon, email, dll. Ditambah lagi jawaban PB yang lebih bersifat apologi. Ketika saya menanyakan SK, sbrnnya itu sederhana saja, kapan teman-teman PB siap untuk memberikan dokumen resmi Sk para cabang. Kalau malam itu bisa, tinggal ketik, print, dan tandatangan, saya rasa itu menjadi bentuk rasa tanggungjawab PB.
BUkan berapologi dengan sejuta alasan apalagi dengan alasan komputer kena virus. Suer, kalo kisah ini diexpose akan sangat memalukan. Saat ini hampir sebagian besar cabang, tidak memiliki dokumen resmi SK kepengurusan. Ini sangat-sangat fatal. Ini bukan persoalan teknis, tapi persoalan tanggungjawab akan kinerja masing-masing. Walaupun kongres sudah usai, saya berharap tanggungjawab ini bisa diselesaikan dengan secepatnya.

Sessi tanya jawab yang bergulir lebih kepada penggugatan secara teknis yang itu diakibatkan oleh miscommunication saja. Masalah pemecatan Itho Murtadha, dana diknas, dan lain-lain. Hampir lebih dari separuh waktu di sessi tanya jawab itu, dipenuhi oleh emosi dan egoisme cabang-cabang tertentu saja. Kebetulan waktu itu yang bersuara lebih banyak adalah teman-teman cabang timur dan utara. Bukan saya mendiskreditkan teman-teman di intra dan intim, namun kenyataan yang terjadi di arena kongres adalah, teman-teman lebih banyak berputar di wilayah teknis dan memainkan emosi. Mungkin ini juga menjadi salah satu akibat dari tidak optimalnya pembagian draft kongres pada sleuruh cabang. Pada akhirnya, draft kongres dari TPK tidak digunakan dan ditolak. Ketika tidak ada draft, masalah yang muncul ternyata ada tiga versi konstitusi dari Semarang, Jogja, Makasar. Padahal draft dr TPK itu telah disusun lebih dari dua bulan dan mengakomidir perbedaan2 konstitusi tersebut. Lagi-lagi permasalahannya pada komunikasi antara Roni HIdayat (Koord.TPK) dengan Bang Madjid Bati (MSO). MSO merasa tidak pernah menerima permohonan amandemen, padahal TPK telah melakukan itu secara prosedurial, dihibungi melalui telpon, dikirm melalui email, dll. Lagi-lagi yang jadi alasan adalah, email yang eror dan tidak ada data draft kongres yang diterima. Miris !!!!!!!!!!!

Pembahasan konstitusi, sebenarnya merupakan sessi penting dalam perjalanan sebuah organisasi. Dari jauh-jauh hari sebelumnya, di benak saya tergambar bahwa teman-teman kader HMI selruh Indonesia telah mempersiapkan ide-ide briliant-nya mengenai paradigma gerakan organisasi ini. Mungkin masih ingat mengenai ide rekonsiliasi yang pernah saya getol tulis? Itu bukan sekedar isu sesaat, namun coba saya kaji dari berbagai segi, historis, filosofis, sosiologis, politis,dan teknis. Saya tambah bersemangat lagi ketika tau ada ide ganti nama yang akan coba digulirkan. Bagi saya, semua ide itu sungguh-sungguh. Jujur saja, saya sudah mempersiapkan uraian kenapa kita jangan ganti nama dan harus rekonsiliasi, dengan segala alasan yang dapat diuji secara keilmuan (ada power point-nya.. dibuat sampe nglembur di sekre Mafaza ..he3). Sebenarnya hal ini harusnya disampaikan pada sebuah lokakarya, karena kongres hanya bersifat memutuskan saja. Tapi karena lokakarya tak pernah kunjung ada, ya maka kucoba persiapkan untuk kongres.

Tapi, semua tinggal kisah belaka. Karena ternyata teman-teman cabang lain tidak pernah mencoba membuat sebuah inovasi gerakan untuk disampaikan di kongres. Bahkan saya sempat berfikiran ini adalah sebuah kesengajaan untuk meminimalisir perdebatan mengenai konsep, sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah berputar-putar pada hal redaksional yang bersifat teknis.

Jujur aja, hari kedua, pembahsan AD membuat bete banget! Bertambah bete, karena melihat kenyataan bahwa ternyata sebagian besar peserta kongres justru meninggalkan ruang sidang hanya untuk konsolidasi suksesi calon ketum. Hati saya begitu marah saat itu!!! Segala umpatan berkecamuk dalam batin! Apa-apaan ini???? Forum kongres yang membahsa hal-hal mendasar malah ditinggalkan untuk sebuah suksesi. Lucu lagi, ketika salah satu kawan bilang : " Bagi kita, AD ART dan yang lainnya tidak perlu dibahas, tidak ada yang salah, yang penting..siapa nanti yang akan jadi ketum, siapa nanti pemimpinnya" .

Weleh..weleh. .. ini nieh efek dari generasi "Idol". Di kongres ini kita menghimpun mimpi, ide, dan segala potensi untuk memperkuat pondasi gerakan. Mimpi kita saja sudah tak punya, pondasi kita sudah bobrok, dipimpin oleh siapapun , akan ttap hancur. Akhirnya semua menjadi ekspresi syahwat kekuasaan belaka.

Tentang Pemilihan Formatur...

Siapapun tak bisa menampik, secara kapabilitas, Mas Chozin sangat pantas menjadi ketum PB HMI. Jangankan menjadi ketum PB, jadi presiden Indonesia pun mas chozin pantas. Dengan segala potensi yang dia miliki, saya rasa Mas Chozin adalah salah satu kader yang dapat kita banggakan di HMI.

Namun, HMI adalah sebuah organisasi perkaderan dan perjuangan. Kaderisasi adalah pondasi organisasi berlambang perisai hijau hitam ini. HMI bukan organisasi jaringan atau profesional, walaupun karya-karya kita harus disalurkan dengan kemampuan jaringan dan profesionalitas.

Maka, yang menjadi pertanyan, apakah kita yang memang sudah lelah dengan perkaderan di HMI ini, atau mas Chozin yang sudah mati orientasi kekaryaan beliau sehingga masih melihat posisi ketum PB sebagai pijakan???!. Tapi hal itu biar menjadi pertanyaan di hati kita masing-masing.

Munculnya nama mas chozin sebagai calon ketum bukan sebuah hal yang baru. Kalau tidak terexpose, mungkin itu sengaja. Dukungan teman-teman indonesia timur dan utara menjadi kekuatan utama dari naiknya mas choz di pentas kongres kemarin. Secara psikologis, wajar kalo teman-teman intim dan intra menaruh harap pada sosok yang juga menjadi moderator di milis HMI ini.

Selain teman-teman intra dan intim, bagbar juga menjadi sayap yang sangat mendukung naiknya sang alumnus Ohio- USA ini. Kondisi psikologis teman2 intra dan intim yang masih kecewa dengan kepengurusn PB kemarin dilengkapi dengan kultur pragamtisme dalam politiknya teman-teman inbagbar. Saya rasa ini gk bisa dielakan oleh siapapun. Sialahkan membela diri tapi kenyataan berkata demikian, pragmatisme adalah kultur yang sudah melekat di sebagian besar teman-teman bagian barat. Fitnah dan gosip murahan kadang dijadikan alat untuk mencapai keinginan. Entah fitnah apa saja yang sudah diberikan kepada calon ketum lain selain chozin.

Kalau memang tidak begitu, coba saja tanya, apakah mereka punya konsep untuk membangun HMI ini lebih baik. Nonsens! Mereka hanya punya strategi politik. Konseptual yang dibangun hanya berputar pada wacana. Sebenarnya potensi politik mereka baik jika dapat dikembangkan dan tetap diarah yang benar. BUkan dengan menghalalkan segala cara. Karena HMI juga bukan organisasi politik.

Inbagteng yang kuat dengan intelektualnya juga harus mengakui ketidaksolidan- nya. Dari dulu mungkin orang2 tengah yang terlalu polos dengan politik. Keilmuan dan keIslaman itulah yang kemudian menjadi pilar gerakan di bagian ini. Kemarin sebenarnya cukup kuat ketika dalam dukungan ke Azwar, walaupun agak terlambat mengkonsolidasikan gerakan. Bagian tengah juga dianggap yang "menggembosi" kinerja PB dua tahun yang lalu. Astaghfirrulah, masih ada yang tega menganggap seperti itu. Padahal kalau kita tengok, siapa saja yang kemudian berperan membangun pondasi kinerja PB selama dua tahun kemarin. Dari mulai pleno I, II, III, event2 yang ada di PB, melakukan fungsi-fungsi komisi dengan baik, kebanyakan juga teman-teman tengah. Mas Azwar, mas uud, mas trisno, sampai mbah Muhyidin, semua menjadi martir dalam perjuangan kemarin walaupun pada akhirnya semua tertutup oleh pola komunikasi yang buruk oleh Ketum. Namun, bang Syahrul juga bukan tak berusaha sebaik mungkin. Di kesempatan kali ini, (walau sudah saya sampaikan di kongres kemarin juga), saya menyatakan terimakasih dan sangat salut , apresiasi yang sangat tinggi untuk kinerja teman2 tengah yang ada di PB. Kalau kemarin ada penolakan LPJ itu murni sebagai sebuah pembelajaran untuk berusaha ke yang lebih baik. Kalau kita menerima,juga atas dasar yang kuat, bukan semata-mata karena ada orang2 bagian kita yang ada disana.

Dukungan kita bukan sebatas pada penerimaan dan penolakan LPJ, tapi perhatian kita yang penuh.Ups, agak ngelantur ya. Kembali tentang calon ketum PB. Sebenarnya saya udah speechless. Mo bilang apa? Semua terjadi karena emosional saja.

Mas Chozin secara konstitusi tidak sah untuk maju menjadi calon formatur. Beliau LK I pada tahun 1997, Sudah hitungan tahun ke-12 menjadi kader..dan itu berarti sudah alumni. Hal ini sudah disampaikan di kongres. Mengenai ayat kedua di konstitusi ttg peraturan masa keanggotaan, mas Chozin saat ini tidak menjabat apa-apa dalam kepengurusan di HMI. Kalau ada di HMINews, beliau adalah direksi PT.Kapisentra, bukan bagian dari HMI." Kenapa nggak ngomong di kongres kemarin shin?"

Ya, itu dia yang saya sesalkan hingga saat ini. Bukan saya nggak berani ngomong, tapi memang suasana saat itu sudah diliputi emosi. Adzan Shubuh sudah memaksa semuanya untuk menyudahi perdebatan. Ketika saya kembali dari sholat shubuh, ternyata semua sudah berkahir. Keterlambatan ini sangat saya sesalkan hingga pulang ke Purwokerto. Secara tidak langsung, saya dan konstituent kongres telah mengkhianati konstitusi kita sendiri. Padahal baru semalam kita mengesahkan konstitusi, berdebat mengenai contents yang ada dalam pedoman perkaderan, keanggotaan, dll.

Di kongres pertama ini, saya baru merasakan kesungguhan dan kecintaan yang penuh pada HMI. Saya rasa semua kader akan merasa sedih dan kecewa atas adanya inskonstitusional ini, jika mereka memang bersungguh-sungguh membangun pondasi gerakan ini.

Saya pun masih yakin mas chozin dan cabang Sleman tak pernah punya niat untuk mematikan perkaderan. Kalau katanya ada kabar untuk mematikan hegemoni sebuah golongan tertentu di kampus UGM, ya semoga mereka menganggap bahwa cara menaikkan mas Chozin di ketum PB menjadi cara yang terbaik. Walaupun dulu di awal saya bilang, " Tanpa menjadi ketum PB, mas Chozin dapat berkontribusi banyak di HMI".

Mungkin Agak lebai kalau tau , ada air mata yang sempat menetes di beberapa kader yang menyesalkan pemilihan formatur ini. Menangis karena matinya perkaderan, dan menangis karena tak dapat berbuat banyak. Namun karena perkaderan pula, kita harus bangkit.

Kemenangan mas Chozin juga tidak mutlak. Bahkan selisih dengan mas Azwar hanya sedikit (tiga suara). Lucunya lagi, ada sms tak dikenal kepada saya dengan mengatakan "tiga suara itu?" . Saya paham maksudnya, terserah mau berasumsi apa. Yang pasti, bagi saya dan juga teman-teman Purwokerto, perkaderan adalah pondasi dari organisasi ini. Dengan selisih suara yang sedikit itu, menjadi PR besar bagi ketum PB saat ini, bahwa selain dukungan besar, saat ini juga ada kekecewaan yang besar. Bahkan beberapa sempat berkata " Ah..sudahlah. .kalau kayak gini..saya outsider saja". Masih tanda tanya, apakah para personil MSO itu mau untuk menerima tawaran itu. Atau teman-teman yang seharusnya bisa masuk di PB. Beberapa selentingan juga ada yang enggan untuk membantu di PB.

Tapi, saya rasa...lepas dari itu semua. Kecelakaan perkaderan ini kita ikhlaskan saja. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Toh pada akhirnya, kecewa, sedih, lelah, dan marah, harus terhapuskan oleh sebuah asa akan sebuah cita. Di HMI itu cuma belajar ikhlas..mengikhlask an segalanya. Termasuk mengikhlaskan sebuah kematian kader. Yang terpenting adalah berkarya.

Justru kita berterimakasih pada mas Chozin yang masih mau untuk turun langsung di kancah perjuangan ini. Saya rasa itu perlu pemikiran yang sangat dalam, untuk mau terjun langsung.

Toh, PB bukanlah segalanya. Saya sebagai pengurus cabang juga menyadari bahwa ternyata kongres itu hanyalah sebagai sebuah bentuk politisasi saja. Cabang Purwokerto masih menantikan sejuta ide dan karya. PB bukanlah segalanya, ujung tombak gerakan ini ada di komisariat dan cabang. Satu pesan sms dari salah seorang kandidat ketum " ...bahwa teman-teman di cabang nggak boleh patah semangat! Pejuang itu tak boleh sedih dan kecewa. Jadikan semua momentum untuk bangkit...."

Sekali lagi air mata ini mengalir, tapi bukan sedih...melainkan sebuah semangat, bahwa asa itu harus tetap ada. Bahwa ini justru awal perjuangan kita semua.

Tentang Penutupan Kongres XXVII......

Miris. Nggak sebanding dengan pemberitaan media, sebenarnya upacara penutupan kongres kemarin adalah memperalat untuk kampanye JK saja.
Saya tidak tahu apa yang bisa disebut dengan kebanggaan pada acara penutupan kemarin? Apakah kita yang terlalu katro dengan segala kemewahan dan publisitas itu?

Saya yang memilih duduk di belakang, melihat ke-katro-an itu semua. Kita dengan seenaknya diatur-atur untuk sebuah protokoler kenegaraan saja. Hal-hal kecil, misal pakaian bang Syahrul yang kurang formal, atau tata duduk teman-teman peserta. Semua diatur-atur. Yang pake celana jeans atau kurang sopan jangan duduk disamping, nggak sopan! Saya hanya terkekeh dalam hati. Perasaan saya pernah mengikuti beberapa event yang dihadiri oleh pejabat penting nggak seekstrim itu. Waktu festival sastra internasional di Batavia Hotel, tak ada aturan2 seperti itu. Tau sendiri kan gimana penampilan para sastrawan?? Tapi..itu semua dibiarkan karena kita punya karya untuk diapresiasi. Sastrawan-sastrawan itu memang dihargai ,punya karya, jadi nggak bisa seenaknya diatur-atur protokolernya. Tapi kalau di penutupan kongres kemarin, JK yang dihargai, bukan JK yang menghargai. Kesannya memang seperti JK yang menghargai HMI karena sudi hadir. Tapi sebenarnya HMI lah yang menghargai JK karena dibela2in menutup acara hanya karena pada jam itulah JK sempat untuk mampir. Padahal, acara penutupan itu juga inkonstitusional. Masih ada dua sidang lagi yang belum terselesaikan. Berdasarkan pedoman keprotokoleran, acara penutupan kemarin itu ya nggak bener. Sekali lagi, kita sudah mengkhianati konstitusi kita sendiri. Itu padahal baru beberapa menit lho disahkan dalam kongres, Bagaimana kdepannya???Semoga bisa menjadi pelajaran...

Tentang Sebuah Karya....... .

Dari segala potret buram di kongres kemarin, sebentuk mimpi, asa dan cita-cita masih terus akan bergulir...dan itu sempat terangkum dalam sebuah buku kecil berjudul : "HMI : Keabadian dan Inovasi Gerakan". Tersusun atas empat bagian, : HMI dan Pemikiran KeIslaman ; HMI dan MOdernitas; Kohati dan Rekayasa Sosial; Dinamika Politik Kontemporer. Di dalamnya termuat ide-ide yang bukan hanya menjadi sebuah "keabadian" namun juga merupakan bentuk inovasi gerakan yang merupakan bait asa dan cita kader. LIma belas kader yang turut rembug menulis dalam buku ini yaitu : Zubaeri; Maksun (Cak Sun); Shofa Sadulur; Ahmad Nuralam; Angga Yudhiansyah; Ahmad Sahide; Darwin; M.Syamsul HIdayat; Ade al-Ghazaki; Dusrinah, SH; Shinta arDjahrie (^_^) ; Novi Kurnia; Kusuma Dewi Subakhir; Lukman Hakim,Moh.Syafe' i; dan Zulkarnain Patwa.

Sebenarnya kalo diliat-liat. .penulisnya itu orang-orang dari cabang Jogja, atau diistilahkan sebagai sebuah bentukan karankajen. Kecuali saya tentunya. Karena ke sekre Karangkajen aja baru satu kali...he3. Tapi, lepas dari itu semua, ini adalah sebuah bentuk pemikiran yang coba diabadikan melalui tulisan. Dengan editing yang handal oleh Ahmad Nuralam dan Ahmad Sahide, buku ini dikemas apik dan patut mendapatkan rekomendasi bagus untuk konsumsi para kader. Untuk teman-teman yang berminat, bisa menghubungi teman-teman cabang JOgja, hanya Rp 20.000,00. Saya juga lampirkan scan cover dari buku tersebut. Bukan sekedar numpang promo, tapi lebih meyakinkan, bahwa kita masih dan akan terus punya asa untuk berkarya..baik itu melalui tulisan ataupun karya-karya lain.

Btw, saya ingat postingan bang Ferizal Ramli di milis brapa waktu lalu tentang pengembangan IT opensource. Mungkin bisa disampaikan idenya mas, karena di PKN (Program Kerja Nasional) PB HMI, kemarin di kongres sempat disahkan adanya sebuah program untuk pengembangan rekayasa teknologi informasi. Apalagi kalo kita liat tingkat kegaptekan temen2 kader sangat memprihatinkan. Terlihat dari permasalahan yang menjadi peredebatan di LPJ PB maupun LPT MSO,adalah masalah komunikasi lewat phone or email. Memalukan memang..tapi saat ini bukan saatnya untuk malu...tapi untuk bangkit.

Yup..sementara hanya sampai ini mungkin rantai bait kongres XXVII ini saya posting. Kongres yang menumbuhkan cinta mendalam, bahwa HMI ini hanyalah sebuah alat tapi tak dapat digantikan oleh alat apapun.Yakin Usaha Sampai!!!

*ditulis oleh Shinta arDjahrie
tulisan ini diambil dari --www.ntacaholic.co.cc dan pernah ditulis di facebook
HMI KU UNTUK
INDONESIA BARU